Oleh: W. Djuwita S. Ramelan
dapat dikatakan bahwa 90% candi atau biaro atau bangunan suci lainnya yang terdapat di Sumatera, demikian juga sebagian di Jawa Timur, juga beberapa di Jawa Barat, dan juga di Bali berbahan bata. Namun, sejauh ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangunan kuno bata yang masih utuh, semuanya telah mengalami kerusakan dengan derajat yang berbedabeda. Ada yang hampir utuh tetapi ada pula yang diurug kembali karena hanya tertinggal sebagian kecil dari bangunannya. Hal itu sangat berbeda dengan candi atau bangunan suci yang dibuat bari bahan batu (andesit). Dibandingkan dengan batu, bata yang merupakan salah satu jenis terakota atau tanah liat bakar kekuatannya jauh lebih rendah. Bata merupakan material yang sangat rentan akan pelapukan dan kerusakan. Dengan demikian, kondisi fisik bangunan suci berbahan batu jauh lebih baik daripada bata. Setidak-tidaknya ada dua permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan bangunan kuno berbahan bata, yaitu (1) permasalahan arkeologis dan (2) permasalahan pelestarian.
Permasalahan arkeologis, yang dimaksudkan adalah kondisi bangunan suci bata yang terkait dengan tujuan rekonstruksi kebudayaan masa lampau. Bangunan suci bata merupakan artefak tidak bergerak atau benda hasil ide, pengetahuan, dan perilaku masa lampau. Melalui bangunan bata tersebut, banyak cerita tentang masa lampau yang dapat direkonstruksi. Demikian pula dari bangunan suci bata yang dibahas dalam buku ini. Namun, kondisi bangunan yaitu utuh atau tidaknya akan mempengaruhi pula keluasan bahasan yang dapat dihasilkan.
Dalam arkeologi, ada unsur yang paling penting, yaitu keaslian (otentisitas). Dengan kata lain, sebuah artefak harus dapat dibuktikan keasliannya. Barulah ia akan menjadi data arkeologi atau dalam sudut pandang warisan budaya ia akan menjadi cagar budaya sebelum ditelusuri lebih lanjut nilai-nilai lainnya. Artinya, bangunan tersebut benar berasal dari kebudayaan yang melahirkannya atau bukan palsu, bukan buatan masa sekarang. Salah satu faktor yang memudahkan terpenuhinya keaslian adalah keutuhan bangunan tersebut. Keutuhan bangunan juga akan mempengaruhi kedalaman interpretasi arkeologis dalam hal arsitektural, desain, fungsi, sistem manajemen, teknologi, dan sebagainya.
Permasalahan pelestarian, dalam bangunan suci bata terkait dengan pencegahan kerusakan dan perawatannya. Setiap daerah menghasilkan bata yang memiliki karakteristik sendiri dalam hal pola kerusakan yang disebabkan oleh berbagai faktor. Sejumlah kerusakan kerusakan yang telah diidentifikasi oleh para ahli tampak dari (a) gejala terlepasnya ikatan partikel bata karena erosi angin, (b) pelarutan komponen bata karena air tanah atau limbah, (c) degradasi akibat dekomposisi dan perubahan struktur utama bangunan karena tindakan destruktif manusia, seperti vandalisme atau bahan kimia ketika proses konservasi, (d) keruntuhan kumpulan bata karena terjadi variasi suhu udara dan kelembaban, (e) desegregasi, korosi, dan lubang akibat hewan (f) faktor iklim yang agresif, (g) kerusakan karena penyakit oleh mikroorganisme, dan (h) runtuhnya struktur utama dari monumen karena masalah mekanik dan fisik yang parah (Cuneo, 1993; Skibinski, 1988; Kumar, 1993; Rua, Rajer, & Mostacedo, 1993; El-Gohary, 2007; 2010; 2012; Rosvall, 1989; Bhamondez & van de Maele, 1990; Fassina & Borsella, 1993; Nardi, 1987; Zezza et all, 1985; Malisius, 1993; Waller, 1992; Hamid, 1979; Krumbein, 1988; Macchi, 1998; Torraca, 1988; Chiari, Invernizzi, dan Giuseppina, 1993).
Sementara itu berbekal pengalamannya mengurusi candi, Aris Munandar (2010: 55) membagi kerusakan bangunan bata di Indonesia ke dalam empat kategori. Keempat jenis kerusakan tersebut diakibatkan oleh suhu, kelembaban, angin, air hujan, dan penguapan dengan ciri yang tampak: mengelupas, retak, dan melengkung; (b) kerusakan mekanis, yaitu yang diakibatkan oleh gaya-gaya mekanis seperti gempa, tekanan/beban, tanah longsor, dan banjir dengan ciri yang tampak: keretakan, kemiringan, kerenggangan, dan pecah; (c) pelapukan khemis, yaitu yang disebabkan oleh proses atau reaksi kimia dari air, penguapan, dan suhu dengan ciri yang tampak: penggaraman, korosi, dan perubahan warna; serta (d) pelapukan mekanis, yaitu yang disebabkan oleh kegiatan mikroorganisme seperti pertumbuhan jasad, bakteri, serangan binatang misalnya rayap, kumbang, dan kelelawar dengan ciri yang tampak: dekomposisi unsur material, pelarutan unsur dan mineral, dan noda. Kerusakan-kerusakan yang teriidentifikasi tersebut mengharuskan para arkeolog dan pelestari melakukan penelitian-penelitian untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Masalah rekonstruksi fisik yang juga harus selaras dengan kaidah arkeologis, setidak-tidaknya menghasilkan dua topik perdebatan yang terus berlangsung, pertama bentuk bangunannya dan kedua, bahan yang digunakan. Artinya, dapatkah para pelestari merekonstruksi bentuk bangunan yang sudah rubuh dan apakah bahan yang digunakan harus sama dengan bahan asli? Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Radivojevik (2005:186) yang menegaskan bahwa: “the problem regarding condidtion of archaeological sites could be classified in two different types of causes: those regarding the applied conservation methods, or regarding the applied building materials for this purpose.” Meskipun UNESCO telah banyak mengeluarkan pedoman yang terkait dengan rekonstruksi bangunan tersebut, namun pada kenyataannya ada saja aktivitas tersebut yang tidak sesuai dengan aturan.
