Peran dan Aktivitas Pelabuhan di Pedalaman Majalengka

0
4101
Bekas kantor pabrik gula di Omas, Liangjulang (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Jawa Barat, 2017)
Bekas kantor pabrik gula di Omas, Liangjulang (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Jawa Barat, 2017)

Oleh: Oerip Bramantyo Boedi

Komda Jawa Barat–Banten

Penghubung pedalaman dan dunia luar

Desa Babakananyar yang berada di tepi aliran Ci Manuk sejak masa lamapu menjadi daerah penghubung pedalaman dan dunia luar. Sekarang lokasi ini menjadi daerah kosong dan aktivitas sebagai pelabuhan tidak tampak lagi. Dalam tulisan ini dikaji peran dan aktivitas yang ada di desa ini pada masa Kolonial. Berdasarkan data masa lampau beerupa data arkeologis dan hasil penelusuran pustak serta wawancara dapat disimpulkan bahwa Babakananyar memiliki peran yang cukup penting dengan jumlah aktivitas yang besar. Hal ini tidak lepas dari adanya pembukaan perkebunan tebu dan pembangunan pabrik gula di Liangjulang. Peran dan aktivitas tersebut menyusut ketika adanya pembangunan Bendung Rentang.

Pelabuhan secara harfiah diartikan sebagai tempat berlabuh. Dalam glosarium Biro Pusat Statistik, pelabuhan diartikan sebagai tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik-turun penumpang dan/atau bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhanserta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

Pelabuhan merupakan tempat yang penting dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak masa lampau. Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan berada di persilangan Asia Timur dan Asia Selatan-Barat merupakan jalur yang penting bagi kegiatan perdagangan dunia pada masa lampau. Pelabuan menjadi prasarana yang penting dalam kegiatan global, ketika prasarana dan moda alat angkut air dan darat menjadi penopang utama kegiatan tersebut. Jawa sebagai salah satu bagian dari Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan penting yang berada di daerah pantai utara Pulau Jawa atau biasa disebut pantura. Wilayah pantai atau pesisir menjadi tempat atau pusat berlangsungnya tukar menukar atau keluar masuknya barang perdagangan antara daerah pedalaman dan daerah di luar wilayah (Inagurasi, 2016:119). Dengandemikian dapat dikatakan pelabuhan merupakan tempat bertemunya daerah pedalaman dengan dunia luar dan sebaliknya. Pada masa Hindu-Buddha atau masa klasik, di wilayah Kerajaan Sunda di Jawa bagian barat terdapat pelabuhan-pelabuhan utama. Menurut catatan de Baros pada abad ke-16 pelabuhan-pelabuhan yang dimaksud adalah Cimanuk, Karawang, Tangerang, Cigede, Pontang, dan Banten (Guillot, 1992:15).

Permasalahan

Pelabuhan-pelabuhan yang disebut pada bagian sebelumnya merupakan pelabuhan yang berada di tepi pantai dan berfungsi sebagai penghubung antara pedalaman dengan dunia luar. Permasalahan yang terdapat pada masa lampau adalah prasaranan transportasi darat yang belum memadai seperti sekarang ini. Jalur darat berupa jalan raya dan kemudian dengan adanya rel kereta api belum tersedia. Jalur transportasi dan distribusi lokal melalui prasarana darat berkembang sejak awal abad ke-19 (Rusyanti, 2010:68). Bagaimana cara menghubungkan pelabuhan di pantai dengan pedalaman? Dalam catatan sejarah pada masa klasik, di daerah Majaalengka terdapat suatu lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan di daerah pedalaman. Daerah yang dimaksud adalah Karangsambung. Pada waktu Daendels membangun Jalan Raya Pos atau Groote Postweg yang menghubungkan daerah Jawa bagian barat dimaulai dari Anyer hingga Panarukan di Jawa bagian timur, Karangsambung juga menjadi lintasan pembangunan jalan raya ini. Fungsi sebagai pelabuhan berjalan hingga pada masa kemudian.

