Penerus Kerajaan Galuh
Kerajaan Sunda merupakan salah satu kerajaan di Jawa Barat yang berlangsung dari sekitar abad ke-10 hingga abad ke-16. Berdasarkan beberapa sumber sejarah, Kerajaan Sunda merupakan penerus Kerajaan Galuh. Kerajaan Galuh itu sendiri merupakan kelanjutan kerajaan Kendan. Penguasa pertama kerajaan Galuh adalah Wretikandayun yang diangkat menjadi raja Galuh menggantikan ayahnya, Sang Kandiawan Rahiyangta ri Medangjati. Wretikandayun diangkat menjadi raja pada 14 Suklapaksa bulan Caitra tahun 534 Saka atau 612 M, saat berumur 21 tahun. Wretikandayun memilih pusat pemerintahannya di daerah yang disebut Galuh. Ketika Wretikandayun naik tahta, Galuh masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara. Penguasa Kerajaan Tarumanagara ketika itu adalah Sri Maharaja Kretawarman (Iskandar Y. , 1997:107–123).
Masa Kerajaan Tarumanagara
Pada masa Kerajaan Tarumanagara, pusat pemerintahan diperkirakan di kawasan pantai utara Jawa Barat. Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tugu menyiratkan bahwa ibukota Kerajaan Tarumanagara berada di sekitar Bekasi sekarang. Pada prasasti Tugu disebutkan dua sungai yaitu Candrabhaga dan Gomati. Pada 8 paro-petang bulan Phalguna dimulai penggalian sungai Gomati yang mengalir di lahan tempat tinggal Sang Pendeta nenek Sang Purnawarman. Melalui studi etimologi, Poerbatjaraka berpendapat bahwa Candrabhaga sekarang dikenal dengan nama Bekasi yang diduga sebagai pusat Kerajaan Tarumanagara (Poesponegoro & Notosusanto, 2009 a:52–53).
Dugaan ini juga diperkuat dengan adanya beberapa temuan arkeologis di kawasan Karawang-Bekasi. Temuan tersebut adalah Arca Wisnu Cibuaya 1 dan 2 yang ditemukan di Cibuaya, Karawang; kompleks percandian Batujaya dan Cibuaya yang berada di pantai utara Karawang; dan kompleks situs Buni (Djafar, 2010; Poesponegoro & Notosusanto, 2009:56). Kompleks Buni berada di pantai utara Jawa Barat terbentang dari Jakarta hingga Subang.
Masa akhir Kerajaan Tarumanagara
Pada masa akhir Kerajaan Tarumanagara terjadi penetrasi dari Sriwijaya melalui Lampung. Prasasti Palas Pasemah yang ditemukan di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut termuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti tersebut diduga berasal dari abad ke-7 (Boechari, 1979:19–20). Keterangan tentang bhûmi jawa juga terdapat di dalam prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Ś yang ditemukan di Pulau Bangka. Pembacaan yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952) pada bagian akhir menyebutkan “….. Sriwijaya, kaliwat manapik yam bhumijawa tida bhakti ka Sriwijaya” yang artinya bahwa Sriwijaya sangat berusaha menaklukkan Bhumijawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Yang dimaksud dengan Bhumijawa adalah Tarumanagara (Djafar, 2010:108).
Pengaruh kuat Sriwijaya terhadap Tarumanagara tampak pada bangunan-bangunan keagamaan Budhistis di kawasan Batujaya, Karawang. Berdasarkan temuan arkeologis di kawasan Batujaya, percandian Batujaya dibangun dalam dua masa. Pertama, masa Tarumanagara yang berlangsung pada abad ke-5–7 dan kedua masa pengaruh Sriwjaya yang berlangsung pada abad ke-7–10 (Djafar, 2001:3–4). Sementara itu, di pedalaman Jawa Barat ditemukan beberapa candi yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7–8.
Kondisi demikian memberikan petunjuk bahwa ketika Tarumanagara mendapat pengaruh kuat Budhis dari Sriwijaya, masyarakat Hindu di pedalaman mengalami perkembangan. Pusat peradaban Hindu di pedalaman terutama berada di sekitar lereng gunung api kuarter zona Bandung. Beberapa bangunan (dan unsur bangunan) candi yang terdapat di kawasan itu adalah Candi Cangkuang di Garut, Candi Bojongmenje dan Bojongmas di Bandung, serta unsur bangunan candi di Tenjolaya, Bandung timur (Saptono, 2012:34).
Selain itu di kawasan bagian barat juga terdapat pusat-pusat peradaban Hindu. Pada abad ke-10 terdapat sumber sejarah yaitu Prasasti Kebon Kopi II berisi tentang pulihnya kembali kedaulatan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebon Kopi II berbahasa Melayu Kuna, hal ini sejalan dengan Prasasti Kota Kapur dan Palas Pasemah sehingga menunjukkan bahwa Tarumanagara runtuh karena tekanan Sriwijaya. Selanjutnya Sriwijaya menyerahkan kembali kekuasaan tanah Jawa (Bhumijawa) kepada penguasa setempat yaitu Raja Sunda (Munandar, Fahrudin, Sujai, & Rahayu, 2011:15).
Pusat kerajaan berpindah empat kali
Selama Kerajaan Sunda berdiri, diketahui setidak-tidaknya mengalami empat kali perpindahan pusat kerajaan yaitu di Galuh, Prahjjan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran. Secara geografis, keempat pusat kerajaan tersebut berada di pedalaman. Matapencaharian masyarakat Kerajaan Sunda cenderung sebagai peladang, walaupun dijumpai pula masyarakat yang bermatapencaharian lainnya. Menurut Geertz (1976) wilayah dengan ekosistem perladangan masyarakatnya akan memiliki kecenderungan meniru mekanisme alamiah. Ekosistem tersebut tidak perlu membutuhkan keterlibatan tenaga manusia dalam proses memperoleh produk. Hasil yang dipanen dari usaha perladangan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat.
Pada aspek organisasi sosial, menurut Harris (1972) masyarakat peladang hanya berupa kelompok kecil sebagai komunitas terpisah secara otonom dalam pemukiman-pemukiman kecil yang terpencar. Sifat ekosistem perladangan seperti itulah yang kiranya dapat menerangkan mengapa pusat-pusat pemerintahan sebagaimana Tarumanagara tidak bisa tumbuh menjadi besar (Rahardjo, 2007:115–116). Kelangsungan suatu Negara memerlukan pasokan surplus barang. Biasanya kerajaan dengan pola agraris akan susah mempertahankan kelangsungannya. Dalam kenyataannya, Kerajaan Sunda dapat bertahan lama. Apabila berlandaskan pada teori tersebut, terdapat permasalahan yang perlu dibahas yaitu mengapa Kerajaan Sunda dapat bertahan lama.
Baca selengkapnya di
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/aktivitas-kemaritiman-masa-kerajaan-sunda/