Saksi syiar Islam dari Syekh Syarif Abudurakhman

Bagdad yang dijuluki negeri kisah 1001 malam, ternyata menyimpan kisah lain yang tak kalah menarik. Syahdan, berabad-abad yang lalu, Raja Bagdad, mengutus seorang syekh untuk berlayar ke suatu negeri dalam misi penyebaran agama Islam. Sang Syekh bersama adik dan rombongannya kemudian berlayar menembus lautan luas dan tiba di kota Cirebon. Berbeda dengan kisah 1001 malam yang hanya khayalan belaka, ini adalah kisah nyata. Menceritakan awal mula berdirinya Masjid Merah Panjunan Cirebon. Masjid kuno yang terletak di Kelurahan Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon ini sudah ada sejak lebih dari 500 tahun yang lalu.

Asal usul Masjid Merah Panjunan, membawa imajinasi kita kembali jauh ke masa lalu. Saat Cirebon menjadi bandar perniagaan yang penting di pantai utara pulau Jawa. Pelabuhan Cirebon menjadi melting pot kehidupan multikulural. Beragam suku bangsa seperti orang Arab, Cina, India, Eropa hidup damai berdampingan dengan warga setempat. Oleh karenanya tak mengherankan bila Cirebon memiliki budaya yang khas, yang turut mempengaruhi elemen kehidupan masyarakatnya. Salah satu buktinya ada pada desain Masjid Merah Panjunan.

Masjid Merah Panjunan adalah saksi syiar Islam Syekh Syarif Abudurakhman, yang berasal dari negeri Bagdad. Kedatangan Syekh Syarif Abdurakman ini tertulis di dalam Babad Cirebon. Menurut cerita, sang syekh mendalami ilmu agamanya kepada Syekh Nurjati. Selain ahli agama, Syekh Syarif Abdurakman juga terkenal piawai dalam berdagang anjun, yaitu gerabah dari tanah liat. Keahliannya membuat anjun dikembangkan kepada penduduk sekitar. Wilayah tempat pengrajin gerabah ini kemudian dikenal dengan nama Panjunan.

Bertemu dengan Pangeran Cakrabuana

Takdir kemudian memertemukannya dengan Pangeran Cakrabuana dari Kerajaan Cirebon. Ia diberi titah untuk mengembangkan wilayah Panjunan. Wilayah yang dahulu langsung menghadap ke arah laut. Syekh Syarif Abdurakhman kemudian diberi gelar Pangeran Panjunan. Hilir mudik para saudagar, khususnya saudagar muslim, menjadi penyebab harus didirikannya tempat sholat. Beliau kemudian berinisiatif membangun tajug atau mushola pada 1480. Tajug inilah yang kemudian menjadi cikal bakal mesjid Merah Panjunan. Rully, penjaga masjid menyatakan bahwa masjid Panjunan merupakan masjid kedua yang dibangun setelah masjid Penjlagrahan Cirebon.

Lebih dari 500 tahun kemudian, Masjid Merah Panjunan masih berdiri tegak. Namun tak tampak lagi lautan yang dahulu menjadi salah satu pemandangan dari halaman mesjid ini. Alih–alih lautan, masjid bernuansa merah itu seolah menjadi bangunan unik, yang terkepung toko-toko dan pemukiman warga. Wilayah Panjunan kini dikenal pula sebagai “Kampung Arab”. Banyak keturunan Timur Tengah yang hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Masjid Merah Panjunan hingga kini masih tetap difungsikan untuk kegiatan ibadah sholat, tawasulan dan sholat Jumat. Pada waktu duha, sekelompok ibu rutin mengaji Al Quran. Sementara itu, penziarah dari berbagai daerah datang untuk menikmati sejarahnya.

Meski kecil, tetapi anggun dan khas

Masjid Merah Panjunan berukuran kecil namun indah. Arsitekturnya anggun dan khas. Walaupun mengalami beberapa perombakan, namun bangunan asli masjid masih terjaga. Akulturasi kebudayaan bernuansa Jawa pada struktur bangunan, tampak serasi dengan ukiran ornamen Hindu-Buddha. Keindahan keramik Cina dan Eropa pada mihrab, tidak mengurangi kemulyaan Masjid Merah Panjunan sebagai tempat ibadah. Justru menunjukkan keluwesan ajaran Islam yang menerima perbedaan budaya.