Peran pada masa klasik dan dijadikan salah satu rute Jalan Raya Pos serta pada masa kemudian menunjukkan peran yang besar Karangsambung dalam lintasan barang dan manusia pada masa lampau. Sehubungan dengan hal itu, makalah ini ini mengkaji peran dan aktivitas pelabuhan sekaligus fokus penelitian di Karangsambung pada masa lampau. Adapun lokasi pelabuhan yang dimaksud adalah Blok Pasanggrahan.Kelampauan kajian dibatasi pada bagian akhir abad ke-19 sampai dengan masa Kemerdekaan. Adapun bahan kajian berupa catatan sejarah tulis dan lisan, toponimi, dan tinggalan arkeologis yang terdapat di lokasi penelitian. Metode pemerolehan data dengan melakukan studi pustaka, wawancara dengan narasumber terpilih, dan pengamatan langsung ke lokasi penekitian

Data dan Pembahasan

Blok Pasanggrahan merupakan bagian dari Kademangan Karangsambung dan berfungsi sebagai pelabuhan pada masa lampau. Pasanggrahan dalam kosa kata bahasa Sunda berarti tempat singgah untuk sementara waktu. Dalam riwayatnya, tempat ini merupakan tempat singgah dari para pedagang yang membawa barang setelah menyeberani Ci Manuk. Untuk selanjutnya dibawa ke tempat yang dituju.

Blok Pasanggrahan pada masa kemudian menjadi bagian dari Desa Babakananyar. Desa Babakananyar merupakan desa yang didirikan pada awal abad ke-20. Sejarah Desa Babakananyar tidak dapat dilepaskan dari riwayat desa induknya, yaitu Desa Karangsambung. Desa Karangsambung merupakan desa tertua di antara desa-desa di wilayah Kecamatan Kadipaten. Desa-desa lain, yaitu Desa Babakananyar, Desa Liangjulang, Desa Kadipaten (Jatiraga), dan Desa Pagandon semula merupakan bagian (cantilan dalam istilah setempat) dari pemerintahan Kademangan Karangsambung.

Didatangi Pasukan Mataram Islam

Pada masa Islam sekitar 1640 an, desa ini didatangi pasukan Mataram Islam di Yogyakarta dan membuka lahan hutan menjadi pemukiman. Pasukan ini merupakan bagian dari pasukan Mataram Islam yang gagal dalam misinya mengusir Belanda dari Batavia. Sultan Agung. Raja Mataram Islam mengancam akan membunuh pasukannya jika gagal perang dari Batavia tanpa membawa kemenangan. Akibatnya, pasukan Mataram pada saat itu berada pada posisi yang dilamatis. Di pihak lawan yang merupakan tentara-tentara Belanda terus mengejar meraka dengan persenjataan lengkap, jika memaksakan pulang ke Mataram sudah pasti ancaman sang raja menjadi kenyataan. Akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di hutan belantara agar tidak terdeteksi oleh tentara Belanda. Lambat laun mereka mem-babak (membuka) hutan. Pasukan-pasukan Mataram akhirnya memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram Islam untuk selamanya, mereka hidup di hutan itu dengan menyimpan rasa takutnya. Komunitas pasukan Mataram Islam lambat laun melahirkan generasi-generasi baru mereka dari hasil pernikahan silang dengan penduduk setempat.

Bermukimnya para pasukan Mataram Islam berpengaruh terhadap penyebaran agama Islam di daerah ini. Penduduk setempat yang semula masih menganut agama lama kemudian sebagian dari mereka menganut agama Islam. Pemeluk Islam pertama kali di daerah ini adalah Mbah Buyut Bungsu yang kelak bernama Mbah Buyut Sawala. Mbah Buyut kelak menjadi tokoh agama yang sangat disegani dan menyebarkan ajaran Islam dengan basisnya di Cipaku. Setelah meninggal, Mbah Buyut Sawala dimakamkan di daerah Kadipaten yang dikenal dengan nama Kompleks Makam Keramat Buyut Sawala. Setelah menjadi permukiman berpenduduk beragama Islam maka dibangun prasarana peribadatan berupa masjid. Masjid ini tertua di Kecamatan Kadipaten dan sekarang dinamai Masjid Darussalam (keckadipaten.weebly.com/desa-babakan-anyar.html).

Pemerintahah sendiri

Pada 1903 Babakan Anyar sudah bisa menyelenggarakan pemerintahan sendiri. Daerah ini dipimpin oleh seorang Kuwu bernama Sartam (1903–1908). Pada mulanya desa ini bernama Babakan Sinom, terdiri atas tiga blok, yaitu Babakan Sinom, Pasanggrahan dan Dayeuh Kolot. Babakan Sinom adalah daratan yang jauh dari Ci Lutung dan Ci Manuk. Sedang Pasanggrahan merupakan permukiman terbesar di Kadipaten pada saat itu. Nama Babakananyar baru dipakai pada waktu pemerintahan Kuwu Emon (1942–1947). Berturut-turut nama kuwu-kuwu yang memerintah adalah sebagai berikut. Nerman (1908–1910), dan Tirtadiwirya (1910–1926), Warsita (1926–1942), Emon(1942–1947), Wahaab ( 1947–1948), Darji (1948–1956), E. Sukatma (1956–1961), Endo Ruspada (1961–1962), S. Abdurochim (1962–1970), M. Komar (1970–1980), E. Katma (Penjabat 1980–1982), A. Wasta (1982–1984), A. Rochaman (1984–1993), S. Abdurohim (1994–1995), Ede Sukmana (1995–1998), Adeng Supena (1998–2008), dan Maman Yuskoto (2008–sekarang).

