Oleh: Aryandini Novita

Balai Arkeologi Sumatera Selatan

Kebudayaan maritim

Pada dasarnya sumber daya arkeologi maritim seperti halnya sumber daya arkeologi lainnya. Memiliki sifat tidak terbaharui, karena itu kehilangan sumber daya tersebut berarti juga kehilangan data penting untuk mengetahui gambaran kehidupan masyarakat masa lalu. Dalam hal ini masyarakat pendukung kebudayaan maritim. Selain itu, sumber daya arkeologi maritim juga merupakan salah satu bukti adanya interaksi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan mancanegara.

Penelitian arkeologi maritim di Balai Arkeologi Sumatera Selatan merupakan bagian dari tema penelitian “Jejak Peradaban Maritim di Sumatera Bagian Selatan”. Penelitian arkeologi maritim di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara intensif telah dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan sejak 2010. Lokasi penelitian difokuskan di Pulau Belitung. Pada 2013 dimulai penelitian arkeologi maritim di Pulau Belitung yang dilakukan dengan mengintegrasikan temuan-temuan arkeologi dari bawah air dengan temuan arkeologi di daratan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi situs dan hubungannya dengan kedudukan Pulau Belitung dalam pertumbuhannya sebagai kota pada masa lalu. Penelitian yang berlangsung sejak 2013 hingga 2016 menunjukkan bahwa Pulau Belitung tidak hanya merupakan kawasan perlintasan. Akan tetapi merupakan salah satu pelabuhan tujuan yang didorong oleh potensi sumber daya alamnya yaitu timah. Terkait dengan pertambangan timah, temuan arkeologi di perairan Belitung juga menunjukkan bahwa pelayaran merupakan salah satu bagian dari distribusi timah (Peta).

Penyebab kerusakan

Secara umum kondisi situs-situs arkeologi yang diteliti oleh Balai Arkeologi Sumatera dapat dikatakan sudah rusak. Pengamatan terhadap kondisi lingkungan sekitar situs menunjukkan ada tiga penyebab rusaknya situs-situs tersebut, yaitu diledakan oleh nelayan untuk mencari ikan, digunakan sebagai tempat untuk mengikat bubu dan pengangkatan yang tidak sesuai dengan kaidah arkeologi.

Secara geografis situs-situs kapal tenggelam yang diteliti oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan berada di sekitar habitat karang tepi (fringing reef)[1]. Terumbu karang merupakan sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang hidup lebih dari 300 jenis karang dan terdiri atas sekitar 200 jenis ikan (Dahuri, 2003). Kenyataan ini menyebabkan banyak nelayan mencari ikan di sekitar situs dengan berbagai cara sehingga mengakibatkan kerusakan seperti yang terjadi di Situs Karangkijang dan Situs Karangpinang.

Foto 1. Kondisi Situs Karangkijang yang mengindikasikasi bahwa situs ini pernah diledakkan (sumber: dok. Balar Sumsel).

Situs Karangkijang terletak di 6,2 km ke arah baratdaya dari Pelabuhan Perikanan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Situs ini berupa gugusan terumbu karang di mana tinggalan-tinggalan arkeologi banyak ditemukan. Indikasi kerusakan yang disebabkan oleh ledakan terlihat pada terumbu karang yang sudah mati dan cekungan pada dasar laut (foto 1). Situs Karangpinang berada di 6,7 km dari situs Karangkijang atau 12,8 km ke arah baratdaya dari pelabuhan perikanan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung. Situs ini berada di bagian tengah gugusan terumbu karang yang berupa ceruk berpasir yang melintang dari arah timur ke barat. Situs ini rusak dikarenakan karang-karang di sekitar situs dijadikan tempat untuk mengikat bubu. Pada saat penelitian dilakukan masih terdapat sisa bubu yang terikat di antara terumbu karang tetapi sudah tidak digunakan lagi (foto 2).

