Permasalahan Pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah

0
2999

Yosua Pasaribu-DIA-IAAIDirektorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM) berpartisipasi dalam acara Diskusi Ilmiah Arkeologi yang diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi (IAAI) Komda Jabodetabek, di Hotel Sofyan Betawi, pada 5 Oktober 2015. Yosua Adrian Pasaribu, staf Subdit Registrasi Nasional memaparkan makalahnya yang berjudul “Permasalahan Pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah;  Studi Kasus Pendaftaran dan Penetapan Cagar Budaya Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman hingga September 2015”

Dalam paparannya Yosua mengatakan bahwa meskipun sudah berjalan selama lima tahun, implementasi pelestarian Cagar Budaya secara Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah belum terlaksana secara optimal. Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU 23/2014 Pemda). Hingga saat ini, secara umum Pemerintah Daerah masih mewarisi pemahaman UU 5/1992 BCB mengenai pelestarian Cagar Budaya yang merupakan tanggung jawab Pemerintah.

Yosua menguraikan permasalahan dan solusi pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Pemerintah Daerah. Terutama mengenai pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya. Dengan menggunakan studi kasus pendaftaran dan penetapan yang telah dilakukan oleh Pemerintah yang sifatnya kerja sama dengan Pemerintah Daerah.

Kegiatan Pemerintah (Dit. PCBM) mengenai pendukungan pendaftaran dan penetapan Cagar Budaya (terutama workshop pendaftaran Cagar Budaya) oleh Pemerintah Daerah telah merangkul 63% Pemerintah Daerah di Indonesia, dan 75% dari yang sudah mengikuti workshop telah membentuk Tim Pendaftaran. Akan tetapi dari 63% Pemerintah Daerah di Indonesia, baru 5% yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya, dan hanya 6 Pemerintah Daerah atau 1% yang telah memiliki Tim Ahli yang bersertifikat, dan dapat merekomendasikan penetapan Cagar Budaya kepada Kepala Daerah, yaitu Provinsi Jawa Timur, Kabupaten Bantul, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Solo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Permasalahan Pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Daerah

Jika ditelaah berdasarkan statistik kegiatan pendukungan yang dilakukan Pemerintah hingga September 2015, maka permasalahan-permasalahan yang dapat terlihat antara lain;

  1. Sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang pelestarian Cagar Budaya secara Otonomi Daerah belum optimal (mengingat baru 63% dari seluruh Pemerintah Daerah yang mengikuti kegiatan workshop yang diadakan Pemerintah).
  2. Kurangnya sumber daya manusia yang dapat mengisi posisi Tim Ahli Cagar Budaya di Tingkat Daerah (terutama kabupaten/kota yang terpencil).
  3. Kurangnya political will dari Pemerintah Daerah untuk melestarikan Cagar Budaya.

Solusi Pelestarian Cagar Budaya di Tingkat Daerah

Berdasarkan studi kasus pendaftaran dan penetapan yang dilakukan Kementerian maka untuk menjawab permasalahan-permasalahan di daerah, maka pada bagian ini akan dirinci mengenai solusi-solusi yang dapat diambil. Berikut merupakan solusi-solusi tersebut;

  1. Permasalahan Sosialisasi Peraturan Perundang-undangan mengenai pelestarian Cagar Budaya

Perubahan peraturan perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pelestarian Cagar Budaya dari UU 5/1992 BCB ke UU 11/2010 CB sangat krusial.  Pemerintah Daerah yang sebelumnya tidak mengurusi bidang pelestarian Cagar Budaya kini diberi amanat untuk melakukan pelestarian Cagar Budaya secara otonomi di daerahnya masing-masing. Perubahan krusial membutuhkan sosialisasi yang lebih tepat ditujukan kepada Kepala-Kepala Daerah dibandingkan kepada dinas-dinas kebudayaan daerah. Studi kasus sosialisasi kepada dinas-dinas kebudayaan yang telah dilakukan oleh Pemerintah sejak 2013-2015 baru mencapai 63% dari seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Berdasarkan studi kasus tersebut, diusulkan agar sosialisasi mengenai otonomi pelestarian Cagar Budaya dilakukan di Jakarta oleh Menteri kepada Kepala-Kepala Daerah sehingga Kepala-Kepala Daerah dapat membentuk Tim Ahli Cagar Budaya di daerahnya masing-masing untuk memulai proses pelestarian Cagar Budaya secara otonomi.

  1. Permasalahan kekurangan SDM untuk mengisi posisi Tim Ahli Cagar Budaya

Permasalahan ini sudah diangkat oleh Titi Surti Nastiti (2012:454-62), dan menurutnya solusi yang dapat diambil adalah membuka jurusan arkeologi di universitas-universitas terkemuka di Indonesia, dan mengadakan sertifikasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dilakukan oleh Pemerintah, dan melibatkan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia dalam proses sertifikasi tersebut. Berdasarkan studi kasus pada tulisan ini, diketahui bahwa baru 5 (lima) % dari jumlah Pemerintah Daerah yang telah mengikuti kegiatan workshop Pemerintah yang telah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya di daerahnya. Angka tersebut menunjukkan perlunya ada perubahan strategi dalam hal sosialisasi peraturan perundang-undangan terbaru mengenai pelestarian Cagar Budaya secara otonomi. Sosialisasi terhadap Pemerintah Daerah diusulkan dilaksanakan di Jakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Kepala-Kepala Daerah.

  1. Permasalahan kurangnya political will Pemerintah Daerah

Solusi dari permasalahan ini sebenarnya sudah terjawab melalui kuatnya peraturan perundang-undangan yang mengatur hak dan kewajiban Pemerintah Daerah dalam hal pelestarian Cagar Budaya (UU 11/2010 CB dan UU 23/2014 Pemda). Strategi sosialisasi peraturan perundang-undangan pelestarian Cagar Budaya secara otonomi diusulkan dikaji kembali, sehingga sosialisasi  lebih efektif dan mencapai sasaran Kepala-Kepala Daerah. Mengingat perubahan pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab otonomi Daerah, maka diusulkan sosialisasi dilaksanakan di Jakarta oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Kepala-Kepala Daerah sehingga gaungnya lebih besar dan diharapkan political will dari Pemerintah Daerah dapat diraih. (Yosua/Ivan)