Terkait dengan itu, agar tidak terlalu jauh dari prinsip-prinsip arkeologis dan keberlajutan kekuatan bangunan, banyak pertimbangan telah dilakukan untuk melaksanakan salah satu kegiatan pelestarian bangunan, misalnya pemugaran. The Essex County Council (2008), misalnya menyatakan bahwa harus ada perlakuan yang berbeda terhadap ubin karena mengalami kelembaban yang langsung diperoleh dari tanah, juga dinding yang mudah runtuh, atau atap yang mudah berjatuhan, demikian pula pintu dan jendela yang bahannya mudah lapuk, dan tidak kalah penting adalah pagar yang dapat rubuh ke bagian dalam dan keluar. Keseluruhan itu memerlukan bahan pengganti yang tepat ketika kita melakukan pemugaran.
Terkait dengan bata pengganti karena bata asli yang sudah rusak, sangat menarik tulisan dari Ari Swastika (2011:8) yang memberikan pandangan bahwa penggantian bata tersebut harus dengan cara: “….dengan melakukan pemilihan bata pengganti yang berkualitas baik. Untuk menentukan apakah bata penganti tersebut berkualitas baik atau tidak, maka diperlukan standar pengujian kualitas bata pengganti. ..…… dengan mempertimbangkan beberapa parameter sebagai berikut, di antaranya: ukuran, daya serap air, temperatur pembakaran, kuat tekan, serta kadar garam yang larut dan membahayakan…”. Serupa juga dengan yang diajukan oleh El-Gohary yang membahas masalah preservasi bangunan bata di Sohag, Mesir bahwa diperlukan bahan yang tepat. Dari hasil pembahasannya El-Gohary (2012:75) menyimpulkan bahwa: “We needed to contrive new materials for preservation and restoration interventions. The study essentially focused on detecting or contriving a new material for achieving this goal, through the evaluation of different chemical, physical and morphological characteristics. It also, shed light on the suitable materials and additives that should be added to improve the different characteristics of new bricks and fundamentally on the essential properties of the original material used in the study area.” Pemecahan masalah atas kerusakan bangunan bata yang diajukan oleh Aris Munandar (2010) pun patut diberi apresiasi. Dalam tulisannya itu, ia memerinci secara baik mulai dari pemilihan bata pengganti sampai dengan bagaimana menyelamatkan bangunan bata apabila lembaga pelestarian belum sempat melakukan pemugaran.
Bahan bangunan dari bata umumnya berbentuk kotak atau empat persegi panjang. Sebuah bentuk yang memudahkan pendirian sebuah bangunan dulu sampai sekarang. Namun, ketika rangkaian bata yang membentuk bangunan tersebut terurai runtuh, maka permasalahan rekonstruksi arkeologis muncul. Jika bata-bata tersebut kemudian menjadi tidak lengkap apakah karena hancur atau dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan yang lain atau tidak ada bangunan bandingan atau sumber lain yang dapat digunakan oleh para arkeolog atau pelestari untuk merekonstruksinya maka biasanya serakan bata tersebut dijauhkan dari bangunannya. Batas bata yang lepas biasanya meninggalkan bekas yang rapi karena bangunan tersebut disusun lapis demi lapis. Bangunan yang dibiarkan tersebut seringkali mengecoh karena yang tersisa tampak seperti batas bangunan yang asli. Sering pula apabila bangunan yang tersisa tersebut menampakkan bentuk seperti tangga karena bata-batanya yang lepas. Kondisi itu juga dapat menipu masyarakat yang tidak paham proses terjadinya bentuk seperti itu. Di situlah diperlukan penyajian informasi agar masyarakat memahami permasalahan bangunan bata tersebut.
Sebagian bangunan suci bata di Sumatera juga dihadapkan pada kondisi yang menempatkan para arkeolog dan pelestari pada posisi sulit untuk mengambil keputusan dalam hal pemugaran. Banyak bangunan yang tetap berdiri namun dipenuhi oleh pohon-pohon besar yang mengelilinginya yang umurnya sudah ratusan tahun. Salah satu contoh, adalah Candi Koto Mahligai, Muara jambi. Apabila pohon-pohon tersebut ditebang, maka bangunan batanya akan berserakan dan akan lebih cepat hancur karena terlepas satu persatu namun jika pohon tidak ditebang akan tetap menutupi sebagian besar bangunan tersebut dan kita tidak dapat mengetahui dan merekonstruksi kemegahan bangunannya.
Masih banyak pekerjaan pelestarian bangunan suci bata di seluruh Indonesia baik dari yang tidak dapat dipugar karena sisa reruntuhannya tidak memungkinkan untuk dilakukan pemugaran, sudah tidak dapat diketahui bentuk dan ukurannya, yang hanya dapat didokumentasikan kemudian ditutup (diurug) kembali, sudah dipugar tetapi merupakan hasil dari kesalahan pemasangan bata di masa lampau, maupun yang hampir utuh. Semuanya menunggu sentuhan tangan para pelestari sebelum hilang tertelan bumi.
Sumber: Ramelan, Wiwin Djuwita Sudjana, 2014, “Permasalahan Seputar Pelestarian Candi Berbahan Bata” dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 24–29