Foto 2. Sisa Bubu yang masih terikat di antara terumbu karang di Situs Karangpinang (sumber: dok. Balar Sumsel).

Nilai ekonomis yang tingggi

Sudah menjadi rahasia umum bahwa tinggalan arkeologi yang berasal dari kapal tenggelam memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Maka dari itu sumber daya tersebut selalu diburu. Dewasa ini tinggalan arkeologi yang berasal dari kapal tenggelam telah menjadi berbagai macam simbol. Seperti simbol kekayaan, kebesaran, martabat bahkan prestise seseorang sehingga menjadi komoditi dagang yang tinggi nilainya. Selain menjadi barang koleksi, tinggalan arkeologi tersebut juga dapat dijual lagi untuk dijadikan bahan olahan.

Foto 3. Kondisi Situs Batuitam yang rusak akibat pengangkatan yang tidak sesuai kaidah arkeologi (sumber: dok. Balar Sumsel)

Tingginya minat terhadap tinggalan arkeologi yang berasal dari kapal tenggelam menyebabkan para “pemburu harta karun” berusaha untuk mengangkat sumber daya tersebut baik sesuai maupun melanggar kaidah arkeologi. Situs Batu Itam adalah salah satu contoh pengangkatan tinggalan arkeologi yang tidak mengikuti kaidah arkeologi. Situs yang terletak di 12,8 km ke arah baratlaut dari pelabuhan perikanan Tanjungpandan, Kabupaten Belitung dikenal sebagai Belitung Wreck atau Tang Cargo dan pernah dilakukan pengangkatan oleh Seabead Exploration pada 1998. Pada penelitian Balai Arkeologi Sumatera Selatan pada 2013 terlihat sisa-sisa alat dari pengangkatan dibiarkan begitu saja. Struktur kapal sengaja dirusak untuk mendapatkan barang-barang berharga di dalamnya, papan pelindung palka dibongkar paksa dengan cara mematahkannya, selain itu situs juga telah bercampur dengan barang-barang baru seperti botol-botol minuman dan benda-benda dari situs lainnya (foto 3).

Foto 4. Kondisi Situs Karangtimah yang rusak akibat pengangkatan yang tidak sesuai kaidah arkeologi (sumber: dok. Balar Sumsel).

Perusakan situs kapal tenggelam untuk diambil temuan arkeologinya juga terjadi di Situs Karangtimah[2]. Situs yang terletak di 20,9 km ke arah baratlaut dari Pelabuhan Sungai Selindang, Kabupaten Belitung Timur ditemukan pada 1990-an. Kapal yang tenggelam di situs ini berupa kapal besi yang mengangkut balok-balok timah dan dikenal masyarakat memiliki potensi ikan yang melimpah. Penamaan Karangtimah didasarkan pada adanya temuan kapal tersebut. Pada saat ditemukan nelayan-nelayan setempat banyak mengambil balok-balok timah untuk dijual kembali (foto 4).

Harus ada kesadaran melindungi dan menjaga

Pada dasarnya masyarakat setempat merupakan pemilik dari sumber daya arkeologi yang berada di mana mereka tinggal. Oleh karena itu sudah seharusnya masyarakat diberdayakan sehingga muncul hubungan timbal balik yang menguntungkan antara situs arkeologi dengan masyarakat. Jika masyarakat merasakan manfaat yang berkesinambungan dari keberadaan situs arkeologi maka akan muncul rasa memiliki sehingga timbul kesadaran untuk melindungi dan menjaga situs tersebut.

Perusakan situs di perairan Belitung pada dasarnya dikarenakan ketidaktahuan nelayan setempat mengenai nilai penting dari sumber daya arkeologi. Sebagai sumber mata pencaharian maka tidak mengherankan jika para nelayan mendatangi lokasi yang banyak ikannya meskipun di lokasi tersebut juga menyimpan potensi sumber daya arkeologi. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan langkah bijak untuk mengantisipasi persoalan ini tanpa harus merugikan masyarakat yang sudah terlanjur menjadikan situs kapal tenggelam menjadi wilayah tangkapan mereka.

