Akses terhadap Fasilitas Fisik Museum

0
2875
Istilah aksesibilitas menunjukkan fisik dan akses komunikasi. Jika kita berbicara tentang aksesibilitas di museum, itu berarti bahwa pameran, ruang koeksistensi dan sirkulasi, layanan informasi, program pelatihan dan semua layanan dasar dan khusus lainnya harus dapat diakses oleh semua individu,
Ramp di Museum Geusan Ulun, Sumedang, Jawa Barat.

Oleh: Ida Fitriani

(Museolog Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal)

Aksesibilitas

Tingkatan akses ini menurut Majewski dan Bunch (1998) yang dikutip oleh Sandell (2007) mencakup elemen-elemen yang paling mudah muncul dalam pikiran profesional museum ketika pertanyaan tentang disabilitas dimunculkan—‘perangkat keras’ yang terlihat bagi akses, seperti penyediaan lift, permukaan landai (ram), pegangan tangan dan toilet yang dapat diakses.

Pemahaman di atas merupakan persepsi umum yang ada di benak banyak orang ketika disebutkan kata aksesibilitas. Akan tetapi, bagaimana cara museum menjadikan dirinya secara fisik dapat diakses oleh penyandang disabilitas, tampaknya harus terus disuarakan. Meskipun telah banyak diterbitkan aturan tentang standar fisik yang harus dipenuhi dalam pembangunan gedung maupun ruang terbuka publik, ternyata implementasinya secara tepat masih jauh dari harapan. Hal ini terjadi karena proses pembangunan tersebut tidak memperhatikan standar yang telah ditetapkan, dan hanya menyediakan fasilitas sebagai formalitas ataupun penggugur kewajiban. Akibatnya, fasilitas fisik yang digagas sebagai akses keluar masuk suatu bangunan menjadi tidak efektif atau mengalami gagal fungsi.

Di Indonesia, hal ini terlihat dari tidak dipatuhinya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Berbagai pendiri dan pengelola sejumlah besar bangunan gedung dan lingkungan yang merupakan fasilitas publik tidak mengindahkan aspek aksesibilitas fisik bagi pengguna yang beragam. Meskipun sudah lama diterbitkan, peraturan tersebut tetap belum mendapatkan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat, termasuk pengelola bangunan cagar budaya dan museum. Hal ini sangat mungkin terjadi, selain karena kurangnya pemahaman atau kesadaran tentang pentingnya peningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas, juga disebabkan tidak adanya sanksi yang tegas untuk pelanggaran terhadap regulasi tersebut. Akibatnya, banyak sekali informasi tentang kebudayaan yang terdapat pada bangunan cagar budaya dan museum yang tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas.

Bagaimana museum lebih mudah diakses oleh disabilitas?

Dalam mempertimbangkan bagaimana membuat museum lebih mudah diakses oleh masyarakat penyandang disabilitas, Ambrose dan Paine (2006) menyatakan bahwa sangat penting untuk melakukan audit akses, penilaian terhadap semua aspek museum yang mungkin memberikan hambatan terhadap akses. Hal ini dapat membantu museum membuat rencana aksi dan memprioritaskan perbaikan untuk masa yang akan datang. Audit akses sebaiknya dilakukan bersama orang-orang dengan jenis disabilitas yang berbeda, sehingga respon museum dapat disampaikan dengan tepat. Daftar cek berikut memberikan indikasi jenis pertanyaan yang harus dipikirkan manajer museum tentang fitur eksternal dan internal bangunan museum dalam mempertimbangkan akses bagi para penyandang disabilitas:

Di Luar Museum

1. Orientasi bagi

penyandang disabilitas

Apakah terdapat tanda/landmark yang sesuai untuk pengunjung tunanetra/yang mengalami gangguan penglihatan sebagian?
Apakah materi pemasaran tersedia dalam ukuran teks yang besar?
2. Rute akses/jalan Apakah jalur akses ditandai dengan jelas dan bebas dari

penghalang?

Apakah trotoar dan tepinya jelas dan permukaan antiselip?
Apakah tanda-tanda, kisi-kisi, tempat sampah berbahaya?
Apakah jendela/pintu terbuka ke luar atau ke dalam?
3. Jalur landai (ramp) dan tangga Apakah pintu masuk ditandai dengan baik dan dapat diakses oleh pengguna kursi roda?
Apakah jalur landai untuk pengguna kursi roda berada pada kemiringan (gradient) yang benar?
Apakah ada pegangan tangan sepanjang jalur landai dan tangga?
Apakah terdapat pencahayaan yang cukup?
4. Pintu masuk dan

ruangan

Apakah pintu cukup lebar untuk pengguna kursi roda ?
Apakah pintu terlalu berat untuk dibuka?
Apakah ada tangga yang terhubung dengan pintu?
Dapatkah orang melihat melalui pintu?
Apakah pintu mengkilap ditandai dengan jelas?
Bisakah pintu otomatis digunakan sebagai pengganti pintu ayun?
Apakah ruang dan lobi memungkinkan bagi manuver kursi roda?

