Ada asumsi bahwa asal muasal ketidaksetaraan gender dalam arkeologi terjadi ketika masyarakat semakin kompleks, yaitu pada tahap bertani. Ketidaksetaraan itu dikonstruksi oleh masyarakat petani yang memiliki organisasi sosial yang kompleks sebagai hasil dari interaksi dengan alam. Alasan  yang mengatakan bahwa pada tahap bertani baru muncul ketidaksetaraan karena pada masa ini terjadi produksi makanan, adanya inovasi teknologi, dan adanya manipulasi atau domestikasi tanaman dan hewan (Higgs 1972; dalam Bender, 2000). Selain itu, pertanian memberikan kontrol lebih manusia terhadap lingkungannya. Hal ini mengakibatkan diperlukan banyak tenaga kerja (Meillassoux 1972; dalam Bender, 2000; Bender 1985).

Timbul pertanyaan apakah pada masa berburu dan meramu (dua atau tiga juta tahun lalu) sudah terjadi ketidaksetaraan. Bender (2000:83–84) mempertanyakan apakah kekompleksan masyarakat petani menjadi kondisi yang kondusif untuk membentuk ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan. Sementara masyarakat berburu dan meramu seolah terlupakan dan berada di luar topik diskusi. Bender mengambil beberapa contoh dari peninggalan arkeologis dari masa Paleolitik Atas di Eropa baratdaya. Dari data itu terlihat bahwa ketidaksetaraan gender sudah tampak atau muncul pada tahap berburu dan meramu. Woodburn (1980; dalam Bender, 2000) mengatakan bahwa masyarakat berburu dan meramu yang memiliki sistem relasi sosial egalitarian, secara praktis dan teknis memiliki kesamaan konfigurasi sosial dengan masyarakat petani.

Sebenarnya sudah ada pembagian dalam kelompok berburu dan meramu secara alamiah. Pembedaan ini didasarkan pada usia dan gender (Conkey and Spector 1984). Orang yang lebih tua memiliki kekuatan, pengalaman dan pengetahuan lebih daripada yang muda, sehingga mereka tahu atas apa yang harus dilakukan. Hal ini membuat orang-orang tua memegang kendali atas anak-anak muda. Akan tetapi ada hal yang menjadi masalah, yaitu baik yang tua atau pun muda adalah laki-laki. Lalu di manakah peran perempuan?. Laki-laki pada masa berburu dan meramu secara biologis memiliki kekuatan yang lebih daripada perempuan, sehingga mereka dibebankan pekerjaan berburu atau kegiatan yang sangat berbahaya, sedangkan perempuan hanya mengumpulkan makanan sambil mengasuh anak-anak mereka. Laki-laki melakukan pekerjaan di daerah yang jauh dari tempat tinggal mereka, sedangkan perempuan melakukannya di sekitar tempat tinggal saja. Sekenario atau versi ‘maco’ ini melahirkan asumsi bahwa laki-laki memiliki kesempatan untuk menciptakan alat dan senjata (Washburn and Lancaster, 1968; dalam Bender, 2000). Versi yang lebih “gentle-manly” dicetuskan oleh Issac (1978; dalam Bender, 2000) yang menjabarkan bahwa ada maintenance atas pembagian kerja, tetapi memberikan poin pada perempuan, karena lebih berkesempatan untuk melakukan penemuan-penemuan. Hal ini kemudian membuat adanya ‘pertarungan’ antara “man the hunter” melawan “woman the gatherer”.

Seorang feminis melakukan kritik pada 1970-an dan membalikkan sekenario “man the hunter” diganti dengan “woman the gatherer” (Dahlberg’s symposium, 1981; dalam Bender, 2000). Menurutnya kegiatan mengumpulkan makanan itu lebih penting daripada berburu. Saat keduanya melakukan pengumpulan makanan, perempuanlah yang kali pertama melakukan, dan merupakan awal dari proses berbagi. Kegiatan mengumpulkan makanan ini lah yang kemudian berasosiasi dengan teknologi (Bender, 2000).

