Foto: Sindonews

Oleh: Ida Fitriani

(Museolog Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal)

Akses Edukasional atau Intelektual di Museum

Jika diperhatikan, hingga kini terlihat bahwa regulasi yang diterbitkan oleh pemerintah tentang disabilitas baru mengarah kepada perubahan yang mengutamakan penyediaan akses fisik pada bangunan atau fasilitas umum, tetapi belum sampai pada penyediaan akses yang dapat memenuhi alasan mengapa kita perlu masuk dan apa yang akan dilakukan dalam gedung/bangunan tersebut. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa akses edukasional atau intelektual di lembaga publik termasuk museum, belum mendapat perhatian secara memadai.

Dalam konteks museum, Hartley (2005) menyatakan bahwa aksesibilitas seharusnya dimaknai lebih dari sekadar akses fisik, akan tetapi juga akses intelektual bagi semua orang. Akses bermakna lebih dari sekadar bisa masuk melalui pintu dan beregerak dengan relatif bebas di dalam bangunan. Menurutnya, akses edukasional sama pentingnya dan sering sangat kurang mendapatkan perhatian, meskipun secara luas dipahami bahwa menjadikan informasi lebih relevan dan lebih mudah didapat adalah hal penting jika ingin meraih kelompok pengunjung baru.

Dalam hal aksesibilitas museum sebagai tempat yang edukatif sekaligus menghibur, regulasi semacam ini cenderung melupakan esensi akses sesungguhnya. Fasilitas fisik, teknologi yang digunakan dalam pameran, sekaligus konten informasi yang disampaikan hendaklah saling mendukung terciptanya pemahaman yang baik tentang koleksi dan pameran di museum. Bagaimana semua pengunjung dengan latar belakang fisik dan intelektual yang berbeda dapat belajar dalam suasana menyenangkan, selaiknya perlu ditinjau kembali oleh pengelola.

Sumber Daya dan Teknologi

Dalam rangka menarik dan mempertahankan pengunjung, museum harus menyediakan sumber daya dan teknologi yang mengakomodasi keragaman budaya dan kemampuan. Museum tidak dapat beroperasi di bawah model paternalistik lama, yaitu paradigma yang menyiratkan mereka tahu apa yang terbaik bagi pengunjung mereka. Pengunjung museum ingin pengalaman relevan yang bermakna secara pribadi di mana mereka merasa memegang kendali (Giusti 2008). Hal ini menyiratkan bahwa museum hendaknya tidak bertindak sebagai pemangku kekuasaan penuh atas desain pameran. Kerja sama dan juga kolaborasi dengan berbagai macam pengunjung, baik dalam bentuk perorangan maupun komunitas, dengan memahami perbedaan kemampuan fisik, intelektual, serta budaya, merupakan syarat bagi terwujudnya inklusi sosial sesungguhnya dalam museum.

Lebih lanjut Giusti (2008) mengatakan bahwa memahami perbedaan fisik antara individu dan persyaratan ruang dan arsitektur yang dihasilkan adalah langkah awal yang penting. Akan tetapi, informasi ini tidak cukup untuk menyediakan akses belajar yang sesungguhnya bagi semua orang. Desain universal untuk belajar melampaui aksesibilitas fisik. Hal ini melibatkan penciptakan pengalaman belajar multiindrawi, multimodal yang darinya semua pengunjung dapat belajar dengan menyentuh, melihat, mendengarkan, mencium, dan kadang-kadang bahkan mengecap.

Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Hooper-Greenhill (2007). Menurutnya, bernilainya pengalaman belajar multiinderawi ini merupakan salah satu klaim terkuat yang dibuat oleh edukator museum. Penggunaan indra peraba, penciuman, pendengaran dan pengecap telah ditambahkan untuk memperlihatkan bahwa edukator museum telah mengembangkan cara mengajar yang sangat bagus berbasis koleksi museum. Cara belajar yang memasukkan pendekatan tambahan—kesempatan memegang artefak, untuk memerankan ide dan untuk mendesain dan membuat produk kreatif sebagai respon terhadap koleksi museum—efektif melibatkan pembelajar dari semua usia dan kemampuan.

