Dari Kantor Pabean Hindia Belanda menjadi Museum Soenda Ketjil
Bangunan bekas Kantor Pabean Hindia Belanda itu kini bereinkarnasi menjadi Museum Soenda Ketjil. Tata pamer sederhana namun menarik memberikan informasi tentang perkembangan Kota Singaraja. Suatu daerah di pesisir utara Bali yang sedikit berbeda dengan daerah lainnya di Bali.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, melalui Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman bersama Pemerintah Daerah patut merayakan keberhasilan ini. Mengubah bangunan tua kusam menjadi museum yang menarik, dengan desain tata pamer yang menyenangan.
Museum ini lahir dari Bangunan Cagar Budaya berarsitektur kolonial dengan pintu dan jendela berukuran besar. Bangunan itu terbagi menjadi dua ruang. Ruang depan berdenah persegi empat panjang, dengan tiga pintu berjejer di dinding depan. Ruang belakang yang berdenah sama yang dahulu pernah difungsikan sebagai ruang pejabat yang mengurusi Pelabuhan Buleleng.
Pelabuhan Buleleng
Di pesisir utara Bali terdapat satu pelabuhan tua, yang saat itu terbesar di pulau ini. Pelabuhan itu bernama Buleleng. Pelabuhan di Kota Singaraja itu pernah menjadi pusat pelayaran utama. Dermaga terbesar pada masa itu menjadi ikon Singaraja sebagai Ibu Kota Soenda Ketjil, yang meliputi Bali dan Nusa Tenggara. Namun, sekitar 1958, pusat pemerintahan lama itu berpindah ke Denpasar. Bulelengpun tak hingar bingar lagi. Bangunan-bangunan tua di sekitarnya seolah meratapi sepinya pelabuhan. Seiring memudarnya dinding-dinding tua yang tak lagi terawat.
Di pelabuhan yang berada sekitar 2,5 Kilometer di sebelah utara dari pusat kota Singaraja ini pernah terjadi peristiwa heroik. Dalam suatu pertempuran melawan pasukan Hindia Belanda, rakyat Buleleng berhasil merobek warna biru bendera Belanda, hingga menjadi bendera kebanggaan, Merah Putih. Suatu peristiwa yang sama dengan peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Hotel Yamato di Surabaya.
Untuk mengenang peristiwa itu, pada 1987 dibangunlah satu tugu dengan nama Yudha Mandala Tama. Tugu setinggi 12 meter dengan figur pemuda kekar yang menunjuk ke arah laut sambil memegang bambu runcing dengan sang merah putih pada ujungnya.
Sekitar 2005, pelabuhan tua itu tampak cantik kembali. Dermaga tua berubah menjadi restoran terapung. Dinding bangunan-bangunan tua di sekitarnya tidak lagi kusam. Salah satunya bangunan tua bekas kantor pelabuhan, yang dahulu dikenal dengan nama “Societiet Boleleng”. Di sebelah timurnya terdapat satu jembatan lengkung yang menghubungkan Buleleng Timur dan Kota Singaraja.
Tempo Dulu
Dalam tata ruang tradisional Bali, Buleleng yang merupakan kawasan pelabuhan—yang saat ini berada di Kelurahan Kampung Bugis, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali—dianggap nista (kotor). Tidak ada penduduk yang tinggal di daerah ini. Hingga pelaut Bugis dan Makassar tiba di pantai utara ini pada abad ke-17. Mereka dikenal baik oleh Kerajaan Bulelang. Begitupun dengan pribumi yang menerima mereka dengan suka cita. Maka diberilah mereka tanah untuk bermukim. Keahlian mereka dalam mengarungi lautan menjadikan mereka sebagai kekuatan armada laut Kerajaan Buleleng.
Pada saat Hindia Belanda menguasai Bali pada 1846, Kota Singaraja tepilih menjadi pusat pemerintahan. Berbagai fasilitas dibangun di kota itu. Pelabuhan dan jalan baru mengubah tata ruang tradisional yang sebelumnya ada. Kota yang sebelumnya berpusat pada catus pata (perempatan agung) menjadi kantor Pemerintah Hindia Belanda. Tata kota baru ini memudahkan Pemerintah Hindia Belanda memantau aktivitas di pelabuhan.
Berbagai fasilitas seperti dermaga, gedung, terminal, kantor pabean, dan jembatan yang menyeberangi Sungai Buleleng dibangun di kawasan ini. Begitu pesatnya pembangunan membuat perkampungan nelayan Bugis tergusur. Berganti menjadi kawasan pergudangan dan perdagangan. Toko-toko Tionghoa tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Hasil ternak dan hasil bumi dijual ke Melaka dan Hongkong. Begitu pentingnya pelabuhan ini bagi Hindia Belanda membuatnya harus dipertahankan mati-matian. Pertempuran besar pun terjadi pada 27 Oktober 1945.
Setelah Indonesia merdeka, Kota Singaraja menjadi Ibukota Kepulauan Soenda Ketjil sampai 1958. Kemudian Bali menjadi provinsi sendiri dan Ibukota berpindah ke Denpasar. Diikuti perpindahan pelabuhan utama ke daerah Benoa. Perpindahan Ibukota dan pelabuhan utama ini adalah awal dari meredupnya germerlap Buleleng.
Puncaknya terjadi pada 1970-an, abrasi dan kotoran membuatnya dijuluki sebagai pelabuhan sampah. Pembuatan talud untuk menahan abrasi dan penataan kawasan pelabuhan dilakukan hingga 2010. Gudang-gudang tua saksi sejarah dibongkar. Menyisakan kantor pabean yang sempat digunakan sebagai kantor Kelurahan Kampung Bugis. Kini kantor itu telah menjadi museum. Tempat jejak-jejak riwayat Buleleng diceritakan hingga anak cucu nanti.