Dangding, Cerita dalam Wawacan Seni beluk di Cikondang

You are currently viewing Dangding, Cerita dalam Wawacan Seni beluk di Cikondang

Dangding, Cerita dalam Wawacan Seni beluk di Cikondang

Dangding, Cerita dalam Wawacan Seni beluk di Cikondang
Oleh :
Ani Rostiyati
(BPNB Prov. Jabar)

Cikondang merupakan salah satu kampung yang terletak di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung Jawa Barat. Di Kampung Cikondang terdapat situs rumah adat Cikondang yang merupakan peninggalan leluhur mereka. Di Kampung ini pula terpusat berbagai tradisi dalam budaya Sunda yang masih dijalankan secara rutin oleh sebagian warganya. Salah satu tradisi kesenian tradisional yang masih dilestarikan di Kampung Cikondang ialah Seni Beluk. Kesenian Beluk merupakan jenis kesenian tradisional yang telah lama hidup, tumbuh dan berkembang pada sebuah masyarakat yang secara turun temurun menjadi bagian masyarakat pendukungnya. Berdasarkan fungsinya, Seni Beluk merupakan jenis kesenian yang berfungsi sebagai sarana ritual. Namun dalam perkembangan selanjutnya kesenian Beluk ini mengalami perkembangan dengan adanya perubahan fungsi dari sarana ritual menjadi sarana hiburan bagi masyarakat yang menikmatinya. Namun, yang tidak bisa dipisahkan dari kesenian Beluk adalah cerita yang disampaikan berupa buku yang disebut wawacan.


Buku Wawacan Seni Beluk (Dok. BPNB Jabar, 2020)

Wawacan, yakni cerita dalam bahasa Sunda berbentuk dangding. Dangding ialah ikatan puisi yang sudah tertentu untuk melukiskan hal-hal yang sudah tertentu pula. Dangding terdiri atas beberapa bentuk puisi yang disebut pupuh. Pupuh adalah kesatuan bentuk bahasa yang tertentu jumlah engang (suku kata) serta vokal akhir setiap lisan “larik‟. Semuanya ada 17 jenis pupuh, yang masing-masing pupuh menggambarkan tentang jalan kehidupan manusia mulai sejak lahir sampai kembali pada Sang Pemilik kehidupan. Gambaran tiap pupuh yang dimaksud adalah:

  • Maskumambang, menggambarkan jabang bayi dalam kandungan ibunya. Mas artinya belum ketahuan apakah dia akan menjadi anak laki-laki atau perempuan.
  • Kumambang, artinya hidup jabang bayi itu mengambang dalam kandungan ibunya.
  • Mijil, menggambarkan bayi sudah lahir dan diketahui jenis kelamin laki-laki atau perempuan.
  • Kinanthi, berasal dari kata kanthi atau tuntun. Artinya dituntun, supaya setiap anak manusia bisa berjalan menempuh alam kehidupan di dunia.
  • Sinom, artinya bekal untuk para remaja supaya menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Asmarandana, artinya rasa cinta terhadap seseorang.
  • Gambuh, berasal dari kata jumbuh, artinya jika dua orang (laki-laki dan perempuan) sudah jumbuh atau cocok sebaiknya disatukan dalam sebuah pernikahan.
  • Dangdanggula, menggambarkan seseorang yang sedang bahagia. Apa yang diinginkan bisa terlaksana, punya keluarga, anak dan harta yang cukup.
  • Durma, artinya berderma. Ketika seseorang sudah memiliki kehidupan yang berkecukupan, akan muncul dalam hatinya untuk berbagi.
  • Pungkur, artinya, menyingkir dari segala nafsu angkara murka. Berusaha untuk menolong orang lain dan tidak lagi memikirkan kepentingan pribadi.
  • Magatru, artinya putus nyawa. Seseorang harus rela untuk kembali pada Sang Pencipta.
  • Pucung, artinya hidup kita akan berakhir dengan kain mori atau pucung.
  • Wirangrong, menggambarkan orang yang sedang mendapatkan kesialan atau mendapatkan malu.
  • Lamban, menggambarkan anak-anak yang sedang bermain dan sedang bersenang-senang.
  • Gambuh, menggambarkan orang yang sedang bingung, tidak jelas tujuan, dan maksud.
  • Balakbak, untuk menggambarkan orang yang sedang bergembira dan bersenangsenang.
  • Ladrang, menggambarkan orang yang sedang bersenang-senang seperti halnya pupuh Lamban.
  • Juru demung, untuk menggambarkan yang sedang dalam penyesalan, tetapi tidak kecil hati dan selalu optimis.