Aksesibiltas fisik vs aksesibiltas intelektual

Menurut Hein (1998), aksesibilitas fisik sangat erat kaitannya dengan aksesibilitas intelektual. Dengan mengetahui berbagai jenis keadaan fisik yang mungkin disandang oleh pengunjung, kita memahami perbedaan gaya belajar atau jenis-jenis kecerdasan mereka. Peluang bagi pameran dan program-program untuk merefleksikan rentang gaya belajar yang luar biasa yang dibawa oleh pengunjung dibatasi oleh imajinasi, dan sayangnya, oleh kendala yang kuat dalam hal waktu, uang, dan ruang yang membatasi seluruh pengembangan pameran. Berikut adalah beberapa contoh cara memperluas akses mencakup:

  • “Teks berlapis” yang didesain untuk berbagai kategori pengunjung, sehingga pengetahuan ahli, informasi untuk pengunjung awam dan informasi untuk anak-anak dapat tersedia seluruhnya. Sayangnya, pendekatan ini sering disalahartikan hanya sebagai teks yang terlalu panjang.
  • Label audio maupun label tertulis.
  • Penambahan drama atau interpretasi langsung lainnya daripada galeri statis.
  • Sumber-sumber tambahan, seperti buku-buku referensi, sumber computer CD-ROM, atau demonstrasi dekat dengan pameran.

