MASJID AL-ALAM MARUNDA DI JAKARTA UTARA

You are currently viewing MASJID AL-ALAM MARUNDA DI JAKARTA UTARA

MASJID AL-ALAM MARUNDA DI JAKARTA UTARA

MASJID AL-ALAM MARUNDA DI JAKARTA UTARA

Oleh:
Lasmiyati
(BPNB Jabar)

Masjid Al-Alam Marunda Jakarta Utara
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar, 2015

Masjid merupakan bangunan suci agama Islam yang lahir dan berkembang bersamaan dengan meluasnya ajaran agama Islam ke seluruh pelosok dunia (Abdul Rochim, 1995: 15). Masjid merupakan sebuah bangunan yang berfungsi sebagai penampung untuk melaksanakan kegiatan bernuansa agama Islam dan kegiatan keagamaan. Selain sebagai tempat untuk melaksanakan salat,  masjid juga dapat digunakan sebagai tempat dakwah guna menyampaikan dan menyebarkan syiar Islam.
Di Jakarta Utara terdapat masjid Al-Alam Marunda. Masjid ini tergolong masjid tua, letaknya di Kampung Marunda Besar Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Sambo Ishak (pengurus masjid Al-Alam Marunda tahun 2015), mengatakan bahwa masjid ini dibangun oleh Fatahillah bersamaan dengan dibangunnya Masjid Al-Alam Cilincing di Pantai Cilincing Kelurahan Cilincing Jakarta Utara. Pendapat Sambo Ishak juga diiyakan oleh Warma Muawiyah (Sekretaris pengurus masjid Al-Alam Cilincing tahun 2015). Kedua masjid, yaitu masjid Al-Alam Marunda dan Al-Alam Cilincing dibangun oleh Fatahillah ketika mengusir bangsa Portugis di Sunda Kelapa.
Fatahillah lahir di Samodera Pasai Aceh Sumatera Utara tahun 1490. Ia putra Maulana Makhdar Ibrahim asal Gujarat. Ketika Samodera Pasai dikuasai oleh bangsa Portugis (1521), usia Fatahillah baru 31 tahun. Fatahillah tidak mungkin untuk melawan bangsa Portugis seorang diri. Untuk itu ia pergi ke Mekkah untuk belajar agama Islam dan menunaikan ibadah haji. Selesai belajar agama Islam, bangsa Portugis masih menduduki Samodera Pasai, Fatahillah memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa. Kapal yang ditumpanginya berhenti di Jepara, salah satu pelabuhan besar milik Kerajaan Demak. Sesampai di Demak, Fatahillah memberanikan diri untuk menghadap Sultan Demak (Sultan Trenggana). Dari situlah Fatahillah dapat hidup bersama pembesar Kerajaan Demak. Di Demak, Fatahillah diangkat sebagai guru mengaji di istana dan panglima perang.
Suatu ketika Fatahillah meminta izin kepada Sultan Trenggana agar ia dapat mengembangkan misi dakwahnya ke luar Demak. Ia ingin menuju daerah Banten dan Sunda Kelapa yang waktu itu dikuasai bangsa Portugis. Tahun 1526, Fatahillah berangkat menuju Sunda Kelapa, akan tetapi terlebih dahulu ia singgah di Cirebon untuk meminta restu kepada Sunan Gunung Jati. Setelah mendapat restu, Fatahillah berangkat ke Sunda Kelapa bersamaan dengan Pangeran Cakrabuana, Adipati Keling, dan Adipati Cangkuang (Ahmad Hamam Rochani, 2008: 255). Tahun 1527, Fatahilah memfokuskan untuk menyerang bangsa Portugis di Sunda Kelapa. Sesampai di Sunda Kelapa Fatahillah membuat masjid Al-Alam Marunda. Masjid yang lokasinya berdekatan dengan laut utara Pulau Jawa tersebut selain dijadikan tempat ibadah juga tempat musyawarah, dan tempat persinggahan (wawancara dengan Warma Muawiyah, 24 Juni 2015).

Masjid Al-Alam Marunda Jakarta Utara
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar, 2015

Ciri-ciri masjid Al-Alam Marunda, atapnya dari genting, 2 susun, Penopang atap masjid berjumlah empat buah tiang soko guru, dan tiga tiang yang menempel disamping ruang michrob. Mimbar pada bagian tiang bawah terdapat umpak berbentuk empat persegi. Tiang berbentuk bulat dan puncak tiang dihiasi pelipit. Di dalam masjid terdapat michrob dan mimbar. Denah masjid berukuran 12 x 12 m. Bangunan tambahan lain yang dibangun setelah masjid adalah tempat bedug, sumur, dan bangunan tambahan berbentuk joglo.

Masjid Al-Alam Marunda Jakarta Utara
Sumber Foto: Dok. BPNB Jabar, 2015

Bangunan tambahan berupa joglo terletak di sebelah timur bangunan masjid Al-Alam Marunda. Bangunan ini berbentuk empat persegi terbuka tidak berdinding. Dibandingkan dengan bangunan masjid, bangunan tambahan ini lebih tinggi 80 cm. Untuk masuk ke bangunan joglo ini harus melewati tangga ubin 4 langkah yang terletak di sebelah barat. Lantai bangunan terbuat dari ubin dan terdapat 12 tiang penyangga atap. Atap bangunan terbuat dari genting. Di tengah ruangan terdapat empat kayu sebagai penyangga. Bangunan ini dibangun untuk menampung jamaah yang sudah tidak tertampung di dalam masjid Al-Alam Marunda.
Tahun 1970, masjid ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. masjid ini telah dipugar meliputi pergantian beberapa komponen atap dan pemberian lapisan pelindung agar terlindung dari kelembaban dan siraman air hujan.