Laut adalah pencipta kesatuan

Laut adalah pencipta kesatuan, membangun hubungan antarmanusia, antarsuku bangsa. Lautan bagi anak-anak Nusantara layaknya pekarangan. Menjadi penghubung yang penting dan strategis bagi bangsa di Nusantara, untuk menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan oleh dunia. Itu sebabnya predikat bangsa archipelago pantas untuk disandang. Archipelago bukan hanya sebagai negara atau bangsa kepulauan seperti yang selama ini kita kenal, tapi negara “Kelautan”. Sebagai mana arti kata archipelago, yang berasal dari kata archi dalam bahasa Yunani yang berarti utama, dan Pelagos yang berarti laut. Lautlah yang utama, bukan daratan.

Soekarno, dalam pidatonya pada Musyawarah Nasional Maritim pertama, pada 23 September 1963 mengatakan:

… di dalam usaha kita nation-building, nation-rebuilding, sebagai kukatakan tadi. Kita sekarang satu-persatu, seorang demi seorang harus jakin bahwa bangsa Indonesia tidak bisa menjadi negara jang kuat, sentausa, sedjahtera, djikalau kita tidak menguasai pula samudera, djikalau kita tidak kembali mendjadi satu bangsa bahari, bangsa pelaut sebagai kita kenal di zaman bahari itu.

Sebelumnya, Sultan Hasanuddin, saat menolak VOC untuk monopoli perdagangan di Makasar mengatakan:

“Tuhan telah menciptakan bumi dan lautan, telah membagi-bagi daratan di antara umat manusia. Tetapi mengaruniakan laut untuk semuanya. Tak pernah kedengaran larangan buat siapapun untuk mengarungi lautan.”

Jauh selumnya

Sementara jauh sebelum, homofloresiensis di wilayah Timur Indonesia—yang diperkirakan berasal dari 18.000 tahun yang lalu—menjadi petunjuk bahwa nenek moyang ras Malanesia telah bermigrasi dari arah Barat Nusantara. Mereka menyeberangi laut dalam dengan kendaraan air. Mungkin dalam bentuk rakit bambu. Pengenalan atas kendaraan air dalam bentuk yang lebih bagus juga digambarkan di gua-gua prasejarah di daerah Sulawesi.

Memasuki masa Hindu-Buddha, dikenalah Kapal Samudera Raksa yang terdapat pada relief candi Borobudur. Ini adalah kapal layar bercadik ganda yang terbuat dari kayu dan berasal dari abad ke-8. Ada kemungkinan kapal jenis ini telah ada jauh sebelum Candi Borobudur dibangun, dan telah menginspirasi berbagai bentuk kapal di belahan dunia yang lain. Kapal bercadik bisa jadi kapal pelopor pelayaran antar samudera pelaut Nusantara.

Perahu Kuno Punjulharjo

Pada Juli 2008, penduduk desa Punjulharjo, Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang (Jawa  Tengah), tidak sengaja menemukan perahu kuno ketika mereka sedang menggali tanah untuk membuat tambak garam. Perahu yang berukuran panjang 17,9 meter dan lebar 5,6 meter ini ditemukan di kedalaman 2 meter, dengan posisi membujur timur barat. Analisis radiokarbon terhadap sampel tali ijuk perahu di Beta Analytic Radiocarbon Laboratory, Miami, Florida, USA menunjukkan bahwa perahu kuno itu berasal dari  abad ke-7–8 Masehi.

Dalam kerangka sejarah maritim di Nusantara, perahu kuna Punjulharjo merupakan temuan yang sangat penting. Selain berumur tua, juga satu-satunya perahu kuno yang pernah ditemukan di Indonesia, bahkan di Aisa Tenggara, dengan kondisi yang relatif utuh. Ukurannya yang besar menyiratkan bahwa perahu itu digunakan untuk keperluan pelayaran jarak jauh.

Samudera Raksa dan Perahu Punjulharjo adalah sedikit bukti dari jejak-jejak masa lalu dalam mengarungi samudera. Kini ada Pinisi yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari perahu Pa’dewakang yang berkembang pada abad ke-18 Masehi. Kapal  kayu ini dapat mengakut orang dan barang. Suku Bugis menganggapnya sebagai simbol kebanggan, keperkasaan, dan kemajuan.

