Lebih dari sekadar wali yang gosong badannya atau “cuma” jadi murid Sunan Kalijaga
Sunan Geseng lebih dari sekadar wali yang gosong badannya atau “cuma” jadi murid Sunan Kalijaga. Perannya dalam suksesi Kerajaan Mataram serta masjid-masjid serta petilasan yang menjadi peninggalannya di berbagai tempat (seperti jejaring besar) menjadi bukti peranannya yang sentral di dalam ikhtiar dakwah di pedalaman Jawa.
Sunan Geseng adalah murid sekaligus jangkar dakwah Sunan Kalijaga di wilayah pedalaman Jawa bagian selatan. Jaringan dakwahnya meliputi Sidarejo, Banyumas, Kebumen, Purworejo dan Yogyakarta.[i] Bahkan ada yang memerkirakan wilayah operasi lebih besar dari itu, bila dikaitkan dengan sejumlah petilasan dan makam yang tersebar di Tuban, Pati, Temanggung, Yogyakarta, Bagelen hingga Grabag—yang semuanya diasosiasikan dengan Sunan Geseng.[ii]
Dia termasuk dalam skuad elite sunan Kalijaga yang muridnya termasuk Ki Ageng Giring dan Panembahan Senopati sang pendiri dinasti kerajaan Mataram-Islam. Beberapa versi lain bahkan menyebut namanya terlibat dalam suksesi yang menabalkan Sultan Agung sebagai raja Mataram dan terlibat aktif sebagai penasihat kerajaan.[iii]
Sang Penyadap Nira dari Desa Bedhug
Tapi sungguhnya Cokrojoyo (nama asli Sunan Geseng) adalah penderes (penyadap) nira sederhana dari Desa Bedhug di tepian Sungai Begowonto, Bagelen, Purworejo, Jawa Tengah. Sunan Kalijaga tertarik dengan tembangnya nan merdu yang disenandungkan saat hendak menderes “Clontang-clantung, wong nderes buntute bumbung, apa gelem apa ora?”(Clontang-clantung, orang nderes ekornya bumbung/bambu, apa mau apa tidak?) Sunan mengajarkan “mantra” baru yang ajaib yang membuat Cokrojoyo tertarik menjadi muridnya.
Saat bersemadi dalam proses pembelajaran, Cokrojoyo terjebak kebakaran di dalam hutan. Tapi ajaibnya dia sehat walafiat. Sedikit saja tubuhnya yang gosong. Sejak itulah Sunan Kalijaga menjulukinya Sunan Geseng alias sunan yang gosong. “Beliau telah diangkat jadi murid (sejak) mulai pembangunan sampai dengan syiar agama di Masjid Demak. Sunan Geseng mendapat jabatan sebagai seksi konsumsi,” kata Muhadi ketua Takmir Masjid Geseng Masjid al-Iman Geseng Luwano. Masjid ini, bersama dengan Mesjid Kauman di Bagelen (kini bernama Masjid Sunan Geseng) dipercaya merupakan peninggalan dakwah Sunan Geseng di tanah Bagelen.
Masjid Tua di Kampung Kuna
Dilapis lantai keramik bebiruan, Masjid al-Iman Loano terlihat mentereng dari jauh. Kontras dengan permukiman, sekolah, dan warung yang ada di dekatnya. Atap serambi yang cenderung rendah menghalangi orang untuk melihat bagian dalam. Tapi sebaliknya bayangan itu menciptakan keteduhan buat para jemaah di dalamnya. Serambi beratap limasan itu direnovasi belakangan, pada 1898.[iv]
Masuk ke bagian dalam barulah suasana kuna terasa. Empat soko guru menopang atap tajuq. “Warga dan tokoh masyarakat pernah mengganti usuk-usuk, reng (bagian atap). Dipaku. Tidak sesuai dengan aslinya. Tapi setelah pihak Purbakala datang, (usuk-usuk) dikembalikan seperti semula,” kata Muhadi.
Bagian inti ini menurutnya tak banyak yang berubah, seperti 500 tahunan yang lalu. Saat Sunan Geseng konon “menggeser” bangunan ini. “Dulu, sesepuh bercerita masjid ini letaknya tidak di sini. Tapi sebelah barat. Kurang lebih 200 meter (dari sini). Tanpa sepengetahuan siapa pun, Sunan Geseng memindah masjid ini.”
Ketika Batar Luwano, putra Kerajaan Galuh Pajajaran terdampar
Masjid ini berdiri di Lowano atau Loano salah satu daerah tertua di Purworejo.[v] Asal-usulnya dapat ditarik dari Batara Luwano, putra Kerajaan Galuh Pajajaran yang terdampar di wilayah tersebut. Di tempat baru itu dia menyunting gadis desa dan dianugerahi putra yang namanya Pangeran Anden. Lepas dewasa, Anden kemudian magang sebagai prajurit di Majapahit dan bertemu jodoh di sana. Dyah Marlangen, begitu nama sang putri dibawa pulang ke kampung. Tapi karena baru bertemu dan saling canggung, tiada sepatah katapun meluncur dari keduanya. Beruntungnya di tepian sungai Begowanto sedang bermekaran bunga Lo. “Pohon mirip beringin. Tapi daunnya agak lebar dan berbunga,” kata Muhadi lagi. Maka berkat pohon Lo itulah mereka saling menyapa (wanuh dalam Bahasa Jawa). Maka sejak itulah nama daerah tersebut menjadi Lowano atau Loano.
