Masjid Sunan Muria: Kesederhanaan, Kecintaan pada Alam, dan Kepedulian pada Sesama

0
4883
Masjid Sunan Muria.
Masjid Sunan Muria.

Ia membakar habis masjidnya yang indah, lalu Ia bangun kembali masjid yang lebih sederhana

Sunan Muria pernah membakar habis masjidnya,[1] hanya karena Sunan Kudus memuji betapa bagusnya itu masjid. Di atas kayu yang gosong, dia bangun kembali masjid yang lebih sederhana. Masjid di atas bukit ini, jadi pengingat prinsip Sunan Muria—yang termasuk dalam jajaran elite Walisongo dan Kesultanan Demak—yang senantiasa kepingin hidup sederhana dan dekat dengan alam serta warga yang ada di pinggir. Ajaran sosialnya: “pagerono omahmu kanthi mangkok (pagarilah rumahmu dengan mangkuk) hidup terus. Area masjid kini telah jadi pusat pemberdayaan ekonomi desa.

Sunan Muria sebenarnya punya pilihan untuk hidup mewah di istana dan terlibat politik kuasa di Kesultanan Demak yang ia bantu dirikan. Jasanya tak sedikit. Bersama para Wali, dia ikut permufakatan mengangkat Raden Fattah sebagai sultan pertama. Tangannya ikut dalam merenovasi Masjid Agung Demak dan mulutnya pernah melafalkan azan dari dekat mihrabnya.[2] Tapi dia malah menyingkir dari itu semua.

Hampir 50 km dari Demak dan 20 km dari Kudus—tempat koleganya Sunan Kudus berdakwah—dia tancapkan pancang di perbukitan yang kelak disebut sebagai Bukit Muria. Mendekat bersama rakyat di pinggiran kekuasaan. Berdakwah pada petani, tukang, dan pedagang, lewat hikmah dan tembang. Upacara persembahan sesaji tak lantas dia larang. Cuma isinya saja diganti dengan ajaran-ajaran Islam. Ajaran bersemi hingga pengikutnya pun berkembang.

“Ada pendatang orangnya baik, apakah ditanya, ayahnya siapa? Kan nggak. Ajarannya bagus, bisa diterima suka menolong akhirnya diikuti saja. Mungkin itu logika saja dari saya,” kata Muhamad Affandi, staf pengurus masjid yang mengurus bagian sosial dan kemasyarakatan, saat ditanya mengenai asal-usul dan sosok Sunan Muria yang mendekati “misterius”.

Kelahiran, kematian, dan ajarannya paling sedikit tercatat dalam sejarah

Asal-usul Sunan Muria, tanggal kelahiran, kematian, dan ajarannya mungkin adalah yang paling sedikit tercatat dalam lembaran sejarah. Para ahli masih berselisih apakah dia anak Sunan Kalijaga atau putra Raden Usman Haji—Sunan Mandalika dari Jepara.[3] Tapi kenangannya terus hidup hingga menarik beribu-ribu peziarah untuk mengunjungi makam dan masjidnya

“Mulai Kamis sudah ramai. Sabtu-Minggu lebih ramai lagi. Pengunjungnya antara 6000-12.000 orang,” kata Muhamad lagi.

Untuk mencapai Muria, seorang bisa berjalan kaki dari Demak kira-kira 10 jam dengan kondisi jalanan seperti saat ini. Tapi lama perjalanan yang ditempuh Sunan Muria sudah pasti akan berlipat-lipat, mengingat jalanan masih dipenuhi hutan. Belum lagi begal dan rampok yang siap menghadang. Termasuk dalam daftar penjahat itu: Kyai Mashudi, bekas begal yang diluluhkan hatinya oleh Sunan Muria hingga jadi muslim yang taat.[4] Sampai kaki bukit, kita harus kembali menapak 432 anak tangga untuk sampai ke kompleks masjid.

Mimbar Masjid Sunan Muria yang sederhana ini yang masih tersisa hingga kini.
Mimbar Masjid Sunan Muria yang sederhana ini yang masih tersisa hingga kini.

Hanya mimbar yang tersisa

Di sinilah pilihan kesederhanaan Sunan Muria dijatuhkan. Jauh dari pusat kota dan kuasa—berbeda dengan Walisongo lain yang berdakwah dekat pusat ekonomi dan politik.[5] Menyatu dengan alam, mendekat bersama rakyat kecil yang tinggal di pedalaman. Membangun masjid sederhana dengan mihrab sederhana yang masih bisa kita lihat hingga hari ini. Mihrab ini, berbeda dengan kebanyakan mihrab, tidak menonjol ke arah luar. Mihrab menyatu dengan ruang utama—yang tak begitu luas bercat putih dengan tempelan-tempelan keramik yang juga jadi semacam ciri masjid-masjid Walisongo yang lain. Sebuah penanda filosofi Sunan Muria yang tak suka pujian, tak suka menonjolkan diri, dan hidup bersama “makmum” rakyat kebanyakan.

Awalnya empat saka guru masjid menggunakan umpak batu polos sederhana, tanpa ukiran. Tapi kini, umpak digantikan dengan yang baru, bertumpuk dua dan berukir. Dinding-dinding masjid telah diganti dengan kayu cerah nan halus sejak 2012 lalu, menurut seorang penjaga masjid. Lantai telah dilapisi karpet untuk menahan udara dingin yang tak ragu menyerang dari balik pintu. Bebatuan bekas lantai masjid yang dipercaya peninggalan zaman Sunan Muria telah diangkat dan ditempel di dinding kompleks makam Sunan Muria.[6] Masjid Sunan Muria telah mengalami renovasi lanjutan mulai 1998. Masjid diperluas, diperkuat dengan konstruksi beton hingga menjadi megah dan indah. Kini, agak sulit menemukan jejak-jejak kesederhanaan masjid apalagi di tengah hiruk-pikuk peziarah yang memburu berkah dan karamah.

