Oleh: Ivan Efendi

Komunikasi

Seiring perkembangan waktu, museum telah mengalami perkembangan, yang tugasnya tidak hanya mengumpulkan koleksi, tetapi mengomunikasikannya[1]. Jadi museum bukan hanya sebagai penjaga, tetapi juga komunikator. Komunikasi adalah proses dalam berbagi ide, informasi, dan pesan dengan orang lain dalam ruang dan waktu tertentu (Encyclopedia 2006), yang dapat dipahami dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama memperlajari bagaimana pengirim dan penerima melakukan encode dan decode, dan bagaimana transmitter menggunakan channel atau media. Sudut pandang kedua menganggap komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, jadi bagaimana pesan diproduksi dan dipertukarkan oleh masyarakat, sehingga menghasilkan makna (Friske 1994:2).

Hooper dan Greenhill (1996) mengatakan bahwa komunikasi didefinisikan sebagai presentasi koleksi kepada masyarakat, yang merupakan salah satu cara museum untuk menjangkau masyarakat. Komunikasi di museum dapat dilakukan melalui komunikasi verbal dan nonverbal. Komunikasi verbal dilakukan dengan menggunakan bahasa melalui tulisan dan lisan. Sementara komunikasi nonverbal dilakukan tanpa bahasa verbal, tetapi menggunakan tanda dan simbol, yang diwujudkan melalui gambar dan suara.

Model Komunikasi

Ada dua model komunikasi, yaitu komunikasi searah dan sirkuler. Komunikasi searah dikembangkan oleh Shannon dan Weaver untuk diterapkan di pameran museum. Tim pameran dapat berperan sebagai sumber informasi; pameran sebagai transmitter, objek, teks, dan acara sebagai channel; pengunjung sebagai receiver, dan pemahaman pengunjung sebagai destinasi akhir. Hambatan dapat muncul dari pihak pengunjung staff museum, grafik pameran, maupun lingkungan museum (Hooper-Greenfill 1996:41).

Komunikasi sirkuler menyempurnakan komunikasi searah, yang menjadikan pengunjung sebagai tujuan akhir dan tidak memiliki peran aktif dalam proses komunikasi. Komunikasi sirkuler dikenal juga dengan komunikasi umpan balik sehingga dapat diketahui apakah pesan sudah tersampaikan atau belum. Apabila terjadi hambatan, maka proses komunikasi dapat diulang dengan mengubah pesan ataupun saluran yang digunakan. Proses komunikasi sirkuler ini dapat dilakukan secara berulang, sehingga membentuk proses belajar yang tidak lagi linier.

[1]     R.Hodge dan W. D’Souza dalam artikel yang berjudul “The Museum as a Communicator: A Semiotic Analysis of the Western Austsralian Museum Aboriginal Gallery Perth” yang dikutip oleh Eilen Hooper-Greenhill: “museum are not only protectors, but also communicators… A museum display is an exercisse in one branch of the mass media, requiring a special kind of understanding of the processes of communication, namely the nature of mass communication system”.

Baca juga: Museum Tradisional vs Museum Baru

Daftar Pustaka

Friske, John (1994). Introduction to Communication Studies, Second edition. London dan New York: Routledge.

Hodge, Robert, and D’Souza, Wilfred & Rivière, Georges Henri (1979). “The Museum as a Communicator: A Semiotic Analysis of the Western Austsralian Museum Aboriginal Gallery Perth”, dalam Museum International, Volume 31, Issue 4, pages 251–267, January/December 1979.

Hooper-Greenhill, Eilean, (1996). Museum and Their Visitors. London dan New York: Routledge.