Dikisahkan pada zaman Raja Mayadenawa berkuasa di Bali, masyarakat dilarang untuk melakukan persembahyangan kepada para Dewa. Tindakan Mayadenawa tersebut membuat para Dewa marah dan diutuslah Batara Indra untuk memerangi Mayadenawa. Singkat cerita, Mayadenawa terdesak sehingga melarikan diri. Untuk menghilangkan jejak, Mayadenawa memiringkan telapak kakinya agar tidak terlacak oleh pasukan Batara Indra. Di tempat pelarian Mayadenawa tersebut kini dikenal sebagai Tampaksiring yang berarti telapak kaki yang miring. Di tengah pelariannya, Mayadenawa membuat sebuah sumur beracun yang menewaskan tentara Batara Indra. Mengetahui tentaranya banyak yang tewas, Batara Indra menancapkan mata tombaknya ke tanah dan terciptalah sebuah mata air suci yang dapat menghidupkan kembali tentaranya. Mata air yang berasal dari mata tombak Batara Indra itulah yang kini disebut sebagai Tirta Empul.
Pura Tirta Empul terletak di Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Pura Tirta Empul berada tepat di bawah serambi timur Wisma Negara Istana Kepresidenan Tampaksiring. Jadi, bila orang nomor satu di Indonesia tersebut ingin mengintip keindahan Pura Tirta Empul, ia cukup mengintip dari balik jendela istana saja.
Cerita lain datang dari Pura Penataran Sasih, Gianyar. Di dalam pura tersebut terdapat sebuah nekara (gendang besar yang terbuat dari perunggu) yang berasal dari kebudayaan Dongson. Menurut cerita, nekara tersebut merupakan bulan yang jatuh dan mendarat di areal persawahan desa Pejeng. Bulan tersebut bersinar terang sepanjang hari sehingga membuat para pencuri tidak bisa melakukan aksinya. Untuk memadamkan bulan tersebut komplotan pencuri lantas bersepakat untuk mengencingi bulan tersebut. Begitu tersiram oleh air seni komplotan pencuri tersebut, cahaya bulan meredup dan padam. Lalu muncul nekara besar tersebut. Selain terkenal dengan kisah bulan jatuhnya, nekara di Pura Penataran Sasih memiliki kisah lain. Konon nekara tersebut merupakan subang (anting-anting) milik Kebo Iwa, seorang Mahapatih Kerajaan Bali yang sangat sakti mandraguna. Sehingga dengan kuku-kukunya, Kebo Iwa dapat mengukir Candi Gunung Kawi dan Goa Gajah. Kedua cagar budaya tersebut juga merupakan sebuah tempat yang sakral bagi penganut agama Hindu Bali.
Mitologi dan Kaitannya dengan Kelestarian Cagar Budaya
Dalam konteks pelestarian cagar budaya, cerita suci atau mitologi memiliki peranan penting. Masyarakat Bali yang mempercayai cerita tersebut akan menyakralkan benda atau bangunan cagar budaya tersebut. Selain itu, sebagian besar cagar budaya di Bali adalah living monument—cagar budaya tersebut masih difungsikan oleh masyarakat, baik sebagai tempat peribadatan atau tempat wisata. Oleh karena itu, cagar budaya di Bali relatif lebih terjaga kelestariannya. Masyarakat Bali juga meyakini adanya hukum karma atau hukum sebab-akibat, sehingga apabila seseorang merusak atau membiarkan sebuah bangunan suci rusak, ia akan menerima akibat buruk. Jadi, merawat bangunan cagar budaya yang disucikan merupakan sebuah hal yang mutlak dilakukan oleh masyarakat Bali.
Kepercayaan tersebut memunculkan potensi keterancaman yang baru, yaitu penyaluran dana bantuan sosial yang kerap disalurkan ke pura-pura atau bangunan cagar budaya lain. Oleh penerima, dana bantuan sosial tersebut kerap digunakan untuk mengganti bagian-bagian bangunan yang dianggap telah berusia tua atau rusak. Penggantian tersebut juga tidak dilaporkan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali sehingga kerap mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya. “Penggantian bagian-bagian bangunan cagar budaya yang mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian tentu saja merusak nilai keaslian arsitektur sebuah cagar budaya,” tutur Ni Komang Aniek Purniti dari BPCB Bali saat berdiskusi memperingati Hari Ulang Tahun Purbakala di Wantilan BPCB Bali. “Oleh sebab itu, sosialisasi terus dilakukan oleh BPCB Bali agar ke depan, penggantian bagian-bagian bangunan cagar budaya dapat dikonsultasikan terlebih dahulu oleh semua pemangku kebijakan kecagarbudayaan di Bali agar nilai keaslian bangunan dan prinsip-prinsip pelestarian tetap terjaga,” tambah Ni Komang. (Indrawan Dwisetya Suhendi, Subdit Registrasi Nasional)
Baca juga:
Resmi! Kompleks Percandian ini Sudah Menjadi Cagar Budaya Nasional
Rumah Pengasingan Ir. Soekarno di Ende: Sejarah Bung Karno dan Pohon Sukun