Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”

Pada April 1951-Februari 1952 adalah masa Sukiman Wirjosandjojo sebagai Perdana Menteri. Ia berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Sukarno lebih senang daripada situasi sebelumnya. Paling tidak karena kabinet memberinya kebebasan berpidato. Kabinet Sukiman menjadi terkenal dengan usaha yang serius untuk menumpas PKI. Kaum komunis secara tidak langsung menjadi marah dengan bersedianya PNI berkoalisi dengan Masyumi. Kabinet Sukiman jatuh karena terjadinya suatu krisis kebijakan luar negeri. Kabinet itu telah menganut garis probarat secara aktif. selain itu, pada Januari 1952 menteri luar negeri dari Masyumi secara diam-diam menandatangani suatu persetujuan bantuan dengan Amerika Serikat yang mengikat Indonesia pada pertahanan “dunia bebas”. Timbullah suatu kegemparan politik.

Pada Februari 1952, Menteri luar negeri dan kemudian disusul seluruh anggota kabinet meletakkan jabatan. Kabinet berikutnya menghapus persetujuan dengan Amerika itu, dan berusaha memperoleh bantuan dengan syarat-syarat yang kurang mengikat. Orang sudah mulai bertanya-tanya apakah jenis politik yang terlihat di Jakarta itu memang merupakan tujuan dari Revolusi yang telah diperjuangkan. Bukan tidak mungkin Sukarno kurang setuju pada kebijakan Sukiman itu.

Koalisi PNI-Masyumi terjadi lagi, kali ini Wilopo dari PNI yang menjadi Perdana Menteri (April 1952-Juni 1953). Akan tetapi, kedua partai itu sejak permulaannya memang tidak bersemangat untuk bekerja sama. Keadaan ekonomi kurang menguntungkan. Pergolakan daerah mulai menunjukkan kegiatannya. Dalam periode ini segera terjadi konflik golongan politik dengan pihak tentara. Terjadi apa yang disebut Peristiwa 17 Oktober 1952. Pada hari itu pihak tentara membawa pasukan, tank serta artileri militer dan demonstran sipil, yang konon berjumlah sekitar 30.000 orang. Masa menuju istana Presiden untuk menuntut dibubarkannya parlemen. Sukarno tidak setuju rencana demo yang meminta dirinya memberhentikan banyak tokohyang ia hormati. Sukarno berbicara kepada para demonstran dan berkata dirinya tidak ingin jadi diktator. Para demonstran kemudian bubar atas perintahnya. Sekali lagi Sukarno berhasil menempatkan dirinya sebagai orang yang dapat secara langsung berbicara kepada rakyat. Kemudian ia menerima delegasi tentara dan secara samar-samar berjanji bahwa tuntutan mereka akan dipenuhi. Mereka pun bubar atas perintah Sukarno. Unjuk kekuatan tersebut tidak menghasilkan apa-apa. Di radio Sukarno menghimbau supaya rakyat tetap tenang dan tunduk pada Pemerintah. Upaya untuk memaksa Presiden ternyata tidak berhasil. Selanjutnya para pendukung tentara terkait, di pusat segera diberhentikan.

Pada Oktober dan November 1952 para panglima baru dilantik untuk memimpin pasukan di daerah yang digulingkan oleh para panglima sebelumnya. Pada Desember 1952, Nasution yang dianggap bertanggung jawab,diskors dan selama tiga tahun nonaktif.

Tim Storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti” Bogor