Prasasti Kota kapurSitus di Desa Penagan

Situs Kota Kapur berada di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung, dalam koordinat 02˚14’3” LS 105˚49’42” BT. Letaknya di dekat Sungai Menduk, di tepi timur selat Bangka. Secara geografis Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan selat Bangka. Di Selat ini bermuara sungai Upang, Sungai Sungsang, dan Sungai Saleh, dari daratan Sumatera  dengan Sungai Musinya.

Dari sumber asing jelas sekali Pulau Bangka dengan Bukit Manumbingnya penting dalam pelayaran, catatan-catatan orang asing banyak ditemukan tentang Bangka. Yang tertua adalah naskah Buddha dari abad ke-3 dari India. Disebut beberapa nama antara lain Suvarnabhumi, Java dan Wangka. Kemungkinan nama Wangka adalah pulau Bangka tersebut. Oleh karena itu tidak mengherankan Śrīwijaya berusaha menjadikan Bangka sebagai taklukannya. Dengan menguasai Bangka, Śrīwijaya dapat menguasai pelayaran dan perdagangan ke dan dari Cina, karena berbagai kapal dagang terpaksa harus melewati Selat Bangka.

Dapunta Hyang, seorang penguasa Śrīwijaya

Satu prasasti dikeluarkan pada abad ke-7, oleh Raja Dapunta Hyang, seorang penguasa Śrīwijaya, yang kita kenal sebagai “Prasasti Kota Kapur” karena ditemukan di batas desa tersebut. Prasasti Kota Kapur adalah satu dari lima prasasti kutukan, yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan beraksara Pallawa.

Di samping peranana Bangka dalam hal perdagangan, rupanya di pulau tersebut terdapat tinggalan arkeologi yang penting, khususnya dalam bidang keagamaan. Situs arkeologi tersebut ditemukan pada kaki perbukitan di barat laut, di satu gundukan tanah. Pada 1994, telah dilakukan penelitian di Situs Kota Kapur. Kerja sama antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas), EFEO, dan Balai Arkeologi (Balar) Palembang. Dalam ekskavasi tersebut ditemukan satu struktur bangunan yang dibuat dari batu putih dan laterit, berdenah bujur sangkar berukuran 4,5 x 4,5 meter, tangga di sebelah utara, dan tinggi sisa bangunan 0,50 meter. Dinding bangunan berdiri langsung bertumpu di atas tanah tanpa tanda-tanda adanya lapik bangunan. Di bagian tengah sisa bangunan tersebut ditemukan 13 fragmen arca batu, 60 mangkuk keramik Sung, 6 wadah logam, dan sisa arang.

Sekitar 50 meter arah barat laut dari struktur pertama, terdapat struktur kedua, yang dibuat dari batu putih dan laterit pula, tetapi ukurannya lebih kecil. Denah bujur sangkar, ukuran 2,26 x 2,26 meter, sisa tinggi 0,20 meter. Di bagian tengahnya terdapat semacam lingga bentuk membulat, dari batu. Warna lingga merah, dan terdapat semacam saluran mengarah (soma sutra ?) ke utara.

Wisnu

Fragmen arca ketika di gabung-gabung ternyata arca Wisnu, hanya bagian dua tangan patah. Menarik perhatian adalah mahkota Wisnu berbentuk silendris gaya arca Wisnu masa pra-Angkor, dan mirip dengan mahkota arca Wisnu Cibuaya hanya lebih sederhana, tanpa hiasan. Semacam tali melilit bagian bawah mahkota Wisnu.

Di samping itu, masih ada fragmen arca Wisnu yang ditemukan di antara runtuhan stuktur Kota Kapur tersebut, antara 1925–1994, antara lain: (1) ditemukan di Seda Penagen, disimpan di Museum Nasional (Inv. no.6313), fragmen kepala-leher-dada dari bahan granit dengan mahkota bentuk silendris (gaya pra-Angkor, Kamboja), dan diperkirakan berusia sekitar abad ke-6–7 dan (2) ditemukan di Kota Kapur pada 1994, disimpang Balar Palembang berupa fragmen tangan berbahan granit, sikap berdiri samabaṇga di atas lapik persegi empat, keunikannya mahkota bentuk silindris (pra Angkor), dan diperkirakan sekitar abad ke-6–7.

