Gianyar, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman — Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Purbakala Ke-106 Tahun 2019, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) bekerja sama dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komisariat Daerah Bali menyelenggarakan Diskusi Cagar Budaya 6 April 2019 lalu di Wantilan Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Jalan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.

Diskusi yang dipandu oleh Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, Drs. I Wayan Muliarsa tersebut menghadirkan Andi Syamsu Rijal, M.Hum (Kepala Subdirektorat Registrasi Nasional PCBM), Dra. Ni Komang Aniek Purniti, M.Si (Kepala Seksi Perlindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan BPCB Bali), dan Ramon Yusuf Tungka (figur publik) sebagai narasumber diskusi. Diskusi tersebut mengundang 50 orang dari berbagai unsur seperti dinas yang menangani kebudayaan baik di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota di Bali, Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi, Kabupaten/Kota di Bali, komunitas, siswa, dan akademisi. Turut hadir Dr. I Gede Ngurah Anom, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan yang juga mewakili Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Gianyar.

Dalam diskusi tersebut, Andi Syamsu Rijal memaparkan mengenai pentingnya registrasi nasional cagar budaya sebagai ujung tombak pelestarian cagar budaya. “Sebelum menjadi cagar budaya, objek diduga cagar budaya harus didaftarkan ke dalam sistem registrasi nasional untuk selanjutnya dikaji oleh tim ahli cagar budaya daerah dan ditetapkan sebagai cagar budaya. Setelah menjadi cagar budaya, objek tersebut akan menjadi perhatian pemerintah untuk kelestariannya, tetapi bukan berarti objek yang belum ditetapkan luput dari perhatian pemerintah,” tutur Andi Syamsu Rijal.

Narasumber lain, Ni Komang Aniek Purniti memaparkan situasi pelestarian cagar budaya di wilayah kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali, yakni di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Menurutnya, tiap daerah memiliki karakteristik cagar budaya sendiri sehingga kebijakan pelestariannya juga berbeda. “Sebagai contoh di Bali. Cagar budaya Bali kebanyakan merupakan living monument. Masyarakat banyak menjadikan cagar budaya di Bali sebagai tempat peribadatan. Sehingga dengan sendirinya, masyarakat akan ikut menjaga dan melestarikan peninggalan cagar budaya,” tutur Ni Komang.  Meski demikian, bukan berarti tidak ada ancaman bagi cagar budaya di Bali. Menurut Ni Komang tantangan pelestarian cagar budaya di Bali adalah banyaknya bantuan sosial yang disalurkan langsung ke Pura tanpa melalui BPCB sehingga masyarakat akan cenderung mengganti bagian Pura yang rusak dengan biaya bantuan sosial tersebut. “Hal tersebut jelas menurunkan nilai keaslian arsitektur suatu bangunan cagar budaya,” tambah Ni Komang.

Sementara itu, Ramon Y. Tungka sebagai narasumber terakhir memberikan nasihat kepada generasi milenial agar menjadikan cagar budaya sebagai masa depan. Menurut Ramon, cagar budaya memang merupakan bagian dari masa lalu, namun keberadaannya dapat menjadi masa depan sebuah generasi. Di Bali, masyarakatnya sudah menunjukkan hal tersebut. Cagar budaya di Bali merupakan salah satu penyumbang terbesar pendapatan. Banyak warga yang menggantungkan hidupnya kepada aspek pariwisata yang ditunjang oleh kelestarian sebuah cagar budaya. Oleh sebab itu, Ramon mengajak kepada masyarakat Bali, khususnya generasi milenial untuk menjaga lestarinya sebuah cagar budaya. “Cagar budaya memang bagian dari masa lalu, tapi bila generasi ke depan menjaga dan melestarikan cagar budaya, maka cagar budaya bisa menjadi masa depan sebuah generasi,” tuturnya menurup diskusi. (Indrawan Dwisetya Suhendi, Subdit Registrasi Nasional)

Baca juga:

Diklat PPNS Cagar Budaya 2019: Kaitannya Dengan Perlindungan Cagar Budaya di Indonesia

Subdit PTCBM Selenggarakan Pembangunan Kapasitas Tenaga Profesional Museum Indonesia

Subdit PTCBM Gelar Sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya yang Kedua di Jakarta