Secara umum masyarakat Belitung memiliki kepercayaan terhadap orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan lebih di bidang supranatural, yang mereka sebut dukun kampong. Peran dukun kampong dalam masyarakat Belitung sangat erat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu tugas dari seorang dukun kampong selaku pemangku adat adalah melakukan kontrol sosial sehingga mampu melahirkan kepatuhan pada masyarakat Belitung. Secara geografis terdapat dua jenis dukun kampong, yaitu ‘dukun darat’ dan ‘dukun laut’.

Memberdayakan dukun kampong

Selama ini yang menjadi sasaran pada kegiatan sosialisasi mengenai sumber daya arkeologi yang dilakukan baik oleh instansi arkeologi maupun pemerintah daerah di Belitung adalah guru, masyarakat umum dan instansi-instansi yang berkaitan dengan cagar budaya. Keikutsertaan dukun kampong dalam kegiatan tersebut masih belum ada, karena itu dalam tulisan ini akan dibahas mengenai perlunya pelibatan dukun kampong dalam pengelolaan sumber daya arkeologi maritim di wilayah Belitung.

Peran Dukun Kampong dalam Kehidupan Masyarakat Belitung

Dalam struktur masyarakat Belitung dukun kampong dianggap sebagai pemimpin informal di tiap-tiap desa. Seorang dukun kampong dipercaya memiliki kemampuan untuk mengobati orang yang menderita sakit baik secara medis maupun non medis. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan untuk menjadi mediator dunia natural dan supranatural karena itu bagi masyarakat Belitung seorang dukun kampong memunyai peran sebagai penjaga wilayah kampung dari berbagai macam gangguan baik gangguan mahluk kasat mata maupun mahluk ghaib.

Foto 5 dan 6. Ritual yang dilakukan oleh dukun kampong sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan (sumber: dok Balar Sumsel).

Dalam kehidupan sehari-hari peranan dukun kampong melebihi peran seorang kepala desa. Setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh masyarakat selalu mengikuti tata cara yang telah ditetapkan oleh dukun kampong (foto 5 dan 6). Pelanggaran terhadap larangan tersebut mengakibatkan resiko yang harus ditanggung oleh pelanggar.

Seorang dukun kampong memiliki wilayah tersendiri yang tidak didasarkan pada wilayah administrasi sehingga bisa saja seorang dukun kampong memiliki wilayah yang terdiri atas dua atau tiga desa. Sebagai pemimpin informal, posisi dukun kampong berada di luar struktur pemerintahan daerah. Namun demikian pemerintah daerah tetap mengakui keberadaannya seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 8 Tahun 2010 tentang Kelembagaan Adat Melayu. Dalam peraturan ini disebutkan bahwa dukun kampong memiliki peran sebagai pembina adat (Sulaiman, 2016:560).

Aliran malaikat dan aliran staraguru

Secara umum terdapat dua aliran dukun kampong, yaitu aliran malaikat dan aliran staraguru. Dukun kampong yang beraliran malaikat ketika melaksanakan ritual menggunakan ayat-ayat Al Quran dan menggunakan ‘tepung tawar’ sebagai media untuk berkomunikasi dengan roh-roh halus; sedangkan dukun kampong yang beraliran staraguru ketika melaksanakan ritualnya menggunakan mantra dan menggunakan daun ‘kesalan’ sebagai media komunikasinya (Siburian, 2016:92).

