Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”

Peristiwa penting yang terjadi pada 1966 adalah normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia sebagai realisasi perundingan Bangkok (29 Mei-1Juni 1966). Perundingan ini ditandatangani oleh Tun Razak dan Adam Malik, dan disaksikan oleh Sukarno.

Perayaan kemerdekaan pada 17 Agustus 1966 dirayakan secara sederhana. Saat itu Sukarno berpidato dengan judul “Jas Merah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Setelah keluar dari PBB pada 7 Januari 1965, pada 28 September 1966 Indonesia kembali menjadi anggota PBB.

Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai “Nawaksara” beserta pelengkapnya berpendapat bahwa “Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila”. Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatannya sebagai Presiden/Mandataris MPRS dan memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara hukum.

Antara 1966 sampai dengan 1967, Sukarno resminya masih Presiden RI, ketika itu dibantu oleh tiga serangkai Presidium Kabinet, Soeharto (ketua Presidium), Sultan Hamengkubuwono IX (Menteri Utama bidang ekonomi dan keuangan) dan Adam malik (Menteri Utama bidang politik dan luar negeri). Pada 26 Juli 1966 terbentuklah kabinet baru, yang dinamakan “kabinet Ampera”. Namun setelah Sidang Istimewa MPRS, pada 12 Maret 1967 ditetapkanlah Soeharto (pengemban Supersemar) sebagai pejabat presiden Republik Indonesia.

Tim Storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti” Bogor