Seni Beluk pada awalnya lahir dari masyarakat peladang, atau huma yang saling berkomunikasi untuk menyatakan ada di dalam saung yang berjauhan, mereka saling celuk “panggil” atau ngagorowok “berteriak” dan bersahutan. Perkembangnya seni Beluk yakni setelah mendapat pengaruh lagu-lagu pupuh dari Mataram. Enip Sukanda (1983-1984: 18) menuturkan bahwa Wiratanu I atau dikenal Dalem Cikundul merupakan leluhur Cianjur yang berasal dari Talaga Majalengka anak dari Wangsagoparana salah seorang tokoh penyebaran agama Islam di Jawa Barat. Wiratanu I hidup di lingkungan keraton dan menjadi mantu Sultan Sepuh Cirebon yang bersatu dengan orang Mataram. Dia datang ke daerah Cimapog Cianjur pada akhir atau awal tahun 1678 atas perintah Sultan Sepuh Cirebon dan beserta rombongannya tinggal di lahan pertanian. Menjelang istirahat atau selesai bekerja mereka menghibur diri sebagai penghilang rasa takut karena masih banyak binatang buas, mereka melakukan Beluk atau membaca wawacan dilagukan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Koentjaraningrat (1987: 23), bahwa di dalam bahasa Sunda terdapat kesusatraan tertua yakni ceritera-ceritera pantun. Pada zaman pantun dikenal zaman wayang dan wawacan-wawacan sebagai pengaruh Mataram Islam, setelah jatuhnya Pajajaran. Ceritera-ceritera wawacan dalam bahasa Sunda banyak diambil dari ceritera-ceritera Islam. Dahulu wawacan itu sering dinyanyikan, dan disebut Beluk. Karena itu, seni Beluk tumbuh setelah masuknya tembang wawacan. Mereka memanfaatkan pupuh sebagai sumber rumpaka sekaligus dijadikan sebagai sumber kreativitas seni yang kemudian berkembang menjadi seni Beluk. Kesenian Beluk dapat dikatakan salah satu kesenian buhun yang masih ada di Kampung Cikondang.


Acara syukuran 40 hari setelah kelahiran bayi
(Dok. BPNB Jabar, 2020)

Beluk dapat diartikan suara dieluk-eluk, seorang pemain Beluk dengan suara keras dan panjang. Kesenian Beluk tergolong pada jenis seni suara dengan menggunakan nada-nada tinggi, tanpa menggunakan waditra. Ciri khas tersebut memberikan warna lain dari vokal yang sering dibawakan oleh seni sinden atau seni yang lebih mengutamakan vokal lainnya, baik itu dalam bentuk penyajiannya maupun dalam olah vokal yang dipergunakan. Kesenian Beluk juga termasuk seni sastra jenis wawacan yang diartikan dari singkatan wawaran ka nu acan (memberitahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan tanpa panggung pada acara seperti keperluan ritual atau upacara adat yang umumnya dilaksanakan ketika “ngayun” (acara syukuran 40 hari setelah kelahiran bayi) dengan cara memaparkan atau menceritakan cerita pada wawacan. Tujuan dan harapannya adalah agar setiap anak manusia yang lahir bisa menempuh perjalan hidupnya di dunia dengan baik, bahagia, dan selamat sampai akhir nanti.