Sebagai wilayah administratif wilayah Desa Babakananyar pusat pemerintahannya berada di Blok Babakananyar. Lokasi ini berjarak 5 km dari pusat Kecamatan Kadipaten di Heuleut. Luas wilayahnya mencapai 4,53 km persegi dengan jumlah penduduk 2.30 jiwa (Anonim, 2016:3–4). Wilayah Desa Babakananyar dibatasi oleh wilayah Desa Karangsambung di sebelah utara dan timur, wilayah Desa Kadipaten di sebelah selatan, dan aliran Ci Manuk di sebelah barat. Areal di desa ini dimanfaatkan sebagi areal hunian atau permukiman, sawah, dan juga sebagai tempat usaha.

Peran dan Aktivitas di Babakananyar

Pada masa Kerajaan Pakwan Pajajaran, Karangsambung menjadi salah satu titik dalam jalur darat di wilayah kerajaan tersebut. Pada masa itu terdapat dua rute jalan yang berpusat di Pakwan Pajajaran, satu kearah barat dan satu kearah timur. Jalan kearah timur menghubungkan Pakwan Pajajaran dengan Karangsambung. Rute ini melalui Cileungsi dan Ciabrusah, kemudian belok ke asrah sampai ke Tanjungpura di tepi Ci Tarum. Dari Tanjungpura melalui Cikao dan Purwakarta, kemudian berakhir di Karangsambung. Rute ini kemudian masih ada sambungannya kea rah timur dan selatan. Ke arah timur sampai ke Cirebon, kemudian berbelok ke selatan lewat Kuningan dan berakhir di Galuh atau kawali. Sementara itu, rute ke arah selatan melalui Sindangkasih dan Talaga, juga berakhir di Galuh atau Kawali (Soejono dan Leirissa ed, 2010:420).

Jalan Herman Willem Daendels

Pada masa kemudian, pada waktu berkuasa, Herman Willem Daendels membangun jalan raya yang menghubungkan Anyer di Jawa bagian barat sampa dengan Panarukan di Jawa bagian timur. Rute yang melalui bagian tengah Jawa bagian barat atau Tatar Sunda jalan itu melewati daerah Serang, Tangerang, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Sumedang, da Cirebon (Lubis dkk., 2003:337). Sementara itu, rute antara Sumedang dan Cirebon melewati daerah, antara lain melalui Conggeang-Banasbanten-Karangsambung-Liangjulang-Dawuan-Dusunpos-Barujul, dan seterusnya Jalan raya di daerah Karangsambung sampai sekarang masih difungsikan dan sudah diaspal. Salah satu tinggalan arkeologis di daerah Karangsmbung berupa tugu atau paal yang berada di Jl. Sriwijaya, Desa Kadipaten, Kecamatan Kadipaten, Majalengka.

Peran fungsi Pasanggrahan berlangsung cukup lama. Kegiatan bisnis wilayah Karangsambung dan sekitarnya (sekarang meliputi wilayah Kecamatan Kadipaten, Majalengka) terpusat di sini. Melalui jalur sungai komoditas keluar-masuk di Pasanggrahan yang lokasinya berada di tepi aliran Ci Manuk. Posisi Pasanggrahan berada pada pertemuan aliran Ci Lutung dan Ci Manuk. Aliran Ci Manuk ini yang menghubungkan pedalaman hingga ke muara sungai di pantai utara Jawa, tepatnya di daerah Indramayu.

Pada akhir abad ke-18 daerah Kademangan Karangsambung mulai ada eksploitasi tanah berupa penanaman tebu dan pada 1868 di daerah Omas, Desa Liangjulang dibangun pabrik pengolahan tebu menjadi gula. Dengan adanya pabrik gula ini maka kehidupan perekonomian di daerah ini semakin berkembang. Berbagai fasilitas terkait dengan perkebunan dan pengolahan tebu dibangun. Tinggaaln arkeologis yang masih dapat dijumpai pada masa sekarang adalah kantor pabrik gula di Ciomas. Adapun pabrik gula sudah berubah bentuk dan fungsi sebagai supermarket. Lokasi pabrik gula ini berada berdampingan dengan kantor pabrik.