Senada dengan pendapat Hein tersebut, Majewski (1996)—dalam bukunya berjudul Smithsonian Guidelines for Accessible Exhibition Design, yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai museum di dunia—menjelaskan dengan lebih rinci bahwa akses terhadap pameran meliputi akses terhadap konten, benda pamer, teks dan desain label, fasilitas audiovisual dan interaktif, rute sirkulasi, furnitur yang digunakan, warna, pencahayaan, ruang untuk program publik, pintu keluar darurat hingga area untuk anak-anak. Panduan desain pameran yang dapat diakses tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Konten pameran
  1. Pameran harus menjadikan konten yang dipamerkan dapat diakses pada berbagai tingkatan intelektual dan menyajikannya melalui lebih dari satu saluran indera.
  2. Pameran harus memasukkan pengalaman penyandang disabilitas dalam konten dan penyajiannya.
  • Benda-benda yang dipamerkan
  1. Benda-benda dalam pameran (seperti artefak, tulisan, alat penyangga) harus dapat diakses secara visual.
  2. Benda-benda yang diperlukan dalam tema utama pameran harus dapat diakses pengunjug melalui pengalaman taktil (seperti menyentuh artefak, reproduksi, model) dan/atau deskripsi audio yang komprehensif.
  3. Benda-benda harus tidak diletakkan pada lokasi yang dapat menimbulkan bahaya bagi pengunjung.
  • Teks dan desain label
  1. Informasi penting dalam teks label pameran harus dapat diakses oleh orang yang memiliki kesukaran membaca bahasa.
  2. Desain label harus menyajikan salinan pameran utama yang terbaca bagi semua pengunjung. Informasi pada label pameran tersebut harus tersedia di dalam galeri dalam berbagai format alternatif (seperti Braille, audio) bagi orang yang tidak dapat membaca tulisan cetakan.
  • Audiovisual dan interaktif
  1. Seluruh interaktifitas dalam pameran, program audio saja (seperti musik dengan lirik dan teks percakapan), dan audiovisual dengan soundtrack harus diberi judul terbuka atau tertutup. Soundtrack suara lingkungan harus diidentifikasi apakah menggunakan judul atau naskah. Suara juga dapat diidentifikasi dalam teks label.
  2. Interaktif dan audiovisual yang tidak memiliki soundtrack harus menyertakan label yang menyatakan fakta tersebut untuk memastikan tunarungu dan orang dengan kesulitan mendengar bahwa mereka tidak kehilangan informasi.
  3. Program audiovisual dan komputer interaktif yang menyajikan informasi dengan gambar dan cetakan harus dijelaskan dengan audio.
  4. Instruksi penggunaan perangkat interaktif dengan benar harus dapat diakses oleh semua pengunjung.
  5. Kontrol terhadap dan pengoperasian seluruh perangkat interaktif harus dapat diakses dan digunakan oleh seluruh pengunjung.
  6. Penggunaan perangkat interaktif harus dari lokasi yang dapat diakses oleh pengguna kursi roda atau alat bantu lainnya (seperti tongkat dan kruk); perangkat interaktif seharusnya tidak tertutup furnitur atau penghalang lainnya (lihat Gambar 2.5).
  • Rute sirkulasi
  1. Rute sirkulasi di dalam pameran harus dapat diakses.
  2. Rute sirkulasi harus diberi cukup cahaya, ditentukan dengan jelas, dan mudah diikuti.
  • Furnitur
  1. Semua tempat penyimpanan harus menyediakan akses melihat bagi orang bertubuh pendek atau duduk sebagaimana bagi mereka yang berdiri.
  2. Tempat penyimpanan dan vitrin seharusnya tidak menimbulkan bahaya keselamatan bagi seluruh pengunjung.
  3. Tempat duduk harus disediakan pada setiap pameran. Lima puluh persen dari tempat duduk harus dapat diakses. Pameran pada satu galeri harus memiliki tempat duduk di dekat koridor atau berdekatan dengan ruang galeri.
  • Warna
  1. Warna galeri (lantai, dinding, furnitur) harus menciptakan suasana yang terartikulasi dengan jelas, nyaman dan aman.
  2. Warna dan pola permukaan lantai pameran harus memberikan informasi akurat tentang kedalaman, ketinggian, dan kondisi permukaan lantai.
  3. Warna antartempat penyimpanan harus menyediakan akses visual yang jelas terhadap objek di dalamnya.
  4. Warna untuk label harus sangat kontras antara teks dengan latar belakang.
  • Pencahayaan
  1. Keamanan pengunjung (khususnya bagi mereka yang berpenglihatan lemah dan memiliki kesulitan perseptual visual) harus mendapatkan pertimbangan yang sama dengan persoalan desain pameran dan konservasi.
  2. Cahaya dan warna harus menyatu untuk menghasilkan rute sirkulasi yang digambarkan dengan jelas menuju, melalui, dan keluar dari setiap ruang pameran. Ini adalah persyaratan khusus ketika ada perubahan pada ketinggian atau tikungan yang tidak diinginkan, atau penghalang dalam rute.
  3. Harus terdapat cukup cahaya pada objek agar dapat dilihat oleh semua pengunjung, kecuali tingkat pencahayaan dapat menimbulkan kerusakan substansial terhadap objek.
  4. Harus terdapat cukup cahaya pada label agar dapat dibaca oleh semua pengunjung.
  5. Penghilangan cahaya yang menyilaukan dari tempat penyimpanan dan pada label harus dipertimbangkan bagi pengunjung yang duduk sebagaimana bagi mereka yang berdiri.
  6. Cahaya yang cukup untuk mengakomodasi percakapan dengan membaca ucapan dan bahasa isyarat harus disediakan di seluruh lokasi ruang pameran.
  • Ruang untuk program publik
  1. Di tempat-tempat pertemuan dengan tempat duduk permanen, harus disediakan beberapa lokasi untuk kursi roda. Lokasi-lokasi ini harus tersebar di seluruh area tempat duduk.
  2. Apabila tempat duduk berupa bangku, harus disediakan bangku dengan sandaran lengan dan punggung sejumlah yang sama dengan lokasi kursi roda.
  3. Ketika ada tempat duduk permanen, harus ada juga gang tempat duduk (satu persen dari total jumlah) yang tidak dilengkapi sandaran tangan, sandaran tangan ayun, atau sandaran tangan yang dapat digerakkan. Tempat duduk ini harus disebar ke seluruh ruangan program.
  4. Setiap tempat duduk tanpa sandaran tangan atau tanpa sandaran yang bisa digerakkan atau ayun harus diidentifikasi pada sandaran tangan dengan simbol akses internasional. Tanda pemberitahuan pendukung tentang keberadaan tempat duduk ini harus juga dipasang di pintu masuk menuju ruangan. Seluruh tanda harus memenuhi persyaratan aksesibilitas.
  5. Panggung, ruang ganti pakaian, dan area lainnya untuk penampil terkait dengan area program publik harus dapat diakses.
  6. Sistem bantu pendengaran harus disediakan di seluruh ruang program publik.
  7. Apabila ruang program selalu dalam kedaan gelap, alat bantu (seperti pegangan rambat, strip pencahayaan) harus tersedia untuk menjadikan rute masuk, melalui, dan keluar ruangan dapat diakses.
  8. Warna dan bahan tempat duduk harus menjadikan tempat duduk dapat diakses secara visual oleh setiap orang.
  • Pintu keluar darurat
  1. Harus ada tempat keluar darurat yang dapat diakses sepenuhnya dari ruangan pameran. Sediakan pintu keluar darurat yang dapat diakses dari ruang pameran.
  2. Desain keluar dari pameran mengarah kembali ke rute masuk yang dapat diakses atau mengarah langsung ke rute keluar lain yang dapat diakses.
  3. Pemberitahuan tentang lokasi tempat keluar yang dapat diakses dari galeri harus tersedia pada titik utama di dalam museum.
  • Area untuk anak-anak

Area yang didesain khusus untuk anak-anak harus memenuhi aksesibilitas anakanak.