Dalam penelitian tentang konservasi mangrove di Pulau Belitung, Siburian (2016) menyatakan bahwa kelestarian mangrove di wilayah penelitiannya relatif terjaga karena tidak lepas dari peranan dukun kampong. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya sebagai panutan bagi masyrakat, dukun kampong berperan dalam penggunaan lahan. Oleh karena di wilayah-wilayah tertentu baik di darat maupun di laut terdapat daerah terlarang yang dianggap dihuni oleh mahluk ghaib. Informasi yang didapat pada saat penelitian Balai Arkeologi Sumatera Selatan diketahui bahwa wilayah perairan yang dianggap sebagai daerah terlarang tersebut sebenarnya merupakan tempat ikan bertelur.

Pemberdayaan Masyarakat Berdasarkan Kearifan Lokal

Dalam pengelolaan sumber daya arkeologi Prasodjo (2000) mengusulkan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu pendekatannya. Pemberdayaan masyarakat dapat diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu (1) pemberdayaan sosial-budaya; (2) pemberdayaan politik, dan (3) pemberdayaan ekonomi. Pemberdayaan sosial-budaya masyarakat dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeologi yang dikerjakan oleh para arkeolog. Pemberdayaan politik menekankan perhatiannya pada usaha untuk memampukan masyarakat dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan politis yang berkaitan dengan kepentingan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan. Pemberdayaan dalam bidang ekonomis merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dirasakan hasilnya oleh masyarakat.

Dalam tulisan ini konsep pemberdayaan yang dipakai mengacu pada konsep yang digunakan oleh Sumodiningrat (2002), yaitu upaya memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk aktif agar dapat menyelesaikan tugasnya sebaik mungkin. Pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; menguatkan potensi atau daya yang dimiliki masyarakat; dan melindungi masyarakat tetapi bukan membuat mereka menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian karena tujuannya untuk memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan

Penguatan pranata

Pada dasarnya pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Pranata adalah aturan-aturan yang berlaku dalam organisasi atau lembaga. Berperan sebagai pengatur hubungan antar peran yang menempel pada status sosial yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari pranata diwujudkan dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan, dan juga keterampilan. Juga dalam bentuk tata nilai dan etika yang mengandung kearifan lokal dan dianut oleh masyarakat sebagai pandangan hidup dan keyakinan. Tata nilai dan etika tersebut mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi. Dengan demikian pemberdayaan masyarakat berbasis kearifan lokal merupakan upaya penguatan masyarakat dengan meletakan nilai-nilai setempat. Oleh karena pada dasarnya setiap masyarakat memiliki karakteristik sendiri yang belum tentu dimiliki oleh masyarakat lainnya.

Pada uraian-uraian sebelumnya diketahui bahwa peranan dukun kampong sangat penting bagi kehidupan bermasyarakat di Belitung dan karena ketokohannya seorang dukun kampong mampu mengorganisir kehidupan sosial kemasyarakatan di Belitung. Dalam perspektif sosiologi, dukun kampong dapat dikatakan sebagai penjaga keberlangsungan kearifan lokal yang mengatur tatanan sosial masyarakat Belitung.

Penelitian yang dilakukan oleh Sulaiman (2016:557) menunjukan bahwa fungsi dukun kampong dalam penyelenggaraan pemerintah sebenarnya lebih kepada bagaimana mengatur, mengamankan dan menyukseskan suatu kegiatan atau program. Keberadaan dukun kampong pada setiap kegiatan menjadi penanda bahwa mereka mendukung kegiatan atau program yang diselenggarakan oleh pemerintah. Dengan demikian masyarakat juga akan mendukung kegiatan dan program tersebut.

Perannya sebagai tokoh penggerak

Terkait dengan pengelolaan sumber daya arkeologi maritim di Belitung, berdasarkan peranannya dukun kampong dapat dilibatkan dalam kegiatan pemberdayaan sosial budaya. Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan sosialisasi hasil penelitian arkeologi yang menargetkan masyarakat umum termasuk dukun kampong sebagai sasarannya. Melalui sosialisasi tersebut diharapkan dukun kampong dapat lebih mengenal potensi sosial budaya wilayahnya. Selanjutnya dukun kampung akan berperan sebagai tokoh penggerak dalam penanaman makna dari sumber daya arkeologi maritim sehingga dapat dijadikan sebagai panutan bagi masyarakat.