Bendungan dan Rel

Selain pabrik, dibangun pula prasarana pendukung untuk pengairan areal penanaman tebu berupa bendungan dan jalur rel lori pengangkut tebu dari areal perkebunan ke pabrik dan hasil olahan pabrik ke pelabuhan di Babakananyar. Bendungan utama dibangun di aliran Ci Lutung terletak di daerah Liangjulang. Dari sini air disalurkan melalui saluran irigasi dan bendungan-bendungan lebih kecil ke areal-areal perkebunan tebu. Tinggalan arkeologis yang dapat dijumpai sekarang adalah adanya bendungan utama dan jaringannya. Sementara itu, rel-rel lori sudah tidak ada lagi tinggal jalur-jalur bekas penempatan rel. Jalur lori ini dilengkapi dengan sumur penyedia air.

Terdapat istilah lokal untuk alat angkut menggunakan lori, yaitu gotrok atau darengsin. Gula yang sudah dikemas lalu diangkut dari pabrik gula di Omas-Liangjulang menyebrang jalan Kadipaten – Majalengka melalui jembatan rel. Jalur rel Lori ada 3 arah. Rel ke-1 ke arah pelabuhan pasanggrahan menyebrang sungai Cilutung ke perbatasan Sumedang, jalur ke-2 melalui perempatan lampu merah ke arah timur menuju pabrik gula Jatiwangi. Jalur ke-2 melintasi kawasan Cipaku menyisir pinggiran jalan raya Kadipaten, Dawuan, dan Jatiwangi. Jalur ke-3 tembus ke pabrik gula Jatitujuh.

Sumur Stoom penyedia air bagi lori (Sumber: Balai Arkeologi Jawa Barat, 2017)

Pada masa ini kehidupan bisnis di Babakananyar mencapai puncak kejayaannya. Tidak hanya produk pabrik gula dari Liangjulang yang melalui pelabuhan ini, tetapi juga produk-produk luar masuk melaluinya. Kapal yang membawa produk dari Kadipaten, balik dari pelabuhan di Inderamayu membawa komoditas dari luar. Komoditas ini kemudian dipasarkan di pusat perdagangan di daerah Desa Kadipaten sekarang. Kegiatan ini surut secara drastis ketika Bendung Rentang dibangun yang mengakibatkan perahu/kapal tidak dapat lagi mencapai Indramayu.

Simpulan

Blok Pasanggrahan di Desa Babakananyar, Kadipaten, Majalengka memiliki peranyang penting sejak masa klasik hingga masa Kolonial Belanda. Peran sebagai penghubung antara daratan di sebelah barat aliran Ci Manuk dengan wilayah sebelah timur aliran sungai tersebut dan juga menghubungkan pedalaman dengan muara Ci Manuk yang dengan sendirinya menjadi penghubung pedalaman dengan dunia luar. Pada akhir abad ke-19 dilkasanakan pembukaan perkebunan tebu dan pembangunan pabrik yang membawa perubahan dalam masyarakat, misalnya dengan dikenalnya sistem irigasi dan penggunaan lori sebagai alat angkut tebu dan hasil olahan pabrik. Produk pabrik dikirim ke luar daerah melalui aliran Ci Manuk. Dengan demikian peran Babakanyar menjadi lebih penting lagi dan jumlah aktivitas juga bertambah. Peran ini menurun drastis ketika adanya pembangunan bendungan yang mengakibatkan perahu/kapal tidak dapat lagi menjangkau muara Ci Manuk.

Makalah ini dipaparkan pada Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Hotel Novotel, Bogor, Jawa Barat, 24 hingga 27 Juli 2017.

Daftar Pustaka

Anonim. 2016. Kadipaten Dalam Angka. Majaalengka: Biro Pusat Statistik Kabupaten Majalengka.

Guillot, C. 1992. Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1552. Dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Inagurasi. L.H. 2016. Arti Penting Situs-Situs Pelabuhan Kuna di Karawang, Jawa barat, Sebagai Jalur Transportasi. Dalam Purbawidya Vol. 5 No. 2 November 2017:117–132.

Lubis, Nina H. dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid 1. Bandung: Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

Rusyanti. 2010. Sungai Sebagai Jalur Lokal di Cirebon pada Abad Ke-14–18 M: 65–81. Dalam Harkantiningsi, N. Th. Ed. Perdagangan dan Pertukaran Masa Prasejarah–Kolonial. Bandung Alqaprint.

Soejono, R.P. dan Leirissa, R.Z. 2010b. Sejarah Nasional Indonesia II. Zaman Kuno. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.