Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”

Perjuangan diplomasi berawal dari pemikiran praktis bahwa perjuangan fisik kurang bisa diandalkan secara penuh. Justru penyelenggaraan secara simultan dan berimbang antara perang dan diplomasi dibutuhkan dengan pemikiran cerdas atas perubahan-perubahan dunia pasca Perang Dunia kedua. Sukarno sungguh pandai memanfaatkan kesempatan ini.

Perundingan Indonesia-Belanda selama 1946–1947 yang ditengahi Inggris mendapat dukungan dan simpati luar negeri, khususnya Negara Asia-Afrika. Setelah Inggris, maka Amerika Serikat ikut memainkan peranannya untuk mendukung gagasan Indonesia agar bisa tetap Merdeka dan Berdaulat di negerinya. Linggarjati dan Renville adalah dua perundingan penting yang berhasil ditandatangani. Dalam perundingan ini, Sukarno merupakan tokoh flamboyan atas kerja para pembantunya, Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Akan tapi Belanda sungguh bodoh dengan melakukan agresi-agresinya.

Pada agresi pertama Belanda telah mengambil alih sejumlah wilayah Indonesia yang Merdeka. Pada agresi kedua lebih dari itu, menangkap dan membuang para pemimpin Republik Indonesia. Dunia memprotes keras, PBB sebagai badan perserikatan bangsa-bangsa yang diakui di seluruh dunia mengeluarkan resolusinya. Sejumlah besar negara mengutuk agresi Belanda itu.

Dalam perjuangan diplomasi 1946–1949 Sukarno, selain memainkan perannya sebagai Presiden Indonesia, juga mulai mengajukan pikiran-pikirannya yang genius. Gagasan cemerlang itu diperkenalkannya ke seluruh dunia, yaitu lahirnya negara-negara baru  yang berkembang di Asia dan Afrika pasca perang dunia kedua. Negara-negara baru itu tidak suka untuk dijajah kembali demi tercapainya perdamaian dunia.

Tim storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti” Bogor