Belum ada sumber tertulis yang menyebutkan kapan pastinya kesenian Badawang muncul. Secarik informasi mengenai masa kemunculan awal seni ini setidaknya dapat dilihat dari sudut etimologis, istilah Badawang itu sendiri. Badawang kerap disebut juga dengan seni Memeniran. Etimologi memeniran mengacu pada kata “Meneer”. Sebuah kata yang mengingatkan kita pada masa penjajahan Belanda, yaitu untuk menyebutkan seorang tuan atau petinggi Bangsa Belanda dengan sosok tinggi besar. Sementara Sicrk Coolsma (1913: 89), Badawang adalah een pop ter grootte en van de gedaante van een mensch. (vgl. Bebegig). Artinya boneka yang berukuran dan berbentuk seorang pria. Dalam definisi tersebut, penamaan Badawang merujuk atau memiliki persamaan dengan Bebegig. Arti bebegig itu sendiri adalah: pop in de gedaante en ter grootte van een mensen, dienst doende bij optochten of als vogelverschrikker “boneka dalam bentuk dan ukuran seseorang, melayani dalam parade atau sebagai orang-orangan sawah”.
Kata “Badawang” dalam bahasa Sunda diartikan sebagai sebuah sosok manusia tinggi besar. Penggunaan kata Badawang selain sebagai salah satu nama kesenian, juga digunakan salah satunya untuk penamaan ragam hias pada rumah dengan hiasan ikan besar yang dinamakan Badawang Sarat (Nuryanto, 1: 2014). Dengan demikian, pencarian awal mula kemunculan seni badawang kemungkinan besar mengarah pada upaya peniruan sosok Meneer yang biasanya berbadan besar. Disimpulkan secara simplistik, mungkin saja kesenian ini sudah ada sejak masa kolonial, mengingat kata meneer di masa kini agaknya sudah jarang digunakan. Kepastian angka tahun kemunculan seni Badawang setidaknya dapat dilihat di wilayah Rancaekek Kulon. Tercatat seni Badawang dipergelarkan di daerah Rancaekek Kulon Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung pada tanggal 20 Mei 1961 bertepatan dengan hari ulang tahun Kodam Siliwangi yang ke-16 dan hari kebangkitan nasional ke-53 (Silvia Maharani, 2012: 50)
Dalam buku Deskripsi kesenian Jawa Barat yang ditulis oleh Ganjar Kurnia, disebutkan bahwa Badawang adalah kesenian mirip ondel-ondel Betawi dimana sebuah boneka besar dengan pakaian perlente digendong/dipakai oleh orang dengan pakaian sederhana di dalamnya. Adapun kesenian Badawang biasanya dipertunjukkan pada rangkaian acara Helaran dari pertunjukan Benjang dan arak-arakan lainnya. Pertunjukannya sendiri hanya iring-iringan Helaran, hanya dalam perkembangannya boneka Memeniran sering berjumlah lebih dari empat dengan variasi kostum boneka yang digendong bermacam-macam profil (orang kaya, bangsawan, orang asing, militer dll). Atraksi yang paling menarik dari memeniran adalah si penggendong hanya diam (karena boneka) yang digendong (sebenarnya manusia) dapat bergerak bebas, menari dan bersorak, bermain kipas dll (Ganjar Kurnia, 2003).
Wilayah persebaran Kesenian Badawang pada awalnya hampir menyebar di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Namun saat ini, Seni Badawang terkonsentrasi di Kabupaten Garut, Sumedang, dan Bandung (Kabupaten dan Kota).
Dalam perkembangnya Badawang lebih menonjolkan unsur kamonesan (ketrampilan) memainkan boneka karena lebih banyak disukai penonton. Beberapa figur yang sudah dikenal masyarakat seperti Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng kerap beraksi seperti mulut boneka yang seolah-olah bicara, atraksi berjoget, menari, melambaikan tangan, bersorak dll. Ditambah oleh penampilan atraksi kepala berputar, melikuk-liuk, berjoget dari Badawang Panakawan (Semar, Cepot, Dawala, Gareng).
Atraksi memainkan gerak boneka memang memerlukan persiapan mengingat berat kepala Badawang yang bisa mencapai 30 kg. Sementara itu, kerangka tubuh dan tangan terbuat dari bahan kayu, rotan, bambu, plastik dan besi plat. Pada bagian penyangga keragka boneka dilapisi oleh kain yang cukup tebal agar pemain dapat nyaman menyangga boneka yang cukup berat tersebut. Oleh karena itu, seorang pemain harus berbadan kuat dengan rata-rata usia di atas 20 tahun.