Saat ini ditemukan bukti, yaitu di suku Agta di Philippina. Perempuan di suku Agta biasa melakukan perburuan besar, dan berhenti menjelang melahirkan. Kemudian melakukannya lagi setelah si bayi sudah bisa dititipkan pada perempuan lain untuk mengasuhnya (Estioko-Griffen and Griffen 1981; dalam Bender, 2000). Hal ini memberikan keuntungan pada laki-laki meskipun secara biologis memiliki fisik yang lebih besar dan kuat. Contoh lain berasal dari Paleolitik Tengah sekitar 200 ribu tahun lalu, dan saat kemunculan Homo-sapiens pada masa Paleolitik atas sekitar 35 ribu tahun lalu hingga sapiens-sapiens. Contoh ini disebut dengan versi Man the Hunter Mark II yang mengatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat pada saat itu beradaptasi dengan iklim Eropa dengan kondisi glasial yang ekstrim, untuk melakukan perburuan besar. Perburuan seperti ini memerlukan keterampilan dan kerjasama yang dilakukan oleh laki-laki. Hal ini membuat kontak antara pemburu menjadi suatu jaringan yang sistematik dan melahirkan bentuk masyarakat yang kompleks, terutama saat terjadi kenaikan populasi (Wobst, 1976; dalam Bender, 2000).

Ada satu model yang baik sekali, yaitu “man the hunter-woman the home maker”, yang muncul karena kondisi di Eropa pada tahap Paleolitik Atas berada dalam iklim yang buruk, maka salah satu strategi adaptif mereka adalah melakukan perburuan besar. Data mengenai ini diperoleh dari lukisan gua di Cantabria, yang merupakan tinggalan dari masa Paleolitik Atas Awal, yang berupa lukisan binatang antara lain rusa merah, kambing gunung, dan kuda. Sementara pada masa Paleolitik Atas Akhir yang digambarkan adalah hewan-hewan kecil, termasuk kerang dan perburuan kecil (Freeman, 1973; dalam Bender, 2000). Lukisan gua itu menunjukkan adanya perburuan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan terorganisir (big game hunting). Lukisan gua itu juga memperlihatkan fenomena sosial, terutama tentang pembagian kerja yang didasarkan atas usia. Hal ini berlangsung terus hingga masa awal tahap bertani (Gilman, 1984; dalam Bender, 2000).

Contoh lainnya adalah lukisan gua di Perancis baratdaya (gua Lascaux), dan Spanyol baratlaut (gua Altamira) dari masa Paleolitik Atas. Lukisan-lukisan gua itu harus dillihat sebagai hasil prilaku sosial, termasuk di dalamnya ritual (Rowntree and Conkey 1980; dalam Bender, 2000). Lukisan gua itu juga dapat menjelaskan hubungan antara demografik dan lingkungannya. Lukisan itu selain menjadi re-sosialisasi seni, juga dapat menjadi re-sosialisai berburu dan meramu. Jadi aspek ideologi masyarakat pendukung kebudayaan itu terkandung di dalam lukisan itu (Bender, 2000).

Lukisan gua juga memiliki aspek mitos yang berhubungan dengan kesuburan, seperti yang terdapat di Walbiri, Australia (Munn, 1970; dalam Bender, 2000). Artefak, gua dan lansekap juga dapat menjadi media ritual selain sebagai area ekonomis. Relasi sosial yang terjadi di area ini berlangsung lama dan melahirkan material-material hasil ekspresi anggota masyarakat (kelompok) sebagai proses sosialisasi dari lahir hingga meninggal. Proses sosialisasi dan ritual terlihat begitu terbuka, seperti di gua Altamira, Casatilo, Lascaux dan Pech-Merle. Gua-gua itu menjadi seperti arena ritual dan seremonial (Bender, 2000).

Lukisan-lukisan itu juga memperlihatkan proses berburu yang dilakukan oleh laki-laki. Kemudian ditafsirkan bahwa laki-laki, karena secara biologi memiliki kekuatan, maka dapat berperan sebagai kontrol budaya dalam reproduksi sosial (Miller, 1987; dalam Bender, 2000). Bentuk-bentuk dalam lukisan gua yang dapat berupa simbol, seperti bentuk geometrik untuk menunjukkan laki-laki (Layton, 1986; dalam Bender, 2000).

 

Daftar Pustaka

 

Bender, Barbara ( 2000). “The Roots of Inequality”, dalam Julian Thomas (ed), Interpretive Archaeology. A Reader. London and New York: Leicester University Press. 2000:201–210. First published in D. Miller, M. Rowlands and C. Tilley (cds) (1989), Domination and Resistance, London: Unwin Hynian, hlm. 83–95.

Conkey, M. W. and J. Spector. (1984). ‘‘Archaeology and the study of gender.’’ Dalam Advances in Archaeological Method and Theory, 7: 1–38.