Temuan dua struktur bangunan yang dibuat dari batu putih dan laterit, ukurannya terlalu kecil bagi ukuran candi. Ciri-ciri lain, struktur menghadap ke arah utara, berdiri langsung di atas tanah, dan tanpa lapik candi sebagaimana lazimnya bangunan candi. Bambang Budi Utomo menduga kedua bangunan ini sisa semacam bangunan maṇḍapa tanpa ada penjelasan lebih lanjut. Jika memperhatikan semua ciri-ciri sisa struktur bangunan tersebut, Hariani Santiko berpendapat bahwa bukan sisa bangunan candi, melainkan sisa dua tungku (agni) yang dipakai dalam upacara bersaji oleh pemeluk agama Veda (Brahmanism) terlebih lagi dengan adanya temuan arca Wisnu, memperkuat dugaan tersebut.

Agama Bangssa Arya

Agama Veda adalah agama Bangsa Arya yang “masuk” ke India pada sekitar 2000–1500 sebelum Masehi. Upacara bersaji (yajna) untuk dewa-dewa sebagai personifikasi alam yang berjumlah 33, dilakukan di lapangan terbuka yang disebut Vedi atau kṣetra, tidak dilakukan di satu bangunan (kuil). Di lapangan suci (kșetra) tersebut didirikan tiga tungku sesuai dengan arah mata angin, yaitu tungku sebelah barat, timur dan selatan. Bentuk kepercayaan agama veda tersebut adalah kat-henotheism (kat: berganti-ganti, heno: satu), maksudnya di antara 33 dewa yang dipuja tidak ada dewa tertinggi/terpenting, penting tidaknya tergantung tujuan si pemuja.

Di antara 33 dewa tersebut ada Dewa Wisnu. Dewa ini dipuja khususnya oleh para raja yang menginginkan kekuasaan sebagai raja besar (Cakravartin). Wisnu pada agama Veda diidentikkan dengan matahari, yang setiap hari melakukan perjalanan dari arah timur ke zenith (suryaloka), dari suryaloka ke arah barat, dan dari barat kembali ke timur. Perjalanan Wisnu melalui tiga titik tersebut melambangkan Wisnu sebagai penguasa tiga dunia (dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah). Perjalanan tersebut dikenal sebagai tri-vikrama (tiga langkah). Agar seorang raja memiliki sifat-sifat Wisnu, sebagai penguasa tiga dunia, ia harus melakukan upacara “tiga langkah Wisnu”.

Agama veda atau yang dikenal dengan Brahmanism merupakan kepercayaan dari India tertua yang masuk ke Nusantara. Bukti tertua ditemukan di Kutai pada tujuh prasasti Yūpa (abad ke-4 masehi). Kemudian di Jawa Barat (abad ke-5–6 Masehi), dan di Jawa Timur di Kerajaan Kanjuruhan (abad ke-7 Masehi). Di Kutai dan Tarumanagara, jelas yang dipuja adalah Dewa Wisnu. Akan tetapi apakah Dewa Wisnu yang dipuja di Kerajaan Kanjuruhan, belum jelas. Memperkuat dugaan adalah ditemukan sisa-sisa arang pada salah satu struktur. Demikian pula, apakah batu yang agak bulat itu adalah lingga, ataukah “bakalan prasasti”? Hal ini dikemukakan karena di Kutai pernah ditemukan bakalan ‘yūpa’. Mirip dengan lingga tetapi kasar dan belum ada tulisannya.

Sisa-sisa struktur dengan fragmen arca dan lain sebagainya itu, diperkirakan berasal dari masa yang lebih tua dari Prasasti Kota Kapur yang dikeluarkan atas perintah raja Śrīwijaya tersebut di atas.

Sumber:

Santiko, Hariani, 2014, “Situs Kota Kapur” dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 180–183.

Baca juga: Tiga Prasasti Tarumanagara Bukti Legitimasi Kekuasaan Raja Purnawarman