Muatan kapal tenggelam

Muatan kapal yang tenggelam pada 1511 hingga 1800 di perairan Nusantara mengangkut berbagai muatan. Tidak semua muatan dalam kapal yang hilang di Nusantara berharga hari ini. Setelah tenggelam di laut selama bertahun-tahun, banyak muatannya yang hancur, seperti sutra murni dan teh dari Cina; opium dari Bengal (Bangladesh), Danuan (India) dan Turki; katun dari Amerika dan Cina; rempah dari kepulauan Maluku; logam dari Eropa; serta kulit hewan dari Amerika dan Inggris. Akan tetapi ada Muatan yang tidak hancur dan sangat berharga seperti emas, perak, berlian, zamrud, mutiara, batu berharga dan porselen dan keramik Cina dan Jepang.

Untuk apa berbagai bangsa itu berlayar mengarungi samudera. Ribuan mil laut, waktu yang berbulan-bulan, ombak dan badai, dan tantangan yang mungkin tidak terbayangkan oleh kita saat ini. Hingga di antaranya harus mengakhiri pelayarannya dan kandas di dasar samudara . Salah satunya adalah karena memburu rempah. Hasil tanaman yang beraroma dan berasa kuat itu—seperti pala, cengkih, lada, untuk memberikan bau dan rasa khusus pada makanan—menjadi komoditi yang sangat mahal saat itu. Aroma tanaman yang menjadi pembeda rempah dengan jenis tumbuhan lainnya itu menjadi bagian penting dalam sejarah Nusantara. “aroma” itu telah mengundang penjelajahan dunia, membangun hubungan dagang antarbangsa dan benua. Bahkan memicu lahirnya kolonialisme, yang mau tak mau telah membawa perubahan pada perkembangan peradaban dunia.

Pala (Myristica Fragrans), Lada (Piper Nigrum), dan Cengkeh (Sizygium Aromaticum) adalah jenis rempah yang paling dikenal selain Kayu Manis (Cinnamomum zeylanicum), Kayu Cendana, Kamper, Damar dan berbagai jenis rempah lainnya. Meski sebagian besar berfungsi sebagai pelezat dan pemberi rasa pada makanan, pada praktiknya rempah juga dapat berfungsi sebagai bahan pengawet, kosmetik, obat-obatan dan sekedar pengharum. Rempah-rempah inilah yang melahirkan perburuan dan perdagangan dunia, yang dalam prosesnya melahirkan garis-garis imajiner yang menghubungkan berbagai tempat dan pelabuhan yang terlibat, yang disebut Jalur Rempah.

Perdagangan rempah

Perdagangan rempah antarpulau dan daerah pada akhirnya melahirkan hubungan dagang dengan bangsa-bangsa di utara seperti China, India dan Asia Barat. Bukti-bukti sejarah dan berbagai temuan arkeologi masa Hindu Buddha menunjukkan hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara (seperti Mataram Kuno, Sriwijaya, Singhasari dan Majapahit) dengan bangsa-bangsa tersebut. Sutera, kain yang halus, kain yang kasar, porselain, alat-alat logam, batu permata, senjata api, dan sebagainya adalah komoditi yang dipertukarkan dengan berbagai jenis rempah yang dihasilkan di Nusantara.

Pada abad ke-16 M, bangsa Eropa berlomba untuk untuk menguasai daerah-daerah utama penghasil rempah-rempah. Bangsa Eropa yang kali pertama sampai di Nusantara adalah Portugis, disusul Spanyol, kemudian bangsa-bangsa Eropa lainnya. Belanda baru sampai di Banten pada 1596. Pada abad itu belum ada satu kekuatan yang berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah. Menjelang abad ke-17 Belanda secara bertahap berhasil mengusir para saingan dari Eropa itu. Kemudian menegakkan monopoli perdagangan rempah-rempah dengan mendirikan VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) yang memiliki kapal, gudang, dan toko-toko rempah sendiri.

Jalur pelayaran yang penuh drama dari masa prasejarah hingga kolonial inilah yang kita sebut dengan Jalur Rempah. Jalur pelayaran yang menghubungkan Dunia Timur dengan Dunia Barat. Terbentang dari sebelah barat-selatan Jepang, Kepulauan Nusantara dan melewati selatan India hingga ke laut Merah. Kemudian melintasi daratan Arabia-Mesir terus memasuki Laut Tengah dan selatan Eropa dengan jarak mencapai 15.000 km. (PED)