Situs Bukit Siguntang

0
7285
Situs Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-8–10 Masehi. Di puncak bukit berdiri satu arca Buddha Sakyamuni yang tingginya lebih dari empat meter yang seolah-olah menjadi semacam landmark kota Śrīwijaya.
Situs Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-8–10 Masehi. Di puncak bukit berdiri satu arca Buddha Sakyamuni yang tingginya lebih dari empat meter yang seolah-olah menjadi semacam landmark kota Śrīwijaya.

Bukit Siguntang merupakan bentang alam yang tertinggi di Kota Palembang. Letaknya berada di Kelurahan 2 Ilir, Ilir Timur II, Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Apabila kita naik ke atap Jembatan Ampera dan memandang ke arah baratlaut, akan tampak Bukit Siguntang menonjol pada dataran rendah Kota Palembang yang luas. Dari kejauhan Bukit Siguntang tampak rimbun dengan pepohonan. Namun pada kenyataannya di daerah kaki bukit pada saat ini padat dengan pemukiman. Di daerah kaki sebelah baratlaut dan baratdaya merupakan daerah rawa yang luasnya hingga ke daerah Talang Kikim dan Kolam Pinisi, tempat ditemukannya runtuhan perahu kuno.

Bukit Siguntang yang letaknya sekitar lima kilometer ke arah barat dari pusat kota Palembang sudah lama dikenal oleh para arkeolog dan sejarahwan sebagai situs tempat ditemukannya satu arca Buddha Sakyamuni yang besar. Selain itu, Bukit Siguntang dikenal dan dipercaya juga sebagai kompleks pemakaman raja-raja Melayu. Menurut laporan yang dibuat Schnitger (1937:23) dari situs itu banyak ditemukan berbagai jenis tinggalan budaya masa lampau seperti arca batu dan logam, prasasti batu, keramik, serta tembikar.

Bukit Siguntang oleh sebagian masyarakat, terutama masyarakat Melayu di Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, dianggap suci karena merupakan “punden”-nya orang-orang Melayu. Menurut Kitab Sejarah Melayu, Raja yang memerintah di Malaka dikatakan sebagai keturunan dari Sang Siperba, makhluk setengah dewa yang turun di Bukit Siguntang (Wolters 1970:128–135). Oleh sebab itu, orang-orang Melayu dari Malaka yang berkunjung ke Palembang, rasanya kurang lengkap kalau tidak berkunjung ke Bukit Siguntang.

Pada 1920 dan 1928, di daerah kaki Bukit Siguntang ditemukan beberapa fragmen. Setelah seluruh fragmen disatukan, ternyata berasal dari satu arca Buddha Sakyamuni yang cukup besar. Kepala arca “ditemukan” oleh Schnitger di Museum Nasional di Jakarta. Setelah seluruhnya disatukan, arca Buddha itu berukuran tinggi 277 cm, lebar bahu 100 cm, dan tebal 48 cm. Terbuat dari bahan batu granit, yang tidak ditemukan di Palembang.

Menurut Majumdar arca tersebut dibuat sebelum abad ke-6 Masehi (1935:75–78). Sebaliknya Nik Hassan menduga bahwa arca itu dipengaruhi gaya seni Pāla yang berkembang di India Utara pada sekitar abad ke-7 dan awal abad ke-8 Masehi (Shuhaimi, 1979). Sementara itu, Suleiman menganggap arca itu berasal dari abad ke-9 Masehi. Dugaan tersebut didasarkan atas penemuan arca yang langgamnya sama di Sri Lanka yang berkembang pada abad ke-9 Masehi (Diskul, 1980:14).

Selain arca Buddha, di Bukit Siguntang ditemukan juga stupa dari batu pasir (sandstone), satu prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno, satu prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Sansekerta, satu pinggan emas dengan tulisan yang berisikan ajaran Buddha, satu arca Bodhisattwa, satu arca Kuwera atau Jambala (Schnitger, 1937:3–4), dan pecahan-pecahan keramik yang berasal dari masa Dinasti T’ang (abad ke-8–10 Masehi). Arca Kuwera yang dibuat dari perunggu sekarang sudah hilang. Berdasarkan ciri yang terdapat pada beberapa bagian berkembang pada abad ke-8–9 Masehi.

Ditemukan pula prasasti yang kondisinya tinggal separuh, berisi tentang peperangan, seperti yang tertera pada baris ke-10 yang berbunyi //tīdak tāhu pira marvfyū (ha)// yang berarti “tidak tahu berapa banyak yang berperang”. Kemudian baris ke-5 yang berbunyi // vañak pramirahña // yang berarti “banyak darah yang tertumpah”. Lalu baris ke-9 yaitu pauravirakta yang berarti “merah (oleh darah) penduduknya”, serta mamañcak yam prajnā ini yang diduga berkenaan dengan peperangan. Fragmen itu juga memuat kutukan kepada mereka yang berbuat salah (de Casparis, 1956:2–6).

Di sebelah barat Bukit Siguntang, di permukaan tanah yang terbuka, banyak ditemukan pecahan keramik dari bahan batuan yang berglasir hijau coklat tipe Yueh, fragmen mangkuk porselin putih, dan fragmen tempayan berglasir hijau-kuning. Tempayan dari bahan batuan jenis itu sering disebut olive green jar atau ‘tempayan hijau zaitun’, karena warna glasirnya menyerupai warna buah zaitun (Adhyatman 1984:25). Istilah lain untuk menyebutkan tempayan jenis itu adalah Dusun jar, karena tempayan jenis tersebut banyak ditemukan di daerah orang Dayak Dusun di Kalimantan Utara (Tom Harrison, 1985).

Pecahan-pecahan keramik lain yang menarik adalah yang mempunyai ciri spur-marks (bekas tumpangan) di bagian dalam wadah. Berdasarkan pada rekonstruksi kembali pecahan-pecahan keramik itu, pecahan itu adalah pecahan dari satu mangkuk kecil yang berglasir warna hijau keabuan dan tidak dapat tembus cahaya (McKinnon, 1979:4147). Warna glasir seperti itu adalah khusus untuk wadah tipe Yueh yang mempunyai pertanggalan abad ke-9–10 Masehi.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan budaya tersebut, pertanggalan Situs Bukit Siguntang berasal dari sekitar abad ke-8–10 Masehi. Di bukit yang tidak terlalu tinggi tersebut, dulunya terdapat bangunan-bangunan pemujaan yang dibuat dari bata. Bentuk bagunan pemujaan itu adalah Stupa yang ukurannya cukup besar. Ekskavasi yang dilakukan di puncak bukit berhasil menampakkan bentuk-bentuk lingkaran dari satu bangunan yang berdenah lingkaran. Dan di puncak bukit berdiri satu arca Buddha Sakyamuni yang tingginya lebih dari empat meter yang seolah-olah arca tersebut menjadi semacam landmark kota Śrīwijaya. Dari kejauhan di Sungai Musi arca yang tinggi itu sudah tampak.

Sumber:

Utomo, Bambang Budi, 2014, “Situs Bukit Siguntang” dalam Wiwin Djuwita Sudjana Ramelan (ed.) Candi  Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa, Jakarta: Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hlm. 157–160.