Oleh: Ida Fitriani

(Museolog Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal)

Aksesibilitas

Secara harfiah, aksesibilitas berasal dari kata akses, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai jalan masuk; mengakses berarti membuat akses atau meneruskan; aksesibilitas diartikan sebagai hal dapat dijadikan akses; hal dapat dikaitkan; keterkaitan. Berdasarkan Oxford Advance Learner’s Dictionary 7th Edition, aksesibilitas berasal dari kata access. Sebagai kata benda, kata access dimaknai a way of entering or reaching a place; the opportunity or right to use something or to see somebody/something, yaitu jalan untuk masuk atau mencapai suatu tempat; kesempatan atau hak untuk menggunakan sesuatu atau melihat seseorang/sesuatu. Sebagai kata sifat, access didefinisikan sebagai to reach, enter or use something yang berarti untuk mencapai, memasuki atau menggunakan sesuatu. Sementara itu, aksesibilitas (accessibility) merupakan bentuk kata benda dari kata sifat accessible, yang didefinisikan sebagai that can be reached, entered, used, seen, etc., yaitu yang dapat dicapai, dimasuki, dilihat, dsb.

Selain definisi berdasarkan kamus bahasa, istilah aksesibilitas juga telah digunakan dalam berbagai dokumen resmi berupa tulisan ilmiah maupun produk hukum atau perundangan. Dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum RI Nomor 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan misalnya, aksesibilitas diartikan sebagai kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.

Aksesibilitas Museum

Isu tentang aksesibilitas museum bukanlah hal baru. Hal ini terutama bagi negara-negara di benua Eropa dan Amerika, yang telah lebih dahulu menaruh perhatian terhadap aksesibilitas bagi penyandang disabilitas di museum. Meski telah tiga dekade berproses dalam peningkatan aksesibilitas museum, ternyata tidak semua museum di negara-negara tersebut mengalami perkembangan yang signifikan. Ada yang masih terlihat diskriminatif, bahkan juga baru memulai langkah perbaikan. Sementara, di museum-museum di Indonesia, usaha-usaha menuju peningkatan aksesibilitas nampaknya masih berjalan lambat, bahkan belum terpikirkan oleh pihak pengelolanya.

Janice Majewski dan Lonnie Bunch, sebagaimana dikutip oleh Sandell (2007), menjelaskan tentang tiga tingkatan aksesibilitas yang dapat dijadikan titik tolak kajian. Majewski dan Bunch menggambarkan tiga tingkatan yang berbeda dalam hal akses disabilitas, yang harus dituju museum dalam mengembangkan pameran, yang memenuhi kebutuhan khalayak mereka.

Tingkatan pertama, diistilahkan sebagai ‘akses terhadap unsur-unsur fisik pameran’, berkaitan dengan usaha memungkinkan pengunjung untuk dapat masuk ke gedung museum, dan untuk menavigasi melalui dan di sekeliling pameran dengan baik. Tingkatan kedua yang mereka pertimbangkan adalah ‘akses terhadap konten pameran’ yang memerlukan pemahaman bahwa pengunjung merasakan pengalaman dari display dengan cara yang berbeda. ‘Dalam pameran’, mereka berpendapat: museum harus mempertimbangkan isu-isu yang berkisar dari keterbacaan label, hingga pemahaman teks label; dari keterangan video dan deskripsi audio hingga beragam tingkat pemahaman dan kenyamanan terhadap tema dan konten pameran. Aksesibilitas terhadap konten berarti akses terhadap kata-kata tertulis, objek, presentasi media, dan interaktif. Tingkatan ketiga dari akses yang dideskripsikan oleh Majewski dan Bunch berkaitan dengan representasi penyandang disabilitas dan masuknya narasi dan interpretasi yang berhubungan dengan disabilitas dalam pameran. Hal ini, menurut mereka, telah hampir seluruhnya diabaikan.

Baca juga akses fisik museum dan akses pameran museum

Daftar Pustaka

Sandell, Richard. (2007). Museum, prejudice and reframing the difference. New York: Routledge.