Penutup

Dalam masyarakat Belitung, dukun kampong merupakan tokoh yang sangat dihormati. Kedudukan dukun kampong tersebut dapat dikatakan merupakan kekuatan sosial dalam pengelolaan sumber daya arkeologi maritim. Kekuatan sosial ini terlihat dari hubungan antara dukun kampong, masyarakat dan pemerintah daerah yang didasari oleh kepercayaan. Dalam perspektif sosiologi, kepercayaan merupakan salah satu modal sosial dalam pemberdayaan masyarakat. Melalui perannya, seorang dukun kampong dapat menanamkan nilai-nilai sosial dari sumber daya arkeologi maritim sehingga menjadi sistem norma yang kemudian menjadi tata aturan bagi masyarakat.

Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Kongres Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA XIV) oleh IAAI Pusat pada 24 s.d 27 Juli 2017 di Bogor.

Daftar Pustaka

Dahuri, Rokhmin. 2003, Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Hakim, Lukman. 2010, Peran Dukun Kampong Dalam Menanamkan Nilai Etik Pada Masyarakat Melayu Belitong, Skripsi Sarjana Jurusan Aqidah dan Filsafat Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Noerwidi, Sofwan. 2007, “Pemberdayaan Masyarakat pada Pelestarian Situs Bangkai Kapal USS Liberty, Tulamben, Bali.” dalam Berkala Arkeologi XXVII (1) hlm. 84–97.

Novita, Aryandini. 2014. “Situs-Situs Bawah Air di Perairan Belitung Bagian Barat: Hubungannya Dengan Pertumbuhan Kota Tanjungpandan Pada Masa Lalu” dalam Siddhayatra Vol. 19 Nomor 1 Mei 2014 hlm. 62–73.

Prasodjo, Tjahjono. 2003, “Arkeologi dan Pemberdayaan Masyarakat Lokal” dalam Buletin Cagar Budaya no 3 Januari 2003.

Siburian, Robert (ed). 2016, Konservasi Mangrove dan Kesejahteraan Masyarakat. Jakarta: Buku Obor.

Sulaiman, Aimie. 2016, “Dukun Kampong Kajian Kapital Sosial dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah di Belitung” dalam Proceeding Seminar Nasional II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Andalas Penguatan Ilmu Sosial dan Humaniora Untuk Perbaikan Karakter Bangsa Indonesia, Padang 28–29 September 2016 hlm. 556–566.

Sumodiningrat, Gunawan. 1999, Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Jakarta: Gramedia.

Widayanti, Sri. 2012, “Pemberdayaan Mayarakat: Pendekatan Teoritis” dalam Welfare, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial, volume 1 nomor 1 Januari-Juni 2012 hlm. 87–102.

Zamzami, Lucky. 2016, “Dinamika Pranata Sosial Terhadap Kearifan Lokal Masyarakat Nelayan dalam Melestarikan Wisata Bahari” dalam Jurnal Antropologi: Isu-Isu Budaya Juni 2016 vol. 18 (1) hlm. 57–67.

[1] Terumbu karang tepi (fringing reef) adalah terumbu karang yang berada dekat dan sejajar dengan garis pantai dan tumbuh subur dikarenakan kondisi perairan yang dangkal sehingga masih bisa mendapatkan sinar matahari dengan baik (Dahuri, 2003:35)

[2] Penamaan situs ini digunakan oleh BPCB Jambi sesuai dengan penamaan yang digunakan oleh nelayan-nelayan dari Desa Sungaipadang. Dalam Laporan Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Sumatera Selatan situs ini disebut dengan nama Karang Kapal 2. Untuk selanjutnya penamaan situs ini mengikuti penamaan yang sudah digunakan sebelumnya, yaitu Situs Karangtimah.