Percakapan dan saling sapa di antara warga terus dilakukan, termasuk di Masjid. Di sini ada Pengajian Selapanan, “Isinya bertemunya para jamaah se-RW 4. Ada berzanji ada tahlil. Masjid juga jadi pusat kegiatan peringatan Tahun Baru Islam tingkat kecamatan,” kata Muhadi.
Warisan Sunan Geseng—dan Walisanga—yang masih lestari dipraktikkan hingga hari ini adalah kegiatan Salat Tasbih dan Salawat Kubro. “Setiap malam Jumat. Sehabis isya, pelaksanaannya kira-kira dua jam. Kebanyakan peserta memang orang tua,” Tapi itu bukan berarti Masjid hanya untuk orang tua. Muhadi, yang baru saja terpilih jadi ketua Takmir September 2018 mengaku merekrut anak-anak muda untuk jadi bagian kepengurusannya.
Masjid Rukun (dengan) Tetangga
Tak jauh dari lokasi yang diperkirakan menjadi tempat petilasan Sunan Geseng di Bagelen, berdiri juga Masjid Sunan Geseng. Masjid terletak di Dusun Kauman Barat, tak jauh dari rel kereta yang derunya nyaris tak pernah absen setiap jamnya. Meski kadang mengganggu kekhusyukan, tapi berkat “kereta api” inilah, Masjid selamat dari kerusakan. Ceritanya pada tahun 70-an empat tiang besar masjid sudah miring posisinya. Khawatir bertambah parah atau malah bikin musibah, Mahasisiwa Universitas Gadjah Mada yang sedang KKN di desa tersebut dibantu oleh pihak Kereta Api Indonesia yang meminjamkan dongkrak kereta dan empat lanjar rel kereta berhasil mengembalikan tiang-tiang ke posisi semula.
Masjid ini juga menyimpan cerita soal rukun-rukun antar-tetangga. Jika masjid umumnya hanya melaksanakan tarawih 11 atau 23 rakaat saja saban Ramadan tiba, itu soal biasa. Tapi Masjid ini malah melaksanakan kedua jenis tarawih tersebut di satu malam. “Delapan rakaat pertama dilaksanakan bersama-sama. Setelah itu jemaah yang memilih tarawih 23 rakaat akan meneruskan sementara yang lainnya menunggu. Setelah selesai berulah kedua jemaah ini melaksanakan tadarus bersama-sama,” kata Andin Juru Pelihara merangkap marbot di Masjid ini. Tapi saying kebiasaan ini tak berlanjut, seiring dengan wafatnya imam yang menganut bilangan 23 rakaat.
Menjadi patokan
“Saat Ramadan Masjid ini jadi patokan. Tidak ada yang berani berbuka atau azan, sebelum Masjid ini mengumandangkan azan. Sampai ke detik-detiknya,” Dan saat Idul Fitri tiba, Masjid ini juga kembali menunjukkan toleransi antar-warganya. Jika ada perbedaan waktu Idul Fitri, maka Masjid akan mengadakan dua kali Salat Idul Fitri juga. “Di sini mah, biasa saja. Rukun-rukun saja,” tambah Andin.
Masjid Sunan Geseng diperkirakan sudah ada pada abad 16.[vi] Bangunannya berdiri dikelilingi tembok bata dan menempel dengan kompleks permakaman serta rerimbunan pepohonan yang diperkirakan menjadi penanda tahun pemugaran, yaitu pada 1732. “Masjid ini direnovasi oleh Cokrojoyo salah seorang pembesar kesultanan. Tahun 1732. Itu ditandai dengan 17 batang pohon sawo kecik, 3 batang pohon manggis dan 2 batangan sawo beludru,” kata Andin lagi.
Dahulunya masjid ini hanya bernama Masjid Kauman. Tapi pada 1985, untuk menghormati jasa Sunan Geseng yang mengislamkan wilayah Bagelen, barulah masjid dinamakan sebagai Masjid Sunan Geseng. (Hilman Handoni)
Catatan
[i] Nurul Hak. “Rekonstruksi Historiografi Islamisasi dan Penggalian Nilai-Nilai Ajaran Sunan Kalijaga” dalam Analisis, Volume XVI, Nomor 1, Juni 2016.
[ii] http://www.nu.or.id/post/read/46721/kisah-ki-cokrojoyo-sunan-geseng
[iii] Abd Shomad dan Zainal Arifin. “Riwayat Jalasutra” diakses dari http://digilib.uin-suka.ac.id/8304/1/ABD.%20SHOMAD%20DAN%20ZAINAL%20ABIDIN%20RIWAYAT%20JALASUTRA.pdf
[iv] https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/masjid-loano-purw/
[v] https://historia.id/kota/articles/asal-usul-daerah-tertua-di-purworejo-voRQe
[vi] https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/masjid-sunan-geseng/