Puncak menara yang berhiaskan bulan bintang menjadi penanda bahwa bangunan ini susungguhnya adalah masjid

Masjid atau Gereja? pertanyaan ini umum ditanyakan ketika seseorang memerhatikan bangunan bergaya kolonial ini. Sekilas dari kejauhan bangunan dengan menara tinggi ini memang serupa dengan gereja. Apalagi pada 1930-an, belum ada bangunan berdiri  semegah itu di Desa Sukarasa yang jauh berada di Kabupaten Garut. Namun jika diperhatikan dengan seksama, puncak menara yang berhiaskan bulan bintang menjadi penanda bahwa bangunan ini susungguhnya adalah masjid. Masjid Al Syura Cipari, begitulah nama lengkap bangunan yang megah itu. Bangunan kokoh bergaya kolonial ini berada di dalam lingkungan pesantren Cipari Garut. Masjid Cipari yang berdiri di masa pergerakan kemerdekaan menjadi saksi bisu perjuangan para santri pesantren Cipari.

Arsitektur yang Nyaris tak Lengkang Waktu

Sesungguhnya Pesantren Cipari sudah ada sejak 1800an, namun Masjid Cipari baru dibangun pada 1936 atas prakarsa Kyai Haji Yusuf Taudziri dan dirancang oleh M. Abikusno Tjokrosuyoso. Ia adalah keponakan H.O.S Tjokroaminoto, tokoh pergerakan Sarikat Islam. Sementara arsiteknya adalah orang Belanda.

Keunikan arsitektur masjid Cipari adalah perpaduan arsiterktur gaya art deco bernuansa kolonial dengan sentuhan lokal. Fondasi batu alam, dinding beton, jendela-jendela besar bergaya art deco dan satu menara berkubah berhiaskan bulan bintang menjadi ciri khas. Sekaligus menjadi tanda yang menunjukkan bahwa bangunan ini sesungguhnya adalah masjid bergaya kolonial.

Hal inilah yang membedakannya dengan masjid kuno lainnya yang berada di pulau Jawa. Bentuk bangunan persegi panjang, dan tidak menggunakan saka guru atau tiang penyangga seperti di masjid kuno lainnya. Bangunan sepenuhnya ditopang dinding beton. Bagian dalam bangunan tidak ada batas khusus ruang shalat untuk laki-laki dan perempuan. Sementara itu gaya atap Masjid menggunakan gaya lokal, dengan bentuk limasan, dan penggunaan genting tanah liat yang cocok untuk iklim tropis. Pada perkembangannya terdapat bangunan baru yang “menyambung” dengan bangunan asli Masjid Cipari. Bangunan tersebut digunakan sebagai ruang solat perempuan dan kantor.

Puncak menara yang berhiaskan bulan bintang menjadi penanda bahwa bangunan ini susungguhnya adalah masjid. (foto: Ade Dani Setiawan)
Puncak menara yang berhiaskan bulan bintang menjadi penanda bahwa bangunan ini susungguhnya adalah masjid. (foto: Ade Dani Setiawan)

Saksi Cinta Santri Pada Ibu Pertiwi

Lahir pada masa pergerakan kemerdekaan, menjadikan pesantren Cipari menjadi tempat yang seringkali dimata-matai oleh kaum penjajah. Mereka menyadari bahwa pesantren sebagai wadah berbagi ilmu merupakan gudang dari kaum intelektual. Masjid Cipari menjadi pusat perjuangan menegakkan kemerderkaan dari penjajahan Belanda, dari gempuran pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/ TII), sekaligus menjadi tempat perlindungan bagi rakyat yang terpaksa mengungsi karena perang. Kyai, Santri, Rakyat dan pasukan Indonesia bekerja sama untuk mewujudkan dan memertahankan kemerdekaan Indonesia.

Alkisah, diceritakan bahwa pada suatu Jumat,  pesantren ini dikepung oleh tentara Belanda. Sang Kyai kemudian meminta para warga pesantrean untuk masuk ke dalam masjid. Di dalam masjid para lelaki tetap menjalankan ibadah solat. Doa pun tak henti-hentinya dipanjatkan. Tak ada tanda-tanda kedatangan tentara Belanda. Para warga kemudian satu persatu keluar dari masjid. Apa yang mereka temukan membuat mereka merasa terkejut. Mereka menemukan para tentara Belanda tertidur lelap bergelimpangan di jalan, di kebun dan sebagainya. Kesempatan ini dijadikan oleh rakyat Cipari untuk segera mengungsi.

Kecintaan santri pada Indonesia ditunjukkan dengan keteguhan mereka yang setia pada negara Indonesia masa pemberontakan Darul Islam (DI/TII) oleh gerombolan Kartosuwiryo. Karena tidak mau bergabung dengan gerombolan, pesantren ini pun berkali-kali mendapat serangan dari gerombolan pemberontak. Kaum pemberontak berkali-kali pula mencoba meneror pesantren. Mereka merusak tembok masjid dengan bom, namun tak berhasil karena tembok yang tebal. Kini tembok ini sudah diperbaiki, sehingga tidak tampak lagi sisanya. Serangan gerombolan juga menjadikan banyak warga berlindung di masjid, sebagai pertahanan terakhir. Serangan mendadak ini menimbulkan banyak korban Jiwa. Bukti-bukti penyerangan di masa kemerdekaan berupa lubang peluru berbagai ukuran masih banyak ditemukan di menara masjid.

Sayangnya cerita mengenai peran dan fungsi masjid ini tidak tertuliskan dan diinformasikan dengan baik. Padahal sejatinya sekelumit cerita mengenai masjid Cipari menunjukkan bahwa di balik masjid kuno tersimpan nilai-nilai baik, yang dapat menguatkan karakter bangsa. Kisah heroik yang menunjukan kecintaan para santri pada Ibu Pertiwi (Valentina BS)

Sumber Tulisan :

  1. Takmir Masjid Cipari, Garut
  2. Tawaniludin Haris dan Dimas Seno Bismoko S. Hum. 2013. Unsur-Unsur Arsitektur Kolonial Pada Masjid Cipari Garut .FIB UI

Baca juga:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/pabrik-teh-taraju-tasikmalaya/