Budaya Visual dalam Lukisan Perempuan
Oleh:
Ani Rostiyati
(BPNB Jabar)
Suatu karya seni sukar dipisahkan dari akar sejarah dan budaya masyarakat pendukungnya. Peristiwa budaya maupun sejarah sering memantul samar dari lukisan. Ibarat sejarawan dalam bekerja tunduk pada fakta, pelukis berhak mengandalkan imajinasi meringkus fenomena sejarah dan budaya dalam satu lembar kertas bersenjata kuas dan peralatan gambar lainnya.
Sebuah lukisan merupakan dokumentasi atas suatu peristiwa yang di dalamnya berisi nilai-nilai yang dipadatkan dalam masyarakat dan dilestarikan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman. Lukisan menghasilkan serangkaian nilai sejarah dan budaya yang melatarbelakangi. Banyaknya lukisan yang mengambil tokoh perempuan, timbul pertanyaan yang muncul mengapa tokoh perempuan sering dijadikan objek lukisan. Makna apa yang ada dalam lukisan tersebut dikaitkan dengan gender. Melihat suatu lukisan, muncul gagasan atau nilai apa yang dipadatkan sebagai bentuk entitas budaya visual. Karya seni pada dasarnya hanyalah hasil fantasi belaka, namun ketika karya seni ini bersinggungan dengan suatu konteks tertentu maka seni akan merupakan simbol yang memiliki makna.
Ada tiga (3) lukisan perempuan yang dikaji yakni lukisan perempuan menjual jamu, perempuan sedang memandikan anak, dan perempuan sedang menggendong anak. Konsep perempuan sebagai ibu dan istri merupakan tema sentral dalam pembicaraan tentang perempuan dalam lukisan tersebut. Perempuan selalu menjadi objek indah dalam sebuah lukisan, itu sebabnya selalu memberi inspirasi bagi seorang pelukis. Bahkan perempuan selalu menjadi ”ikon” di media massa, karena tubuh perempuan dianggap sebagai ”barang seni”. Perempuan ditampilkan dan dieksploitasi secara bebas, karena keindahan dan kecantikannya digambarkan sebagai karakter yang menarik.
Visualitas ini bukan sekadar objek, tetapi sesuatu yang menyimpan berbagai gagasan dan nilai yang telah dikontruksikan oleh kekuatan sosial. Demikian pula yang terdapat dalam tiga lukisan perempuan tersebut menggambarkan perempuan sebagai housewifization yakni peran utama perempuan sebagai ibu rumah tangga yang melakukan tugas domestik. Tiga lukisan itu juga menggambarkan ibuisme yakni sebuah konsepsi ideologi yang menempatkan perempuan sebagai ibu utama dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Ideologi tersebut kemudian secara politis dimanipulasi untuk mengkontrol akses perempuan terhadap berbagai sumber daya dan membuat pasif perempuan. Housefization dan ibuisme ini merupakan identitas visual yang dikontruksi sehingga menjadi sumber pembentukan atau citra perempuan dalam realitas sosial.
Dalam lukisan tersebut, secara sekilas terlihat peran perempuan yang dilakukan secara natural atau kodrati, namun sebenarnya ada ideologi dibalik itu yakni terdapat nilai patriaki. Meskipun perempuan bekerja di luar rumah (lukisan penjual jamu) tetap saja melakukan pekerjaan rumah tangga. Kenyataannya, Sistem patrilineal dalam masyarakat Indonesia masih ada, terutama di pedesaan. Paham yang menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki bersifat hirarkis. Laki-laki lebih dominan dan menentukan (pengambil keputusan) dan berperan di sektor publik, sementara perempuan lebih banyak di sektor domestik. Pandangan ini lebih melihat dalam konteks budaya dan historis.
Praktik hubungan gender secara nyata dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari yang mempengaruhi wacana dan ideologi dominan. Ideologi yang menekankan bahwa peran perempuan yang utama ada di sekitar rumah tangga, sebagai ibu dan istri telah berabad-abad disosialisasikan dan diinternalisasian dalam masyarakat. Ideologi famialialisme, ibuisme, dan housewifization menjadi elemen penting yang dilestarikan dalam proses sejarah yang kompleks. Melalui hukum adat, kepercayaan, tradisi, naskah, serta negara atau pemerintah yang pernah ada dalam sejarah masyarakat yakni di zaman kerajaan-kerajaan.