Kutukan luapan amarah

Jika kamu menjaga anak lelaki dan perempuanku, maka mereka tidak akan membuat noda. Tetapi karena kamu tidak menjaga anak-anakku maka akhirnya aku tak punya anak. Oleh karena itu jika pintu air ini berair, maka kamu akan diinjak gajah, dimakan harimau, digigit ular, dan binatang piaraanmu akan hilang dicuri!”. Penggalan kutukan tersebut merupakan luapan amarah Puang Siboro kepada Jadi Raja, penguasa Dolok Panribuan yang tidak mampu mencegah incest antara kedua anak kembar Puang Siboro.

Kisah Puang Siboro begitu populer di kalangan masyarakat yang tinggal di sekitar Kompleks Megalitik Batu Gajah, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Jika diperhatikan dengan seksama figur-figur binatang “eksekutor kutukan” itu, semuanya dipahatkan di teras tertentu Kompleks Megalitik Batu Gajah.

Figur Harimau yang terletak di Teras II Kompleks Megalitik Batu Gajah.
Figur Harimau yang terletak di Teras II Kompleks Megalitik Batu Gajah.

Fikur hewan pembawa kutukan

Ketiga figur hewan pembawa kutukan tersebut tidak ada yang menempati Teras III. Teras tertinggi yang diasosiasikan sebagai tempat suci (banua ginjang). Melainkan di Teras I dan Teras II, yang merupakan tempat kejahatan masih beredar dalam kehidupan manusia di dunia fana (banua toru dan banua tonga). Figur ular dan gajah masing-masing menempati Gundukan 1 dan Gundukan 2 Teras I. Sementara figur harimau menempati Teras II. Di Teras III atau yang tertinggi merupakan tempat khusus dengan pahatan patung kerbau, relief manusia, serta relief yang diduga merupakan kepala kerbau.

Berbeda dengan tiga figur hewan sebelumnya, figur kerbau dan cecak diyakini memberikan pengaruh positif. Kedua figur hewan ini seringkali disematkan sebagai ornamen penghias bangunan. Terutama yang berfungsi sebagai hunian raja dan masyarakat. Di rumah adat masyarakat Simalungun terdapat kepala kerbau yang dibentuk dari ijuk. Tempat menancapnya tanduk kerbau asli, yang disebut pinar uluni harbou. Berfungsi sakral untuk menghalau segala marabahaya terhadap tempat tinggal mereka. Ornamen cecak dan kerbau juga bernilai profan. Hal ini tercermin dari nilai estetika gaya seni bangunan khas etnis Batak Simalungun.

Menyadari hal itu, Prof. Harry Truman Simanjuntak dalam kajian lapangan di Kompleks Megalitik Batu Gajah pada 6-10 Agustus 2018 menyatakan, “Keistimewaan situs tersebut adalah hubungan antara fakta dan mitos (tradisi megalitik). Tradisi ini berkembang pada masa sejarah (masa klasik/perkembangan kerajaan bercorak Hindu-Buddha di Nusantara)”.

Puang Siboro, figur-figur yang dikisahkan dalam cerita rakyat, serta kasus incest yang melatarbelakangi kutukan tersebut, merupakan fakta atau benar keberadaannya pada masa lampau. Sementara kutukan-kutukan merupakan mitos. Lebih tepatnya suatu kiasan untuk menerangkan hukuman berat bagi siapa saja yang melanggar hukum adat serta merusak alam.

Foto udara Teras I Kompleks Megalitik Batu Gajah.
Foto udara Teras I Kompleks Megalitik Batu Gajah.

Menjalin harmoni dengan alam

Upaya menjaga kelestarian lingkungan tampaknya sudah mendarah-daging dalam setiap individu masyarakat Batak Simalungun. Salah satunya dengan konsepsi tanah larangan. Mereka telah mengembangkan metode yang tepat guna untuk menjaga keseimbangan ekosistem tempat tinggal mereka. Hal tersebut merupakan wujud identitas local genius. Sekaligus local wisdom masyarakat Batak Simalungun dalam menjalin harmoni dengan alam.

Kompleks Megalitik Batu Gajah merupakan kawasan larangan atau natuurmonument. Telah ditetapkan semenjak masa pemerintahan Hindia-Belanda. Sebagaimana tertera dalam Zelfbestuur Besluit 1924 No. 18 tanggal 18 April 1924. Dalam dokumen tersebut terdapat lampiran perihal areal Batu Gajah seluas 0,8 ha. Wilayah ini diapit oleh Sungai Bah Kisat dan Sungai Bah Sipinggan. Selain untuk menegakkan legitimasi Raja di Dolok Panribuan, ditetapkannya Kompleks Megalitik Batu Gajah sebagai natuurmonument juga bertujuan untuk melestarikan kawasan hutan lindung yang mengelilinginya.

Situs Cagar Budaya Kompleks Megalitik Batu Gajah telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.88/PW.007/MKP/2011, 17 Oktober 2011. Pengelolaan Kompleks Megalitik Batu Gajah termasuk dalam wilayah kerja Bidang Wilayah Konservasi Sumber Daya Alam I Kabanjahe, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sumatera Utara. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor 923/Kpts/Um/12/82, 27 Desember 1982 sebagai Cagar Alam Batu Gajah. (Rendy Aditya Putra E-Sub Direktorat Registrasi Nasional)

Baca juga:

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/giliran-situs-megalitik-siap-menjadi-cagar-budaya-peringkat-nasional/