Lukisan ini merupakan lukisan pertama yang dibuat oleh Raden Saleh Syarif Bustaman (1814-1880), pelukis ternama Indonesia. Karya ini menggambarkan salah satu peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan penjajah yang diabadikan dalam bentuk lukisan. Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sekaligus menandai berakhirnya perlawanan Diponegoro pada tahun 1830. Sang Pangeran diundang ke Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun kenyataannya Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya ditangkap dan diasingkan.

Lukisan dibuat dengan gaya Romantisisme, diterakan pada permukaan kanvas menggunakan cat minyak yang memenuhi seluruh kanvas. Bingkainya menggunakan kayu yang berukir. Lukisan ini merupakan lukisan sejarah pertama di Asia Tenggara di antara sejarah lukisan aliran Eropa.

Saat ini statusnya dimiliki oleh negara, dikelola oleh Kementerian Sekretariat Negara, dan disimpan di Istana Kepresidenan Yogyakarta.

Simbol Perlawanan

Karya lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro merujuk pada peristiwa nyata yang memang terjadi masa lalu. Lukisan ini dibuat sebagai respon dari lukisan Nicolaas Pieneman (1809-1860) yang ditugaskan untuk mendokumentasikan momen penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Pemerintah Belanda. Ketika peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro (28 Maret 1830), Raden Saleh tengah berada di Eropa. Diduga Raden Saleh melihat lukisan Pieneman tersebut saat ia tinggal di Eropa. Perbedaan lukisan antara Raden Saleh dengan Pieneman ini dipandang sebagai rasa nasionalisme pada diri Raden Saleh.

Beberapa perbedaan penting antara lukisan Raden Saleh dan Pieneman:

  1. Pieneman menggambarkan Diponegoro dengan wajah lesu dan pasrah, Raden Saleh menggambarkan Diponegoro dengan raut tegas dan menahan amarah.
  2. Pieneman memberi judul lukisannya Penyerahan Diri Diponegoro, Raden Saleh memberi judul Penangkapan Diponegoro.
  3. Lukisan bendera Belanda yang dibuat oleh Pieneman tidak ditampilkan dalam lukisan karya Raden Saleh.

Raden Saleh mulai membuat sketsa lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro pada tahun 1856 dan menyelesaikan lukisan cat minyaknya setahun kemudian. Pada 12 Maret 1857, beliau mengabarkan lukisan tersebut kepada temannya di Jerman, Duke Ernst II, dengan judul “Ein historisches Tableau, die Gefangennahme des javanischen Häuptings Diepo Negoro” (lukisan bersejarah tentang penangkapan seorang pemimpin Jawa Diponegoro).

Raden Saleh kemudian memberikan lukisan tersebut kepada Raja Belanda, Willem III, untuk menggambarkan pandangan Raden Saleh atas penangkapan Pangeran Diponegoro yang berbeda dengan pandangan Pieneman.

Pada tahun 1975 lukisan tersebut diserahkan kepada Indonesia oleh pihak Kerajaan Belanda bersamaan dengan realisasi perjanjian kebudayaan antara Indonesia-Belanda pada 1969.

Kondisi Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro dikategorikan baik. Warna dan detailnya sudah tampak lebih terang dan setelah direstorasi oleh Susanne Erhards, seorang ahli restorasi asal Jerman, 2013 lalu.

Memenuhi Kriteria Cagar Budaya Nasional

Saat ini Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro sudah diangkat statusnya menjadi Cagar Budaya nasional dengan nomor registrasi RNCB.20190219.01.001562 berdasarkan Surat Keputusan Menteri No306/M/2018. Karya salah satu pelukis terbaik bangsa ini dianggap memenuhi kriteria Cagar Budaya Nasional karena:

  1. berusia 50 tahun atau lebih (dibuat pada tahun 1856-1857);
  2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun (beraliran Romantik abad ke-19);
  3. memiliki arti khusus bagi:
  • sejarah, (menggambarkan peristiwa penangkapan Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro);
  • ilmu pengetahuan (memberikan perspektif sejarah yang berbeda dari sudut pandang Eropa);
  • Kebudayaan (bukti kemajuan seni lukis modern Indonesia); dan
  1.  memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, karena lukisan ini membangun memori kolektif Bangsa Indonesia tentang perjuangan melawan penjajahan.

Tak hanya kriteria di atas, masterpiece ini menggambarkan kepahlawanan dan semangat kebangkitan nasional, menandakan awal perkembangan seni lukis modern Indonesia, dan satu-satunya lukisan sejarah perjuangan di abad ke-19 yang berukuran besar.

Baca juga:

Arca Harihara Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya Nasional

Keragaman Aksara dan Bahasa pada Prasasti-Prasasti Jawa Barat

Sejarah Singkat Penelitian Gambar Cadas di Sulawesi Selatan