Jan Nederveen Pieterse menguraikan bahwa dalam museum etnografi terdapat pluralisme budaya, multikultural dan keragaman budaya dalam persepsi globalisasi, pascamodern, serta pascakolonial. Multikultural itu telah menjadi isu baru dalam permuseuman, dan menyentuh perubahan budaya yang terus-menerus, yang disebabkan adanya translasi silang budaya (cross cultural translation) dan hibridisasi. Ia menjelaskan adanya perbedaan antara exoticizing (menekankan pada perbedaan) dan asimilasi (menekankan pada persamaan) dalam multikulturalisme. Dalam relativisme budaya dan evolusionisme pada disiplin antropologi menekankan pada pengurangan perbedaan-perbedaan, dan melahirkan modernis dan universalis. Multikulturalisme juga akan melahirkan identitas ganda atau banyak identitas (multiple identities) seperti identias lokal, regional, transnational, global, seksual, urban, dll.; dan sesuatu yang dianggap lain seperti yang dideferensiasi oleh ras, kelas, gender, bangsa asli, gaya hidup dll..

Maka dari itu perlu ditekankan harus adanya strategi dalam memamerkan koleksi museum. Pieterse mengutip pernyataan Clifford (1991:225 dalam Pieters, 2005)) bahwa strategi terbaik dalam membuat tata pamer etnografi adalah dengan menganggapnya sebagai seni. Memperlakukan artefak seperti seni akan melahirkan komunikasi efektif dalam silang budaya, terutama pada kualitas, pemaknaan dan nilai pentingnya. Ia juga mengutip Kirshenblatt-Gimblett yang mengatakan bahwa dalam mememerkan koleksi yang in situ harus dibedakan dengan in context. In situ adalah membuat pameran suatu budaya yang dapat dikunjungi masyarakat di tempat budaya itu terbentuk. Sementara in context adalah memamerkan suatu koleksi budaya yang tidak harus dilakukan di tempat budaya itu terbentuk, tetapi bisa di tempat lain.

Ardika (2012) dalam artikelnya yang dipaparkan dalam Pertemua Ilmiah Arkeolgi pada 2011 di Surabaya mengatakan bahwa Strategi Pemanfaatan Museum untuk Pendidikan Multikulturalisme, yang mengutip Ivan Karp dan Stephen Lavine dalam buku “Exhibiting Cultures”, menyatakan bahwa agar pendidikan multikultural efektif, museum harus mengubah paradigma dari “museum sebagai bangunan suci (temple) ke museum sebagai forum” (Karp and Lavine 1991 dalam Donley, 1993: 10, dalam Ardike, 2011). Fungsi museum tidak hanya memamerkan benda-benda koleksinya, tetapi memberikan informasi tentang objek tersebut. Menurut Ardika ada beberapa strategi yang perlu dilakukan oleh museum dalam konteks pendidikan multikulturalisme, yaitu dengan menginterpretasikan perbedaan budaya berdasarkan persamaannya. Museum harus dapat membantu pengunjung atau wisatawan guna mengklasifikasikan kebiasaan atau adat dan objek yang aneh dengan cara menginterpretasikan kebutuhan dasar (basic needs) dan nilai-nilai yang memotivasi kebiasaan tersebut.

Strategi kedua adalah membuat hubungan dan perbandingan lintas budaya (Cross Cultural Connections and Comparisons). Perbandingan lintas budaya adalah salah satu strategi yang efektif untuk mengajarkan pendidikan multikutural melalui museum. Hal ini dapat dilakukan dengan tema: persamaan dan perbedaan. Tema lain yang juga biasa digunakan dalam pendidikan multikultur adalah perbedaan bentuk dan fungsi benda budaya atau artefak, serta perbandingan mengenai elemen formal dari seni. Dalam melakukan perbandingan lintas budaya agar dihindari adanya kesan penyederhanaan yang berlebihan. Misalnya, fungsi benda seni dalam etnik tertentu belum tentu sama dengan benda sejenis pada etnik yang lain.

Strategi ketiga adalah menunjukkan konteknya. Museum sedapat mungkin harus dapat menginterpretasikan fungsi ataupun makna benda-benda koleksinya sesuai dengan konteksnya. Benda-benda seni tidak dilihat dari nilai estetikanya semata, namun juga harus diperhatikan konteksnya apakah bersifat sakral atau profan. Elemen yang paling penting mengenai konteks suatu benda adalah hubungan antara pembuat dan penggunanya. Pihak pengelola museum harus dapat menunjukkan hubungan pembuat dan pemakai suatu artefak dalam program pemeran, publikasi, dan kegiatan museum lainnya.

Strategi keempat adalah menyeimbangkan antara konteks (ecological) dan komparasi (cross-cultural) dalam Pameran. Komparasi lintas budaya sering kali tidak dapat menampilkan aspek ekologi dan konteksnya. Museum harus berupaya untuk menyeimbangkan antara style dan interpretasi, serta menjelaskan keuntungan dan kerugian pendekatan tersebut.

Strategi terakhir adalah mengikutsertakan masyarakat pemilik budaya dalam pameran. Masyarakat pemilik budaya agar diikutsertakan dalam menginterpretasikan benda-benda koleksi museum. Hal ini menjadi sangat penting untuk mewujudkan fungsi museum sebagai forum dan bukan sebagai tempat suci. Benda-benda budaya koleksi museum mencerminkan pluralitas budaya, demikian pula masyarakat ataupun wisatawan yang berkunjung bersifat heterogen. Fenomena ini merupakan dasar yang sangat penting dalam memahami dan mewujudkan museum sebagai sarana pendidikan multikulturalisme.

Referensi

Ardika, I Wayan. (2012) “Perspektif Multikulturalisme” makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi XII pada 2011 di Surabaya. Jakarta: IAAI

Donley, Susan K. ,1993, “The Museum as Resource”, dalam Building Museum & School Partnerships, Beverly Sheppard, ed., Harrisburg: Pennsylvania Federation of Museums and Historical Organizations, Distributed by American Association of Museums.

Pieterse, Jan Nederveen, 2005, “Multiculturalism and Museums: Discourse about other in the Age of Gloablization”, dalam Gerard Corsane, ed., Heritage, Museums and Galleries. An Introductory Reader. London: Routledge, hlm. 2222163-183)