Di Dalam Museum

1. Orientasi Apakah terdapat cukup tanda yang dapat dibaca untuk pengunjung dengan gangguan penglihatan sebagian?
Apakah ada landmark aural atau taktil untuk membantu tunanetra/ pengunjung dengan gangguan penglihatan sebagian?
Apakah warna permukaan dinding/lantai membantu atau menghambat orientasi?
2. Ketinggian Apakah ada peringatan tentang perubahan ketinggian lantai?
Apakah tangga diterangi dan ditandai dengan baik?
Apakah meja informasi/ gantungan/ wastafel/ display toko/telepon berada pada ketinggian yang sesuai bagi pengguna kursi roda?
3. Lift Apakah tombol kontrol mudah dilihat dan dijangkau letaknya?
Apakah ada pegangan rambat (handrail) di dalam lift?
Apakah tanda-tanda dan arah ditandai dengan jelas dan bercahaya?
4. Tempat duduk Apakah terdapat cukup tempat duduk bagi pengunjung?
Apakah stabil dan dengan beragam ketinggian?
5. Bahan dan lapisan

penutup

Apakah lapisan penutup dipilih dengan tujuan untuk menghindari ketidaknyamanan atau cedera?
Apakah ada sudut tajam pada dinding atau persimpangan?
Apakah suara atau pantulan cahaya menjadi bantuan atau hambatan?
Dapatkah warna digunakan untuk memberikan petunjuk?
Apakah display disajikan tanpa mengganggu permukaan di belakangnya sehingga benda-benda menonjol dengan efektif?
6. Pencahayaan Apakah jendela dirancang untuk meminimalkan silau?
Dapatkah jendela dibuka dan dikunci dengan mudah?
Apakah pencahayaan display efektif untuk pengunjung dengan gangguan penglihatan sebagian?
7. Pemanasan Apakah sistem pemanas seperti radiator berbahaya untuk disentuh?
8. Manajemen bencana Akankah penyandang disabilitas bisa keluar dari gedung museum dengan mudah dalam kasus kebakaran atau bencana lainnya?
Apakah ada prosedur yang ditetapkan untuk diikuti staf?
Apakah staf tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat?
9. Lingkaran induksi (induction loops) Apakah museum/galeri/ruang kuliah/pusat edukasi dilengkapi dengan lingkaran induksi (induction loops) untuk membantu orang yang menggunakan alat bantu dengar?
10. Tanda Apakah tanda-tanda terbaca dan konsisten ?
Apakah tanda-tanda tersebut diposisikan dengan baik?
Apakah huruf Braille dalam jangkauan tangan dan berada pada ketinggian dan sudut (angle) yang sesuai?
11. Pameran-sentuh (touch exhibitions)/display/tur/loka karya Apakah museum menyediakan benda pamer yang dapat disentuh/kesempatan memegang bagi pengunjung tunanetra atau yang mengalami gangguan penglihatan sebagian?
12. Kafe/restoran Apakah pengaturan pelayanan dapat diakses dan sesuai untuk pengunjung berkursi roda?
13. Toilet Apakah ada toilet yang dirancang khusus untuk pengunjung penyandang disabilitas?
14. Tur terpandu Apakah museum mengadakan tur dan acara secara khusus untuk penyandang disabilitas?
Daftar cek audit akses fisik bangunan museum, diadaptasi dari Ambrose, Timothy dan Crispin Paine, Museum Basics 2nd Edition, Routledge, 2006 Hlm. 40–41.

 

Akses yang mudah

Ruang, bangunan, furnitur, peralatan atau elemen perkotaan dianggap dapat diakses jika dapat dicapai, dikendalikan, digunakan dan dicoba oleh siapa saja, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan mobilitas. Istilah aksesibilitas menunjukkan fisik dan akses komunikasi. Jika kita berbicara tentang aksesibilitas di museum, itu berarti bahwa pameran, ruang koeksistensi dan sirkulasi, layanan informasi, program pelatihan dan semua layanan dasar dan khusus lainnya harus dapat diakses oleh semua individu, tersedia untuk semua bentuk komunikasi dan dengan bentuk serta penggunaan yang jelas dan sederhana, yang memungkinkan otonomi bagi pengguna (Sarraf, 2008). Hal ini sangat bersesuaian dengan empat asas aksesibilitas yang tertuang dalam Keputusan Menteri PU No. 468/KPTS/1998 berupa:

  1. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
  2. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
  3. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
  4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.