Teknologi yang Mempermudah Akses terhadap Pameran

Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi digital yang digunakan oleh museum sangat mendukung terciptanya pengalaman atau sensasi yang menarik bagi pengunjung. Salah satu terobosan yang dapat dilakukan oleh museum untuk meningkatkan akses bagi pengunjung adalah dengan menyediakan perangkat audiovisual yang memungkinkan dilakukannya tur secara virtual.

Dalam buku Museum Virtual Tour Design Guide yang diterbitkan oleh Worchester Polythechnic Institue, USA (2006) disebutkan bahwa tur virtual adalah perangkat edukasi dan akses yang efektif untuk museum. Bagaimanapun juga, penting untuk mengungkapkan bahwa hal ini juga dapat meningkatkan edukasi museum yang secara fisik sudah dapat diakses. Berikut ini adalah keuntungan pada masing-masing situasi museum, baik yang sudah dapat diakses secara fisik, maupun yang aksesnya masih terbatas:

Keuntungan tur virtual bagi pengunjung museum

Dapat diakses secara Fisik

Akses Terbatas

  • Jika museum secara fisik sudah dapat diakses bagi penyandang disabilitas, tur virtual dapat dimasukkan ke dalam akses inklusif.
  • Tur dapat memasukkan kuis-kuis dan fitur interaktif lainnya untuk tujuan edukasi.

 

  • Untuk museum dengan akses terbatas, tur virtual dapat menjadi perangkat yang sangat baik untuk menyediakan akses terhadap seluruh bagian dari bangunan.
  • Tur berbasis foto memungkinkan pengunjung untuk melihat semua benda yang dipamerkan atau objek-objek di museum.
  • Hal ini sangat membantu dalam menyediakan gambaran yang lebih dekat terhadap benda yang dibatasi dari pengunjung.
Sumber: Museum Virtual Tour Design Guide Worchester Polythechnic Institue, USA (2006)

Selain tur virtual, beberapa museum juga menggunakan kemajuan teknologi untuk memfasilitasi pengunjung penyandang disabilitas dalam mengakses konten pameran. Di Einstein Museum (Bernisches Historisches Museum) di Bern, Jerman misalnya, disediakan audio guide dalam sembilan bahasa, inductive headphones dan video guide untuk pengunjung tunarungu dan yang mengalami hambatan pendengaran. Tersedianya fasilitas tersebut menjadikan Einstein Museum dapat diakses bagi lebih banyak pengunjung dari seluruh penjuru dunia.

Video guide dengan teknologi lebih familiar dan khusus diperuntukkan bagi tunarungu juga dikembangkan di Australia. Teknologi yang dikenal sebagai “Smart Auslan” ini dikembangkan oleh Australian Communication Exchange (ACE). Organisasi kemasyarakatan non-profit yang pada awalnya bekerjasama dengan National Sports Museum di Melbourne. Teknologi ini menggunakan aplikasi gratis (OpenMi Tours) pada telepon pintar (smart phone) yang menyediakan informasi di museum-museum, galeri seni dan tempat-tempat budaya dalam format komunikasi inklusif yang variatif. Hingga saat ini, terdapat 13 galeri dan museum di Australia yang dapat diakses menggunakan aplikasi OpenMi Tours.

Cara penggunaan relatif mudah, yaitu pengunjung terlebih dahulu mengunduh aplikasi beserta konten dalam bentuk audio maupun video ke dalam smart phone. Bisa juga dengan menggunakan smart phone siap pakai yang sudah disediakan di museum. Pengunjung hanya tinggal memilih menu museum yang dikunjungi. Kemudian memindai Quick Response (QR) code yang ada pada display pameran. Maka smart phone akan memutar video translasi dalam bahasa isyarat Australia (Auslan), yang dapat disertai dengan keterangan dalam bentuk teks (caption) maupun tidak, sesuai keinginan.

 

Daftar Pustaka

Giusti, Ellen. (2008). Improving visitor access. In Loїc Tallon dan Kevin Walker (ed), Digital technologies and the museum experience: handheld guides and other media. Plymouth: Altamira Press.

Hartley, Eleanor. (2005) Disabled people and museums: the case for partnership and collaboration. In Eilien Hooper-Greenhill, Museum, media, message. New York: Routledge.

Hein, George E. (1998). The constructivist museum. In Learning in the museum. New York: Routledge.

Hooper-Greenhill, Eilien. (2007). Education, postmodernity and the museum. In Museum revolution: how museum change and are changed. New York: Routledge.

Majewski, Janice. (1996). Smithsonian guidelines for accessible exhibition design. Washington: Smithsonian Institution Press.

Worchester Polythechnic Institue. (2006). Museum virtual tour design guide. USA: Worchester.