Masjid kini dikeliling lorong-lorong yang menavigasi peziarah untuk sampai ke makam Sunan Muria yang sepertinya tak putus-putus. “Kadang-kadang kita tutup jam 2 atau jam 3, nanti subuh baru dibuka lagi,” kata Muhamad lagi.

Selepas dari makam, peziarah bisa mengambil air yang diambil dari gentong yang dipercaya peninggalan Sunan Muria. Airnya dipercaya membawa berkah. Dahulu, menurut legenda Sunan menggunakan gentong tersebut untuk menampung air yang bisa digunakan warga untuk minum atau bersuci. Siapa pun boleh menggunakannya. Ini menjelaskan prinsipnya, bahwa air itu senantiasa jadi barang milik publik.

“Tapa Ngeli” Menyatu dengan Alam

Air memiliki posisi yang penting dalam ajaran Sunan Muria, paling tidak yang hidup dalam legenda dan kepercayaan pengikut-pengikutnya. Salah satu ajaran Sunan yang terus lestari hingga kini adalah tapa ngeli yang secara harfiah berarti menghanyutkan diri bersama arus air di kali. Ajaran ini boleh saja ditafsir sebagai pelajaran bagi manusia untuk hidup selaras dan menyatu dengan alam. Juga untuk menghormati alam.

Sunan Muria jauh-jauh melipir dari pusat kekuasaan ke bukit berhutan tentu dengan niatan sungguh-sungguh membangun sebuah komunitas Islami yang mandiri dan menyatu dengan alamnya.  Ada sebuah kisah di mana Sunan Muria memerintahkan dua sahabatnya, Kyai Tanjung Sari dan Kyai Sari Jati untuk menanam padi gaga pada tanah miring di sebelah masjid.[7] Ini bisa jadi isyarat bahwa Sunan Muria menghendaki kemandirian pangan buat padepokannya—dengan menanam padi gaga yang cocok dengan situasi alam sekitar yang memang berbukit-bukit dan curam.

Padi gaga di sebelah masjid itu mungkin sempat tumbuh dan jadi makanan pokok buat warga Muria dahulu. Tapi kini nyaris tak ada jejaknya. Digantikan dengan deretan kios-kios bernuansa modern. Tak kalah dengan deretan kios dan ruko di Blok M Mall atau ITC-ITC di Jakarta. Alih-alih beras, warga menjaja aneka suvenir (ada yang bertema Sunan Muria atau keislaman, tapi  ada juga yang tak ada hubungannya sama sekali, misalkan mainan anak bertema Tayo—karakter kartun asal Korea Selatan). Ah, tapi mungkin dua hal ini sama-sama mendatangkan rezeki buat menyambung hidup.

Memagari Rumah dengan Mangkok

Ajaran sosial Sunan Muria yang terpancar di dalam kompleks pemakaman dan masjid mungkin adalah ini: pagerono omahmu kanthi mangkok (pagarilah rumahmu dengan mangkuk). Petuah ini dapat bermakna saling bergotong royong, tolong-menolong dan membantu mereka yang membutuhkan.[8]

Pengurus masjid mengorganisir pedagang-pedagang di puluhan kios meriah aneka warna di kiri kanan lorong menuju masjid—berlampu neon dengan watt yang tinggi: putih bersih. Memberikan pedagang keterampilan yang dibutuhkan agar barang tetap laku (dengan aneka pelatihan yang diselenggarakan tiap bulan). Dampaknya bisa dirasakan, tak ada penjual yang memaksa atau menawarkan secara agresif dagangannya kepada pembeli.

“Di sini, kalau mau berkreasi apa pun jadi uang. Mau gerak jadi uang. Tiap bulan ada pertemuan selain pengajian. (Mereka dibekali pelatihan agar) jangan sampai merugikan. Pelatihan kesopanan, menjual yang bagus, dll” kata Muhammad lagi.

Masjid juga rutin memberikan santunan beras sebanyak 10 kg untuk hampir 50 orang. Semua lembaga pendidikan di sekitar masjid juga ditanggung biaya listriknya. Para tukang ojek telah berserikat. Dan hasilnya hampir tak ada satu pun pengemis yang kelihatan apalagi sampai merengek meminta sedekah. Semua seperti saling menjaga, dengan mangkoknya. (Hilman)

[1] Tim Penulis Universitas Islam Negeri Walisongo. Sejarah Sunan Muria. LP2M UIN Walisongo Semarang, 2018. h. 183.

[2] Ibid. h. 199

[3] Ibid. h. 199

[4] Agus Sunyoto. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN, 2015. h. 316

[5] Prof Dr. Sutejo K Widodo, M.Si., dkk. Sunan Muria Today. CV Tiga Media Pratama, 2014. h. 56.

[6] Tim Penulis Universitas Islam Negeri Walisongo. Sejarah Sunan Muria. LP2M UIN Walisongo Semarang, 2018. h. 240.

[7] Ibid. hlm.151

[8] Prof Dr. Sutejo K Widodo, M.Si., dkk. Sunan Muria Today. CV Tiga Media Pratama, 2014. h. 57