Mercusuar di Sungai Barok

Pelabuhan Tanjung Mas di Semarang utara itu tampak sibuk. Di sekitarnya menyimpan beberapa destinasi wisata yang menarik. Salah satunya Masjid Menara yang terletak di jalan Layur. Saat melangkahkan kaki ke masjid tersebut, tentu kita dapat memahami alasan masjid tersebut dikenal sebagai masjid menara. Ada satu menara yang menjulang tinggi dan megah di sisi barat masjid tersebut. Banyak cerita yang membumbui riwayatnya. Ada yang menyebutkan bahwa menara tersebut awalnya merupakan mercusuar. Versi lain menyebutkan bahwa menara itu merupakan menara adzan.

Dari desain arsitekturnya lebih tepat bila disebut sebagai menara mercusuar. Pendapat ini dikuatkan dengan keberadaan Sungai Berok (Kali Semarang) di sisi timur masjid. Pengurus masjid yang bernama Ali menuturkan bahwa dahulu kali itu merupakan sungai besar yang dapat dilayari kapal dan perahu. Menara mercusuar itu menjadi penunjuk arah dalam pelayaran. Sayangnya, sungai itu kini terlihat dangkal dan tidak terawat.

Menara Masjid Layur
Menara Masjid Layur yang konon pernah digunakan sebagai mercusuar.

Kaya ragam etnik

Kawasan yang dekat dengan pelabuhan, di sekitar masjid Layur, memerlihatkan kekayaan ragam etniknya. Pedagang-pedagang dari Gujarat, Arab dan Cina banyak yang menetap di tempat ini. Mereka menikahi perempuan-perempuan lokal, yang keturunannya masih tinggal di sekitar jalan Layur. Di sisi kanan dan kiri masjid berdiri rumah khas Tionghoa. Bercirikan atap seperti pelana kuda. Ada juga rumah bertingkat yang bagian bawahnya digunakan sebagai toko.

Masjid Menara ini dibangun pada 1802 Masehi, oleh para pedagang yang berasal dari Yaman (Hadramaut). Mereka sering disebut sebagai dengan kaum Hadrami. Para pedagang Yaman ini kemudian membangun masjid di dekat menara mercusuar yang tidak lagi digunakan. Oleh karena pelayaran kapal dan perahu telah dipindahkan ke muara Kali Baru yang lebih dekat dengan pesisir.

Menara mercusuar ini pun kemudian digunakan sebagai menara adzan, khas budaya Timur Tengah. Sementara di sekitarnya pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan cara memukul bedug dan kentongan. Akan tetapi, jika dilihat dari atapnya yang tumpang tiga, tampaknya ada akulturasi antara budaya Timur Tengah dengan budaya Jawa. Tidak menutup kemungkinan bahwa ada budaya gotong royong pada saat pembangunan masjid ini.

Jendela Masjid Layur
Jendela Masjid Layur yang masih asli.

Gaya arsitektur yang unik dan ragam hias yang khas

Masjid Layur memiliki gaya arsitektur yang unik dan ragam hias yang khas. Warnanya yang hijau terang menjadikan masjid ini mencolok di antara bangunan di sekitarnya. Atap yang bertumpang tiga seperti membentuk segitiga (karena linier dengan sungai di belakangnya). Daun pintu dan jendela besar dan tinggi berhiaskan motif arabesque, motif khas timur tengah. Di beberapa ventilasinya dihiasi kaca es berwana hijau yang masih asli.

Kegiatan keagamaan rutin dilakukan di masjid ini. Dipimpin oleh seorang Habaib/Habib keturunan Yaman. Di antaranya majelis ta’lim khusus lali-laki, TPA untuk anak-anak, pengajian malam 10 Asyuro, pengajian malam Nisfu Sya’ban, dan khataman Al-Qur’an setiap Ramadhan. Setelah Ramadhan, atau pada saat Idul Fitri, orang-orang Yaman yang dahulu bertempat tinggal di sekitar masjid kembali ke rumah-rumah mereka untuk bersilaturahmi dan mengenang masa lalu. Banjir rob yang pernah terjadi di sekitar masjid memaksa mereka pindah ke tempat lain.

Menurut penuturan pak Ali, dahulu para pedagang menambatkan kapalnya di dekat masjid berdinding kayu jati ini. Kemudian mereka mengambil air wudhu atau mandi di sungai Berok sebelum melaksanakan shalat. Ibadah shalat dilaksanakan di lantai dua. Lantai satu digunakan sebagai tempat belajar agama. Kini lantai pertama masjid ini tidak tampak lagi. Kekhawatiran terjadi pelabukan pada kayu jati karena banjir rob mengakibatkan lantai pertama diurug. Mengubah lantai pertama menjadi ‘fondasi’ dan tidak ada lantai kedua. Bekas jendela lantai satu masih bisa terlihat sampai sekarang. Sengaja disisakan sebagai pengingat riwayat masjid ini.

Sebagian besar Masjid Menara masih asli. Daun pintu dan jendela masjid, serta empat tiang utama tidak berubah sejak kali pertama didirikan. Plafonnya yang terbuat dari kayu jati masih tersusun rapih. Bagian yang baru hanya bangunan tempat shalat perempuan. Letaknya bersisian dengan tempat wudhu perempuan dan kamar mandi. Sayangnya, tempat shalat tersebut jauh dari kata layak. Tempatnya kecil dan tidak terawat.

Apakah karena perempuan tidak boleh masuk ke dalam masjid Menara. Tidak diperkenankan mengikuti berbagai kegiatan ibadah di dalam masjid. Meski belum diketahui apa alasan yang melatarbelakanginya, dan terkesan seksis dan patriarkis, tetaplah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Selalu legowo menempatkan diri selalu objektif. (Murni)