Berada di kawasan Pecinan yang ramai

Berada di kawasan Pecinan yang ramai, Masjid Jami’ Pekojan pun selalu ramai dengan para Jemaah ketika adzan sholat berkumandang. Kebanyakan Jemaah adalah para pedagang yang berjualan di sekitar masjid. Juga warga di sekitarnya yang berhenti melaksanakan kegiatan sehari-hari mereka demi melakukan sholat. Seperti yang dilakukan oleh Pak Muklas, seorang pedagang es krim yang berjualan di sekitar wilayah Masjid Jami’ Pekojan. Pak Muklas menyempatkan diri untuk melaksanakan sholat dan beristirahat sejenak di tengah teriknya matahari.

Sesuai dengan namanya, masjid ini berada di wilayah Pekojan, tepatnya di jalan Pertolongan I. Pada mulanya merupakan tempat para pendatang dari Koja bermukim. Masjid Jami’ Pekojan dibangun sekitar 1295 Hijriyah, atau sekitar 1878 Masehi oleh saudara dari Koja bernama Syeh Latief. Seiring dengan berjalanannya waktu, wilayah ini pun berkembang. Tidak hanya menjadi pemukiman para pendatang dari Koja saja, tetapi juga dari Arab dan Pakistan.

Sejak kali pertama dibangun Masjid Jami’ Pekojan sudah menggunakan keramik dan marmer. Masjid ini juga memiliki hiasan-hiasan yang sangat raya. Mulai dari ukiran di pintu, hiasan-hiasan di tembok, hingga jendela-jendela yang menggunakan kaca patri. Bangunan masjid terbagi menjadi dua bagian. Bagian luar memiliki luas hampir seukuran lapangan basket, sedangkan bagian dalam hanya separuhnya. Menurut penuturan Habib Salim, salah satu pengurus masjid, masih banyak bagian-bagian dari Masjid Jami’ Pekojan yang masih asli. Salah satunya adalah mimbar dan soko guru. Selain itu juga ada bedug yang diletakkan di luar masjid. Bedug tua ini masih digunakan hingga sekarang. Imam akan memukul bedug sebelum adzan dikumandangkan.

Kaca patri, mimbar dan tiang Masjid Jami Pekojan Semarang yang masih asli.
Kaca patri, mimbar dan tiang Masjid Jami Pekojan Semarang yang masih asli.

Telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya

Di halaman masjid terdapat banyak makam kuno. Mereka yang dimakamkan di tempat ini adalah warga di sekitar masjid yang dahulu tidak bisa dimakamkan di kampung mereka, akibat blokade VOC. Makam-makam itu kemudian direlokasi ke pemakam umum setelah masjid ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Kota Semarang.

Biasanya kita akan menjumpai pohon kamboja di pemakaman-pemakaman di Indonesia. Akan tetepi tidak di lokasi ini. Di halaman Masjid Jami’ Pekojan kita ‘disambut’ oleh pohon bidara. Menurut cerita Habib Salim, biji pohon binara ini dibawa langsung dari Gujarat. Buah bidara yang berjatuhan pun bisa diambil dan langsung dimakan. Rasanya manis agak asam seperti apel. Jika warna buahnya masih hijau rasa asamnya lebih kuat. Agak kecut kata penduduk di sana. Rasa buah yang manis akan didapat pada buah bidara yang berwarna oranye. Banyak orang yang mengambil buah bidara itu. Kemudian mencoba untuk menanamnya di halaman mereka.

Perawatan masjid tua bersejarah ini menggunakan dana infaq jamaah. Mereka memasukannya ke dalam kota amal, atau memberikan langsung kepada pengurus masjid. Warga di sekitar masjid pun masih sering melakukan kegiatan-kegiatan di masjid. Seperti pembagian bubur India selama bulan puasa kepada Jemaah masjid. Melakukan pengajian untuk memeringati malam 10 Muhharam. Bahkan sunatan massal pun dilakukan di masjid ini, yang biasanya dilakukan setiap Maulid akhir. (Dwiputri)