Sejarah Penemuan

Secara geografis situs Gunungpadang berada di dataran tinggi pada koordinat 060 59’ 39.7” LS dan 1070 03’ 23.1’’ BT (atau UTM 48 727183.39  9226378.85).  Punden menempati puncak bukit pada ketinggian + 932–954 meter dari permukaan laut di dataran tinggi kabupaten Cianjur (Gambar 2).

Keberadaan situs Gunungpadang kali pertama dicatat pada 1914 dengan deskripsi yang singkat ditulis oleh N.J. Krom dalam majalah Rapporten van den Oudheidekundinge Dienst (ROD). Disebutkan bahwa:

“…op dezen bergtop van Goenoeng Melati vier door trappen van ruwe steenen verbonden terassen, ruwe bevloerd en met scherpe opstaande zuillvormige andesict steenen versierd. Op elk terras een heuveltje (graf), met steenen omzet en bedekt en vorrsien van twee spitse steenen” (Sukendar, 1985, hal. 1.)

(terjemahan: “di atas puncak Gunung Melati dapat ditemui empat teras yang seluruhnya terbuat dari batu, …. oleh batu-batu tegak yang terbuat dari batu andesit”).

Krom menyadari bahwa bangunan batu tersebut tidak ada hubungannya dengan budaya Hindu atau Buddha, namun ia pun tidak menyebutnya sebagai tinggalan tradisi prasejarah. Gundukan-gundukan di atas punden diidentifikasi olehnya sebagai “makam” karena bentuknya yang menggunduk, bukan atas dasar hasil penelitian. Nama Gunungpadang tampaknya belum dikenal, Krom mencatat tinggalan purbakala itu berada di atas puncak bernama “Gunung Melati”.

Belum tersedianya jalan yang memadai menuju ke situs menyebabkan Gunungpadang terlupakan selama puluhan tahun, dan baru ‘ditemukan kembali’ oleh masyarakat desa Cimenteng yang melaporkannya kepada Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur pada 1979.

Secara adminsitratif situs Gunung Padang berada di desa Cimenteng, kecamatan Campaka, kabupaten Cianjur, Jawa Barat.  Luas wilayah kecamatan Campaka tempat Situs Cagar Budaya Gunung Padang berada mencapai 135,7 km2 dengan jumlah penduduk lebih dari 62.000 orang.

Penampang Gunung Padang

Sejarah Penelitian dan Pelindungan

Pada Maret 1979 muncul pemberitaan tentang penemuan benda purbakala dalam koran Suara Karya yang tengah meliput kegiatan pembersihan dan pemetaan situs oleh Direktorat Sejarah dan Purbakala[1] di bawah pimpinan Teguh Asmar. Kegiatan ini berlangsung selama beberapa minggu dimulai pada Februari pada tahun yang sama. Pada itu pula Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional[2] menurunkan tim ke lokasi untuk melakukan pengamatan. Tim beranggotakan Endang Sukatno (ahli arkeologi klasik), D.D. Bintarti (ahli arkeologi prasejarah), dan Wasisto (juru foto). Hasil pengamatan menyimpulkan bahwa bangunan di Gunung Padang merupakan punden berundak yang berasal dari tradisi megalitik masa prasejarah.

Bangunan terdiri atas lima teras, tersusun satu di atas lainnya. Hasil pengukuran pada 1979 sampai 2014 memperlihatkan perbedaan yang cukup besar. Uraian yang cukup lengkap ditulis oleh Haris Sukendar pada1985. Dalam tulisan itu ia menyamakan konsep arsitektur punden berundak Gunung Padang dengan punden sejenis di Lemahduhur. Kedua bangunan sama-sama memiliki Halaman 1 yang luas dibandingkan dengan halaman lain di teras-teras setelahnya. Selain itu punden Lemahduhur juga memiliki 5 halaman (Sukendar, 1985: 31-34).

Selain punden berundak Gunung Padang di daerah Cianjur ditemukan pula beberapa bangunan prasejarah yang tersusun dari batu alam, antara lain:

  • Pasirpogor di desa Cikadang, kecamatan Mande berupa teras batu dengan tiga menhir kecil di atasnya;
  • Bukittongtu di desa Sukagalih, kecamatan Cikalong berupa batu-batu yang disusun melingkar (stone enclosure) dengan satu menhir di tengahnya, ditemukan juga satu batu datar dan batu berlubang yang diduga berfungsi untuk upacara;
  • Bukitkasur di desa Cipanas, kecamatan Pacet berupa batu datar berukuran besar yang dikelilingi oleh batu-batu lebih kecil di atas bukit dengan tangga naik terbuat dari batu;
  • Gunungputri di desa Cikanyere, kecamatan Pacet berupa tiga kelompok batu datar yang dikelilingi oleh beberapa batu lebih kecil;
  • Lemahduhur di desa Sukajembar, kecamatan Sukanegara berupa punden berundak berteras lima tersusun dari batu-batu bulat;
  • Pasirmanggu di desa Sukajembar, kecamatan Sukanegara merupakan kompleks terdiri atas empat bangunan teras yang berdiri terpisah, masing-masing teras terbuat dari batu dan terdapat menhir di atasnya;
  • Pasirgada di desa Sukajembar, Kecamatan Sukanegara berupa kompleks bangunan teras berjumlah empat dengan menhir-menhir di atasnya; dan
  • Ciranjang, desa Ciranjang, kecamatan Ciranjang berupa punden berundak terdiri atas empat teras.[3]