Pemain Badawang biasanya berjumlah sekitar 4 – 9 orang. Seperti halnya sanggar seni di Rancaekek Kulon Kabupaten Bandung kerap menampilkan minimal 4 hingga 9 pemain Badawang. Setiap pemain wajib menghapalkan karakter badawang yang dimainkannya. Salah satunya karakter badawang Gareng yang memiliki sifat brutal, radikal, pemarah, namun berhati jujur dan lugas serta kerap melakukan gerakan improvisasi seperti tari keurseus, gedut, mincid, pakbang, benjang, dan pencak silat. Ada juga badawang Sukasrana yang memiliki karakterjujur, disiplin, tanggung jawab, baik hati dan kerap menarikan tari keurseus (Silvia, 2012: 57-58). Sebenarnya tokoh punakawan dalam seni Badawang bukan sebuah aturan bersifat baku. Oleh karena itu, karakter maupun bentuk kepala Badawang dapat dibuat sesuai improvisasi seni walaupun unsur kelucuan masih tetap mendominasi arah karakter Badawang. Hal ini terlihat dari Badawang pengantin sunda, haji, dan lain-lain.
Selain pemain Badawang, diperlukan setidaknya 3 orang pemain untuk menjalankan bendi atau kuda, 16 nayaga, 1 sinden, dan 1 orang dalang. Keseluruhan jumlah personil tidak bersifat baku karena tergantung dari besar tidaknya sebuah helaran badawang.
Musik pengiring sama dengan musik pengiring pencak silat, hanya kadang ditambah dog-dog dan bedug. Demikian juga lagu-lagunya (Golempang, Padungdung). Hanya dewasa ini, lagu-lagu kawih dipakai pula, seperti lagu rayak-rayak, kembang beureum, termasuk lagu-lagu dangdutan yang tengah popular. Saat ini, pengeras suara portabel juga sudah dipergunakan dengan cara diusung menggunakan gerobak.
Seni badawang juga terkadang dikolaborasikan denga seni tradisional lainnya, seperti seni reak yang juga mengusung boneka sebagai pemeran utama. Dalam kolaborasi ini, seni reak melakukan atraksi tari mengiringi dan mengelilingi boneka badawang. Selain reak, seni tari keurseus dan tari-tarian sunda lainnya juga dapat dikolaborasikan dengan tujuan untuk lebih memeriahkan dan menarik minat penonton helaran.
Beberapa makna yang terkandung dalam seni pertunjukan Memeniran di antaranya mensiratkan: Makna mistis yang terlihat dari sosok Badawang sebagai sebuah perlambang tradisi totemistik dari masyarakat agama asli Indonesia. Walaupun demikian, kondisi kekinian boneka Badawang sudah banyak mengalami perubahan yang merujuk pada keinginan untuk mempertontonkan sebuah helaran yang segar dan ceria sehingga banyak perubahan diarahkan pada karakter Badawang yang terlihat kocak dan lucu sepertihalnya dengan tokoh-tokoh Panakawan tersebut di atas; Makna teatrikal, dari tampilan sejumlah memeniran dan para badawang lainnya, sangat teatrikal karena wujudnya yang karikatural dan besar dalam bentuk-bentuk yang dibuat lebih menonjol dari ukuran manusia biasa; Makna universal, bentuk-bentuk Badawang dalam keberadaannya pada setiap etnik dan bangsa di dunia memiliki bentuk-bentuk ini.
Daftar Pustaka :
Sicrk Coolsma, 1913. Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek, Leiden: A. W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij
Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
Nuryanto, Dadang Ahdiat, 2014. “Kajian Hubungan Makna Kosmologi Rumah Tinggal Antara Arsitektur Tradisional Masyarakat Sunda Dengan Arsitektur Tradisional Masyarakat Bali (Penggalian kearifan lokal menuju pembangunan berbasis konsep bangunan hijau)”, Makalah dalam Seminar Nasional Arsitektur Hijau-Universitas Warmadewa, Denpasar-Bali-2014.
Silvia, 2012, “Perkembangan Kesenian Tradisional Badawang di Rancaekek Kabupaten Bandung tahun 1961-2000”, Skripsi, Bandung: UPI Bandung.