Saat memasuki gerbang masjid, kita akan disambut gerbang masjid yang menyerupai candi atau pura di Bali. Sekeliling masjid berpagar tembok bata merah. Beberapa ornamen bunga matahari menghiasi tembok merah itu. Di masjid ini, kita tak akan menemukan ornamen kubah berhiaskan bulan bintang seperti masjid umumnya. Alih-alih demikian, ornamen memolo yang bentuknya menyerupai mahkota raja-raja Jawa menjadi cungkup penghias atap masjid. Ada 17 pilar kayu jati menyangga masjid, yang mengandung filosofis 17 raakaat sholat wajib ditunaikan umat muslim dalam sehari. Selain itu, terdapat satu inskripsi beraksara Arab menghiasi salah satu palang kayu.

Dahulu terdapat satu menara di samping masjid. Namun saat dilakukan renovasi, menara itu dihilangkan. Di sisi kiri masjid terdapat bentuk makam yang dinyakini sebagai patilasan. Sementara di sisi kanan terdapat tempat wudhu dengan air yang tak berhenti mengalir dari sumur tua yang sudah ada sejak berdirinya masjid ini. Beberapa pintu berukuran kecil terdapat di masjid ini. Untuk masuk pintu tersebut kita harus menunduk. Mengandung makna bahwa siapapun kita, apapun posisi kita di dunia kita ini adalah mahluk kecil, yang tetap harus tunduk dihadapan Allah. Sementara itu, di dalam Masjid terdapat mihrab (pengimaman) berupa tembok putih. Ceruk pengimaman berukir menyerupai bunga dengan cungkup di atasnya. Hiasan keramik Cina dan beberapa keramik nuansa Eropa menambah keindahan dinding mihrab bernuansa putih.

Keramik- keramik yang bercerita

Memandang keramik-keramik yang menghiasi mihrab Masjid Merah Panjunan melahirkan ketertarikan tersendiri. Sebagian besar keramik memiliki motif dan ragam hias khas Cina. Di antaranya adalah piring keramik motif Qilin, naga dan burung hong (phoenik) yang merupakan mahluk mitologi Cina. Ada pula keramik bermotif bunga, dan keramik bermotifkan pemandangan di negeri Tiongkok. Keramik-keramik ini adalah hadiah dari putri Ong Tien, seorang putri Cina, yang diperistri oleh Sunan Gunung Jati.

Beberapa keramik lainnya menggambarkan cerita pertemuan antara orang Eropa dan Bangsawan Cina. Ada pula keramik bernuansa biru yang mengambarkan pemandangan di Eropa. Bagaimana keramik bernuansa Eropa ada di sini. Hal itu mungkin bisa terjadi karena sebagai kota Bandar, Cirebon sarat akan komoditi dagang. Memandang keramik-keramik ini saja mengugah imajinasi ini betapa berwarnanya kehidupan budaya Cirebon saat itu.

Bagian dalam Masjid Merah Panjunan. (Foto: Suparno)
Bagian dalam Masjid Merah Panjunan. (Foto: Suparno)

Ruang tertutup di balik Mihrab

Satu ruangan tertutup ada di balik Mihrab. Ruangan ini hanya dibuka pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Rully, lebih lanjut menjelaskan bahwa ruangan ini hanya boleh dibuka atas izin pihak Keraton. Namun kita bisa mengintip isi ruangan dari balik jendela yang berada di sayap kanan bangunan masjid. Dari tempat inilah tampak ruangan kosong, dengan pilar-pilar kayu dan dinding berhiaskan keramik. Satu mimbar berbahan kayu dan berukir tampak ditutupi kain putih agar tidak kotor. Menurut Informasi, ruangan itu adalah tempat pertemuan para wali saat berkunjung ke Pangeran Panjunan. Selain bersilaturahmi, para Wali juga berkumpul untuk beribadah. Kemudian mendengarkan khotbah Sunan Gunung Jati. Juga merumuskan strategi penyebaran dakwah, dan merumuskan cara terbaik menyelesaikan permasalahan dakwah di wilayah Cirebon.

Masjid Merah Panjunan menunjukan kearifan Pangeran Panjunan dalam syiar Islam. Beliau paham bahwa pendekatan dengan cara yang halus akan lebih mudah diterima masyarakat. Rully, sang juru kunci masjid menjelaskan bahwa makna tersirat dari bangunan Masjid Merah Panjunan menggambarkan bahwa asal-usul budaya kita tidak menjadikan satu budaya lebih yang baik dari yang lainnya. Di dalam masjid, semua manusia sama dan yang utama adalah ketakwaan kita dalam menjalankan syariat agama Islam. (Valentina BS)