Hitu merupakan bandar utama di Maluku Tengah sebelum peranan itu diambil alih oleh Kota Ambon pada pertengahan abad ke-17. Dalam hikayat Tanah Hitu dikemukakan bahwa pusat perdagangan di Hitu muncul berangsur-angsur antara 1460 hingga 1490. Seelum itu tampaknya telah ada bandar-bandar niaga lain yang berangsur-angsur memusat pada Hitu. Adanya bandar-bandar niaga itu tersirat dari kisah-kisah dalam Hikayat Nahanh Hitu mengenai asal-usul empat penguasa (perdana) di Hitu, yaitu di wilayah Selan-Binaur (Pesisir Selatan Seram Timur) dan Gorong (kepulauan Seram Laut dan Gorong). Keluarga pertama yang mendiami Hitu adalah keluarga perdana Totohatu. Keluarga ini berasal dari Selan-Binaur, dan muncul di Hitu paling awal, tetapi tidak diketahui kapan. Pada 1490 muncul keluarga Perdana Pati dari Gorong (disebut ‘Pati”, karena pernah mengunjungi Tuban dan membawa Islam ke Hitu). Sebelumnya telah ada yang berasal dari Jailolo di pulau Halmahera, yaitu keluarga Nusatapi (1465 ata 1480); sedangkan sebelumnya lagi ada yang berasal dari Jawa, yaitu keluarga Perdanan Tanahitumasang (1469).

Hitu mulai muncul sebagai bandar utama di Maluku Tengah sekitar awal abad k-16 bersamaan dengan meluasnya penanaman cengkeh di wilayah itu. Terutama di jazirah Moamoal di Seram Barat. Perluasan wilayah penanaman cengkeh ini ada kaitannya dengan perluasan kekuasaan Ternate ke wilayah Maluku Tengah.

Kedudukan istimewa Hitu disebabkan adanya hubungan dengan Jepara. Hubungan ini terutama dibina oleh Jamilu dan turunannya, yang dienal sebagai keluarga Perdana Nusatapi. Dalam Hikayat Tanah Hitu beberapa kali diceritakan mengenai pelayaran Jamili dan sanak keluarganya ke Jepara untuk  mengadakan perdagangan.

Dengan demikian tampaknya sejak awal abad ke-16 Hitu menjadi pelabuhan utama dan pelabuhan-pelabuhan lainnya di Seram Timur serta Kepulauan Seram Laut/Gorong mengacu pada Hitu sebagai feeders. Oleh karena adanya hubungan antara Seram Laut/Gorong dengan kepulauan Kei-Aru dan Tanimbar, maka kedua gugusan pulau tersebut itupun berkaitan secara tidak langsung dengan Hitu untuk menyalurkan hasil-hasil lautnya.

Hitu kehilangan posisinya sebagai bandar niaga utama di Maluku Tengah setelah VOC menduduki benteng Portugis di Kota Laha yang kemudian dinamakan Ambon. Sejak pertengahan abad ke-17 Hitu sudah tidak penting lagi. VOC lalu membangun suatu kawasan  perdagangan batu yang berpusat di kota Ambon, dan meliputi pulau-pulau Haruku, Saparua, dan Nusalaut, serta Seram Barat; wilayah yang di masa Hitu sama sekali tidak penting di ihat dari sudut perdagangan.

Namun demikian wilayah Selan-Binaur dan Kepulauan Seram Laut dan Gorong tetap berada di Luar jangkauan. Bersama wilayah pesisir Seram Utara (Negeri Sembilan), sampai awal abad ke-19 wilayah ini berada di luar jangkauan Kota Ambon maupun Ternate. Hubungan perdagangan mencakup pesisir Irian Barat, kepulauan Raja Ampat ke Halmahera Timur.

Sumber:

R.Z. Leirissa. 1996. Halmahera Timur dan Raja Jailolo. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka. Dalam Supratikno Rahardjo (ed). 1998. Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (kumpulan Makalah Diskusi). Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.