Giusti (2008) mengungkapkan bahwa untuk kelompok pengunjung tertentu, hambatan fisik menimbulkan rintangan (yang dapat diatasi) yang menghambat mereka mencapai konteks terjadinya keterlibatan intelektual dengan pameran. Untuk keadaan semacam ini, Talboys (2005) berpendapat bahwa disabilitas fisik tertentu harus dipenuhi oleh museum secara keseluruhan dalam arti fisik, membuat akses lebih mudah dan pameran lebih jelas. Sementara, ketidakmampuan belajar perlu pertimbangan khusus oleh pelayanan edukasi, dan ini paling baik dilakukan dalam kerja sama dengan guru spesialis.

Universal Design sebagai penyempurna

Selain desain yang dapat diakses bagi penyandang disabilitas, perlu kiranya memertimbangkan penggunaan Universal Design sebagai penyempurnaan desain fasilitas bagi penyandang disabilitas. Hal ini juga sudah menjadi kesepakatan internasional, di mana konsep Desain Universal termuat dalam Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas. Dalam konvensi ini disebutkan bahwa Desain Universal berarti desain produk, lingkungan, program-program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin, tanpa memerlukan suatu adaptasi atau rancangan khusus. Desain Universal wajib tidak mengesampingkan alat bantu bagi kelompok-kelompok khusus penyandang disabilitas pada saat diperlukan.

Berdasarkan keterangan pada situs resmi http//:www.universaldesign.com, istilah Universal Design atau Desain Universal sendiri dimunculkan oleh Ronald L. Mace, pendiri dan mantan direktur program The Center for Universal Design pada North Carolina University. Pada 1997 Rone Mace berkolaborasi dengan satu grup arsitek, insinyur dan desainer lingkungan mengembangkan Tujuh Prinsip Desain Universal meliputi 1) penggunaan secara wajar, 2) fleksibilitas dalam penggunaan, 3) sederhana dan digunakan secara intuitif, 4) informasi yang dapat dimengerti, 5) menoleransi kesalahan, 6) membutuhkan sedikit usaha, 7) ukuran dan ruang yang tepat untuk penggunaan.

Universal Design membuat segala hal menjadi lebih aman, lebih mudah dan lebih nyaman bagi setiap orang. Desain Universal meliputi desain produk dan ruang, sehingga dapat digunakan oleh sebanyak mungkin orang. Merupakan evolusi dari Accessible Design, proses desain yang diperuntukkan bagi kebutuhan penyandang disabilitas. Desain Universal melangkah lebih jauh dengan mengenali bahwa ada spektrum yang luas dalam hal kemampuan manusia. Setiap orang, meskipun orang yang paling mampu secara fisik, melewati masa kanak-kanak, sakit sementara waktu, menderita luka dan usia lanjut. Dengan mendesain untuk perbedaan manusia ini, kita dapat menciptakan sesuatu yang akan mudah digunakan oleh semua orang.

Desain Universal memberikan keuntungan bagi semua orang, karena ia mempertimbangkan rentang perbedaan manusia secara luas, meliputi kemampuan fisik, perseptual dan kognitif, serta perbedaan ukuran dan bentuk tubuh. Dengan mendesain untuk perbedaan ini, kita dapat menciptakan sesuatu yang lebih fungsional dan mudah (user friendly) digunakan oleh siapa saja. Sebagai contoh, trotoar dipinggiran jalan pada mulanya didesain untuk pengguna kursi roda, tapi sekarang digunakan oleh pejalan kaki yang membawa kereta bayi (stroller) atau bagasi beroda. Trotoar telah memiliki fungsionalitas tambahan bagi jalan yang memberikan keuntungan bagi kita.

Daftar Pustaka

Ambrose, Timothy dan Crispin Paine. (2006). Museum basics (2nd ed.). New York: Routledge.

Giusti, Ellen. (2008). Improving visitor access. In Loїc Tallon dan Kevin Walker (ed), Digital technologies and the museum experience: handheld guides and other media. Plymouth: Altamira Press.

Sandell, Richard. (2007). Museum, prejudice and reframing the difference. New York: Routledge.

Sarraf, Viviane Panelli. (2008). The relationship between disabled people and museums: A research based on interviews with visitors and directors of museums. The International Journal of the Inclusive Museum, Vol. 1 No. 2.

Talboys, Graeme K. (2005). Museum educator’s handbook second edition. England: Ashgate Publishing Limited.