Ladang lada Sultan Banjar

Dahulu Muarateweh merupakan tempat utama perkebunan lada Sultan Banjar. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan satu benteng di tempat ini. Benteng Muara Teweh namanya. Benteng ini berfungsi untuk mempertahankan kekuasaannya di pedalaman Kalimantan.

Nama tempat ini berasal dari bahasa Banjar Kuala, yaitu muara. Dalam Banjar Hulu, muara disebut juga muhara. Dayak Bayan di Dusun Pepas, menyebutnya Nangei Tiwei. Nangei berarti tumbang atau muara, dan Tiwei berarti ikan seluang tiwei. Lain lagi bagi Dayak Bayan di Bintang Ninggi. Mereka menyebut tempat itu Nangei Musini, yang berarti Muara Musini.

Dayak Taboyan atau Tewoyan menyebut daerah di muara itu Ulung Tiwei atau Oleng Tiwei. Ulung Tiwei berarti Muara Tiwei, yang merupakan kata dari rumpun bahasa sekitar Sungai Mahakam. Pengucapan Ulung atau Oleng dalam rumpun bahasa ini kadang disingkat menjadi “Long”. Seperti Ulung atau Oleng Ngiram menjadi Long Ngiram. Ulung atau Oleng Tiwei menjadi Long Tiwei.

Dayak Tewoyan berada di kecamatan Teweh Timur, kecamatan Gunung Purei, Oleng Tiwei (Muara Teweh). Dayak Tawoyan atau Taboyan merupakan salah satu sub Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Mereka mendiami Kabupaten Barito Utara. Dayak Taboyan pada umumnya mendiami sepanjangan tepian aliran Sungai Teweh. Sungai yang mengalir dari Kota Muarateweh sampai Desa Berong. Suku Taboyan merupakan suku terbesar di Kecamatan Gunung Purei. Bahasa Tawoyan memiliki kesamaan leksikal dengan bahasa Dayak Lawangan.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menyebutnya tempat ini sebagai Muara Teweh. Sekarang tempat ini menjadi ibukota kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Penulisannya pun disambung menjadi Muarateweh. Di tempat benteng Hindia Belanda itu kini menjadi Markas Kepolisian Resor (Mapolres) Muarateweh. Berada di Jalan Kapten Piere Tandean Nomor 1, Muarateweh.

Sejarah

Saat itu, tepatnya pada 1857, setelah Sultan Banjarmasin, yang bernama Sultan Adam al-Watsiqu billah wafat, terpilihlah sultan baru. Ia adalah Sultan Tamjidillah II yang mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun sayang Ia dibenci oleh rakyat sendiri. Kemudian, seorang yang merasa berhak mewarisi tahta itu melakukan pemberontakan. Ia adalah Pangeran Antasari. Lalu terjadilah pertempuran yang dikenal dengan Perang Banjarmasin pada 1859 hingga 1863.

Sementera itu Hindia Belanda meluaskan pengaruhnya hingga jauh ke pedalaman. Di tempat itu dibangunlah satu benteng. Tepatnya di satu sudut pertemuan Sungai Teweh dan Sungai Barito. Benteng ini begitu kuat. Dinding-dingingnya memiliki panjang 200 meter. Meriam-meriamnya tidak hanya dapat menjangkau ke seberang Sungai Barito yang berjarak lebih kurang 400 meter, tetapi hingga ke Sungai Teweh.

Peperangan pun terjadi

Pada 1864 seorang anggota keluarga Pangeran Antasari berhasil menduduki benteng pembantu Muarateweh. Ia adalah Tumenggung Surapati. Sebelumnya, pada 18 April 1859, telah terjadi perang besar, yang dikenal dengan Perang Banjar. Pasukan Antasari dengan 300 prajurit menyerang tambang batubara milik Hindia Belanda di Pengaron. Serangan lainnya juga dilakukan di Marabahan, Gunung Jabuk dan Tabanio, yang dipimpin oleh Demang Lehman, Haji Buyasin dan Kiai Langlang. Serangan juga dilakukan di Pulau Petak, Pulau Telo dan di sepanjang Sungai Barito. Serangan ini dipimpin oleh Tumenggung Surapati dan Pambakal Sulil. Penyisiran juga dilakukan di Banua Lima, yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil, Pambakal Gafur, Duwahap, Dulahat dan Penghulu Abdul Gani serta serangan terhadap Kapal Cipanas di Martapura.

Serangan-serangan itu mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk menambah kekuatan pasukannya. Pada 1865 ditempatkanlah satu garnisun yang bertugas untuk melakukan serangkaian ekspedisi. Namun tugas itu tidak membuahkan hasil. Kemudian pada 1877 ditempatkan lagi satu garnisun yang terdiri atas tiga opsir dan sekitar 100 tentara.

Setelah mengalami masa tenang, benteng ini menjadi tempat tinggal Asisten Residen, pegawai pos dan keraninya. Masa tenang yang berlangsung cukup lama ini akhirnya terhenti pada 1883. Ketika satu serbuan terjadi dengan tiba-tiba memaksa benteng ini dikosongkan. Tepatnya pada 1888, garnisun yang menjaga benteng ini dipindahkan ke Buntok. Namun tidak bertahan lama, pada 1893 benteng ini difungsikan kembali.

Baca juga: Keraton Amantubillah di Kalimantan, Sultannya adalah keturunan Luwuk di Sulawesi

Disarikan dari beberapa sumber, di antaranya:

https://www.wikiwand.com/id/Sejarah_Kalimantan_Selatan

https://id.wikipedia.org/wiki/Muara_Teweh

Pusat Dokumentasi Arsitektur