Nilai penting bangunan megalitik Gunung Padang bagi sejarah nasional diantisipasi melalui program pemugaran yang berlangsung cukup lama. Hasil pemetaan pada 1979 digunakan sebagai acuan dalam melakukan perbaikan atas bangunan, namun terbatasnya dukungan dana dan peralatan menyebabkan perbaikan itu berjalan tersendat-sendat. Pada 1987 pernah disusun master plan (rencana induk) yang implementasinya terhenti karena sulitnya memperoleh izin pembebasan tanah hingga sekarang.

Penemuan tinggalan-tinggalan megalitik di kabupaten Cianjur memperlihatkan kesamaan lokasi, yaitu berada di dataran tinggi dan seluruhnya berhubungan dengan bukit-bukit atau lereng bukit. Tercermin dari beberapa nama lokasi yang mengandung unsur kata ‘pasir’ dan ‘bukit’.  Pasir dalam bahasa Sunda sama artinya dengan ‘bukit’.

Pendirian bangunan-bangunan batu sederhana ini jelas berhubungan dengan tradisi pemujaan nenek moyang yang berakar jauh di masa prasejarah. Arwah nenek moyang dipercaya tinggal di tempat-tempat tinggi seperti gunung dan bukit. Di antara bangunan megalitik yang ada di kabupaten Cianjur, punden berundak di Gunung Padang adalah yang terbesar dan terlengkap. Perbedaan ini diperkirakan mencerminkan peran penting bangunan ini di masa lalu.

Survei dan penelitian arkeologi terhadap lingkungan situs  sejauh ini belum menghasilkan informasi tentang keberadaan sisa permukiman sejaman yang dapat dihubungkan dengan pembangunan punden (lihat tabel). Muncul dugaan bahwa punden memang ditempatkan jauh dari masyarakat pendirinya, terbukti dari minimnya tinggalan purbakala baik yang diperoleh dari lingkungan bangunan maupun bukit. Maka situs Gunung Padang tampaknya lebih cenderung diposisikan sebagai tempat suci daripada sebagai bagian dari hunian kuno.

Penelitian arkeologi masih dibutuhkan untuk membuktikan hipotesis ini pada masa mendatang. Di samping itu penelitian berkesinambungan yang berfokus pada pelestarian pun perlu ditingkatkan frekuensinya untuk menjawab berbagai persoalan dampak lingkungan dan dampak pemanfaatan situs Gunungpadang sebagai ikon nasional di masa mendatang.

Sejak 1990 sampai saat ini situs Gunung Padang secara rutin dipelihara dan diawasi oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya[4] Serang sebagai Unit Pelaksana Teknik (UPT) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (Albert&Tim)

Tabel data sejarah kegiatan pencatatan, penelitian, dan pelestarian situs Gunungpadang

Tahun Pelaksana Kegiatan
1914 N.J. Krom Pencatatan hasil pengumpulan informasi
1979 Kandep Dikbud Cianjur Laporan penemuan situs
Pus Penelitian Arkeologi Nasional Survei dan dokumentasi
Direktorat Peninggalan Sejarah Survei dan pemetaan
1982 Pus Penelitian Arkeologi Nasional Pemetaan, dokumentasi, dan ekskavasi
1985 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah Studi teknis pemugaran
1987 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah Penyusunan masterplan pemugaran dan pelestarian situs
2001 Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat Studi teknis pelestarian bangunan dan situs
2002 Balai Arkeologi Bandung Survei lingkungan dan ekskvasi
2003 Balai Arkeologi Bandung Survei lingkungan dan eskavasi
2012 Pusat Arkeologi Nasional Survei bangunan dan ekskvasi
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Survei pelestarian bangunan dan lingkungan situs
2013 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Penyusunan studi kelayakan pelestarian bangunan, situs, dan lingkungannya
2014 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Penyusunan rencana penanganan Situs Cagar Budaya Gunungpadang sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
2015 Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Pemantauan kondisi situs dan persiapan penyusunan Rencana Induk
Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur beserta Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Pembebasan lahan

[1]  Kemudian berubah menjadi Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (DP3SP), Direktorat Purbakala, Direktorat Purbakala dan Permuseuman, dan sekarang kembali berubah menjadi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman.

[2] Sempat berubah menjadi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Pusat Arkeologi, sekarang kembali disebut Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

[3] Lihat karangan Haris Sukendar tentang tinggalan megalitik di kabupaten Cianjur yang diterbitkan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada 1985 berjudul “Peninggalan Tradisi megalitik di daerah Cianjur, Jawa Barat”.

[4] Dulu kantor ini bernama Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP), kemudian menjadi Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), sebelum akhirnya diubah lagi sebagaimana namanya sekarang.