sunan, saudagar dan bupati
Keberadan Masjid Gala tidak dapat dipisahkan dari seorang tokoh bernama Ki Ageng Pandanaran atau Sunan Pandanaran. Sunan Pandanaraan merupakan saudagar sekaligus Bupati Semarang. Masjid Gala mungkin tidak akan ada tanpa peran darinya.
Saat Ki Ageng Pandanaran menjabat sebagai Bupati Semarang, ia belum memeluk Islam. Kemudian Sunan Kalijaga mencoba mengajaknya untuk masuk Islam. Dikisahkan Sunan Kalijaga berpura-pura menjadi penjual rumput. Rumput tersebut kemudian dibeli oleh Sunan Pandanaran untuk kudanya. Ketika diperiksa, di dalam rumput ditemukan emas. Namun emas tersebut berubah menjadi batu ketika dipegang oleh Sunan Pandanaran.
Sunan Pandanaran kemudian ingin belajar kepada tukang rumput yang sakti itu, yang dapat mengubah benda-benda menjadi emas. Tukang rumput itu kemudian mengakui siapa dirinya sebenarnya. Lalu Sunan Kalijaga mengajak Sunan Pandanaran untuk belajar. Dengan syarat agar Sunan Pandanaran mau meninggalkan segala hal yang berkaitan dengan keduniawian dan masuk Islam. Sunan Pandanaran pun akhirnya setuju dan mau mengikuti Sunan Kalijaga. Setelah mendapat pengajaran, Sunan Kalijaga memberinya gelar Sunan Bayat (Tembayat).
Sunan Pandanaran akhirnya mendapatkan kesaktian itu. Dalam perjalanannya menuju daerah selatan, Sunan Pandanaran hendak dibegal oleh tiga orang. Dengan kesaktian yang dimiliknya, wajah salah satu pembegal itu diubah menjadi domba. Setelah disembuhkan, akhirnya orang yang berniat jahat kepadanya itu menjadi muridnya. Ia kemudian dikenal sebagai Syeikh Domba.
Babad Demak Pupuh Kinanthi dan Bukit Jabalkat
Selain dari penuturan Juru Pelihara Masjid Gala, Pak Anwar, cerita ini dapat ditemukan di dalam Babad Demak Pupuh Kinanthi. Dalam babad itu juga dikisahkan bahwa ketika Sunan Pandanaran dan muridnya tiba di Bukit Jabalkat, ia menemukan bangunan kecil beserta satu tempayan (padasan) kosong. Tempat tersebut kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Konon suara adzan dari masjid di atas Bukit Jabalkat itu terdengar hingga ke Demak. Hal ini cukup menganggu Sultan Demak. Kumandang adzan dari atas bukit itu dianggap terlalu pagi untuk membangunkan Sang Sultan. Peristiwa ini terjadi karena ada perbedaan waktu antara Klaten dan Demak. Oleh karena itu Sang Sultan meminta agar masjid dipindahkan dari puncak bukit ke kaki Bukit Jabalkat. Lokasi itulah yang saat ini menjadi tempat Masjid Gala berdiri.
ga la berarti 17
Tidak diketahui secara pasti kapan Masjid Gala dibangun. Namun dipercaya sebagai masjid tertua di Klaten. Nama Gala diambil dari prasasti pendek di atas pintu masjid sebelah timur bertuliskan “masjid ga la”. Dalam bahasa Jawa, ga la berarti 17. Oleh masyarakat setempat, angka tersebut dimaknai sebagai perintah untuk menjalankan shalat wajib lima waktu yang jumlahnya 17 rakaat.
Masjid Gala berada di teras bukit teratas dari tiga tingkat teras. Untuk mencapainya harus menaiki tangga, melewati teras-teras tersebut. Bentuk teras-teras itu menunjukkan adanya akulturasi dengan budaya Hindu.
Tidak terdapat kolam di bagian depan masjid seperti umumnya masjid-masjid di Jawa. Namun bentuk atapnya hampir sama. Berbentuk tumpang yang bagian puncaknya ditutup dengan mustaka. Atap tersebut terbuat dari sirap kayu jati, dan mustakanya berbahan keramik atau terakota. Atap itu ditopang dengan empat tiang utama dan 12 tiang tambahan yang terbuat dari kayu jati. Tiang utama dilandasi umpak batu dengan bingkai menyerupai padma (teratai).
Bangunan masjid terdiri atas ruang utama dan serambi di sekelilingnya. Di ruang utama terdapat mimbar, tepatnya di sisi barat. Mihrabnya memiliki atap terpisah yang dibuat dari batu. Jika dilihat dari luar atapnya berbentuk datar, sedangkan dari dalam berbentuk lengkung.
Bagian pintu dan jendela masjid berbahan kayu. Pintu utama berada di dinding timur, dan dua pintu lainnya di dinding utara dan selatan. Pada bagian pintu utama inilah terdapat tulisan arab masjid ga la.
Di halaman Masjid Gala terdapat dua tempayan (padasan). Tepatnya di sisi kanan dan kiri tangga sebelah timur. Masyarakat setempat mempercayai bahwa salah satu tempayan tersebut berasal dari bangunan masjid di Bukit Jabalkat.
Setiap Minggu Wage, Senin dan Jumat masjid ini ramai oleh jamaah pengajian. Tidak hanya itu, adanya makam keturunan Ki Ageng Pandanaran di sebelah barat masjid menjadikannya ramai oleh para peziarah. (Shafrina dan Nindiawati)
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Anwar, Juru Pelihara Masjid Gala sejak tahun 2010.
Imansyah, Retno Kartini Savitaningrum. Islamisasi Jawa Bagian Selatan: Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten. Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 11, No. 2 (2013): 429-454.