Adalah Prasasti-prasasti salinan, atau prasasti yang “ditiru”.[1] Penyalinan kembali prasasti, biasanya karena prasasti aslinya sudah rusak, atau ketentuan-ketentuan yang ada di dalammya perlu dikukuhkan kembali.
Ketetapan suatu daerah menjadi sīma biasanya diberlakukan untuk sepanjang zaman, dan ini dalam prasasti-prasasti biasanya dinyatakan dengan kalimat “tka ri dlāha niń dlāha” (sampai ke akhir zaman). Suatu daerah sīma yang ditetapkan seorang raja dari suatu kerajaan dapat saja berlangsung terus sampai masa kemudian ketika kerajaannya sudah berganti dengan kerajaan lain. Hal yang demikian ini sering menyebabkan satu prasasti disalin kembali pada masa kemudian.
[1] Sebagai contoh dapat disebutkan misalnya Prasasti Kañcana (Gedangan) yang dikeluarkan pada tahun 782 Saka (=860 Masehi) oleh raja Mataram Sri Lokapala. Pada masa pemerintahan Raja Majapahit Hayam Wuruk tahun 1289 Saka (=1367 Masehi) prasasti tersebut disalin kembali. Tentang prasasti ini lihat: H.Kern, “Over eene Oudjavaansche oorkonden (govenden te Gĕdangan, Surabaya) van Çaka 882 (of 872)”, Versprede Geschriften, VII, 1917:17-53.
Sumber: Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II