Tradisi Ngita di Kabupaten Lampung Barat

You are currently viewing Tradisi Ngita di Kabupaten Lampung Barat

Tradisi Ngita di Kabupaten Lampung Barat

Negara Indonesia memiliki penduduk yang sangat beragam (majemuk) dipandang dari suku bangsa yang ada. Indonesia memiliki sekitar 500 an suku bangsa yang tersebar di seluruh nusantara. Masing-masing suku bangsa mempunyai tradisi serta adat istiadat yang sampai saat ini masih dipertahankan. Seperti halnya suku bangsa Lampung yang mendiami wilayah di Provinsi Lampung, suku bangsa Lampung sendiri secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yakni masyarakat Lampung Pepadun dan Saibatin. Kemudian masih terbagi menjadi 14 kelompok yaitu:
1. Pubian Telu Suku.
2. Abung Sewo Mego.
3. Tulangbawang Mego Pak.
4. Way Kanan.
5. Sungkai.
6. Belalau/Krui.
7. Peminggir Semaka.
8. Peminggir Pemanggilan.
7. Peminggir Teluk.
8. Melinting.
9. Meninting.
10. Komering/Kayu Agung.
11. Ranau/Muara Dua.
12. Cikoneng Banten.

Kehidupan suatu masyarakat pada garis besarnya menunjukkan suatu kelompok tata kelakuan yang disebut adat istiadat yang dalam prakteknya berwujud cita-cita, norma-norma, pendirian, kepercayan, sikap, aturan, hukum undang-undang, dan sebagainya. Betapa pun sederhananya, setiap masyarakat selalu menginginkan hidup yang aman, tenteram, dan sejahtera. Dengan kata lain, setiap masyarakat harus taat dan patuh terhadap adat istiadat dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun perlu disadari bahwa tidak semua adat istiadat berdampak positif. Ada juga sebagian yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Dalam satu suku bangsa seperti halnya Lampung saja, begitu banyak kelompok yang masing-masing memiliki tradisi yang berbeda, seperti halnya dalam upacara perkawinan. Untuk itu perlu adanya sebuah kajian perihal tradisi seperti yang ada di masyarakat Lampung Barat, khususnya tradisi Ngita yang saat ini sudah semakin jarang dilaksanakan.
Ngita/lamar/minang/cakakpun/nunang adalah awal dari proses pernikahan adat Liwa, Lampung Barat. Beberapa ketentua yang ada dalam ngita adalah:
Didahului dengan acara Bekhasan, yaitu sebuah musyawarah yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak keluarga untuk mencapai mufakat, adapun materi yang dibahas antara lain:
– Pelaksanaan upacara perkawinan nanti.
– Perihal dau balak yakni uang sidang yang disebut juga penggalang sila.
– Perihal dau lunik yakni permintaan keluarga pihak wanita/gadis.
– Kiluan yakni permintaan sang gadis.
– Semaya yakni rencana pelaksanaan waktu nikah.

Selanjutnya pelaksanaan acara ngita sesuai dengan kesepakatan hari pelaksanaan, pihak keluarga bujang menyerahkan bawaannya yang berupa: bahan bakar/kayu bakar/gas/minyak, beras, kelapa, buah2an, gula, garam, perlengkapan rumah tangga, rokok, pakaian, perlengkapan tidur, perlengkapan mandi, uang belanja, makanan/aneka kue, dodol, juadah balak, lapis legit, uang adat, sirih pinang dan peralatannya, termasuk semua tenaga kerja yang membawa dan memasak/mengolah dari pihak keluarga laki2/bujang. Pada masyarakat adat sudah ada kelompok pekerja yang menangani kegiatan ini, mereka sudah profesional. Seperti halnya EO (event organizer) yang kita kenal sekarang ini. Jumlah barang bawaan disesuaikan dengan status calon pengantin pria berdasar tingkatan di antaranya: punyimbang marga, punyimbang suku, dan punyimbang tiyuh.

Sumber:
T. Dibyo Harsono dkk. “Kajian Tentang Tradisi Ngita
di Kabupaten Lampung Barat”,
Laporan Penelitian, Bandung: BPNB Jabar, 2018.