Foto: wikimedia.org
Oleh: Atina Winaya[1]
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Dewasa ini, isu mengenai kemaritiman menjadi topik perbincangan hangat yang kerapkali diangkat di dalam berbagai diskusi dan pertemuan ilmiah. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari sembilan agenda prioritas pemerintah Joko Widodo yang dinamakan Nawa Cita (dalam bahasa Sansekerta berarti sembilan harapan). Kemaritiman merupakan isu terpenting yang disinggung di dalam cita pertama, yakni “menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara tri matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim” (www.kpu.go.id). Dalam upaya mewujudkan cita tersebut, pemerintah membentuk kementerian koordinator baru, yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman. Perlu diketahui bahwa isu kemaritiman menjadi penting karena selama ini pembangunan di bidang kemaritiman kurang mendapat perhatian, serta kekayaan bahari Indonesia belum mampu memberikan manfaat yang optimal, bahkan seringkali mengalami pencurian oleh negara lain. Hal tersebut amat disayangkan mengingatkan kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan.
Pemerintah menyadari bahwa pada hakikatnya Indonesia merupakan negara maritim yang wilayahnya terdiri dari pulau-pulau yang saling dihubungkan oleh lautan. Bahkan, berbagai aktivitas kemaritiman telah dilakukan oleh nenek moyang bangsa Indonesia sejak berabad-abad silam, sehingga tak heran jika mereka mendapat julukan pelaut yang tangguh. Pemerintah juga sadar bahwa aspek historis merupakan salah satu faktor penting yang membentuk Indonesia sebagai negara maritim yang berdaulat. Hal tersebut dapat dilihat melalui tema yang diusung pada penyelenggaraan Rapat Koordinasi Nasional 2017 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang berlangsung di Jakarta, yakni “Indonesia Poros Maritim Dunia dari Sumpah Palapa hingga Nawa Cita” (www.maritim.go.id).
Kesadaran akan sejarah merupakan langkah yang sangat baik dalam upaya memperkuat jati diri bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim. Sejarah kemaritiman Indonesia merupakan riwayat yang membanggakan, mengingat para nenek moyang bangsa sejak masa prasejarah telah mampu menciptakan serta mewariskan berbagai pengetahuan dan pengalaman dalam mengkesplorasi laut. Pengetahuan dan wawasan tersebut semakin lama semakin meningkat seiring perkembangan zaman. Memasuki era sejarah, mulai bermunculan kerajaan-kerajaan bercorak maritim di wilayah Nusantara. Dua yang paling terkenal adalah Kerajaan Sriwijaya di tanah Sumatra dan Kerajaan Majapahit di tanah Jawa.
Sriwijaya dan Majaphit
Sriwijaya menduduki lokasi yang amat strategis, khususnya di wilayah pesisir timur Sumatra yang merupakan jalur pelayaran antara India dan Cina (Soemadio, 2010:65). Perdagangan dengan Cina dan India telah mendatangkan banyak keuntungan, sehingga pada akhirnya Sriwijaya tumbuh menjadi kerajaan yang besar dan kuat. Selain ditakuti oleh musuh-musuhnya, Sriwijaya mampu memenuhi kewajibannya kepada pihak-pihak yang menjalin hubungan dagang dengannya, yakni dengan menjamin keamanan jalur-jalur pelayaran menuju Sriwijaya (Soemadio, 2010:100). Adapun ketenaran Majapahit tidak perlu diragukan lagi. Majapahit telah dikenal sebagai kerajaan kuna yang “berhasil” mempersatukan wilayah Nusantara melalui gagasan politik yang diusung patih Gajah Mada. Sang patih bersumpah bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum dapat menundukkan Nusantara. Dengan kata lain, ia baru akan menikmati palapa (rempah-rempah) atau dapat pula diartikan sebagai kenikmatan duniawi jika telah berhasil menaklukkan Nusantara (Utomo, 2007).
Selain dua kerajaan besar itu, tentunya terdapat kerajaan-kerajaan lainnya yang bercorak maritim pula. Hal tersebut sangatlah lumrah, mengingat kondisi geografis yang didiami merupakan kepulauan yang dikelilingi oleh samudera luas. Apabila kemaritiman merupakan hal yang biasa, namun perlu diakui bahwa konsep pemersatuan pulau-pulau yang tersebar di wilayah Nusantara merupakan hal yang luar biasa. Konsep tersebut merupakan suatu wawasan kemaritiman yang selangkah lebih maju dari masa sebelumnya. Gagasan yang dianggap revolusioner pada masanya itu dipahami oleh masyarakat Indonesia masa kini sebagai buah pemikiran Gajah Mada yang berhasil “mempersatukan” Nusantara yang meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia saat ini, yakni daerah-daerah di Sumatra di bagian barat hingga daerah-daerah di Maluku dan Papua di bagian timur, bahkan pengaruh tersebut telah meluas hingga ke beberapa negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.
Gagasan memersatukan
Namun demikian, perlu diketahui bahwa sebenarnya gagasan mengenai “memersatukan” wilayah di luar pulau itu sudah muncul pada masa sebelum beridirinya Kerajaan Majapahit, yakni pada era Kerajaan Singhasāri yang melangsungkan pemerintahannya pada 1222 hingga 1292 Masehi. Gagasan tersebut dicetuskan oleh Raja Kěrtanāgara yang merupakan raja terakhir, namun yang paling tersohor di Singhasāri. Ia berkeinginan memperluas cakrawala maṇḍala ke luar wilayah Pulau Jawa, yang meliputi seluruh dwīpāntara (Soemadio, 2010:463). Dwīpāntara, yang berarti “kepulauan antara”, inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya istilah Nusantara yang kemudian lazim digunakan hingga saat ini.
Pengetahuan mengenai pencapaian Kerajaan Singhasāri tersebut dapat diketahui melalui bukti-bukti arkeologis yang ditemukan. Kebudayaan materi (material culture) yang berasal dari periode Singhasāri cukup banyak ditemui, namun yang berkaitan langsung dengan gagasan “pemersatuan pulau-pulau” sangat sedikit jumlahnya. Tulisan ini bertujuan untuk menguraikan bukti-bukti sejarah, khususnya yang berkenaan dengan tinggalan arkeologis, yang membuktikan bahwa Kerajaan Singhasāri juga merupakan kerajaan yang memiliki wawasan kemaritiman sebagaimana Kerajaan Majapahit. Bukti-bukti arkeologis yang menegaskan hal tersebut di antaranya berupa arca dan karya sastra yang digubah pada masa hampir sezaman.
Kerajaan Singhasāri
Sebelum memasuki pembahasan utama, kiranya perlu diuraikan secara singkat perjalanan Kerajaan Singhasāri dari awal terbentuknya hingga akhir keruntuhannya agar diperoleh pengetahuan serta gambaran secara umum mengenai situasi kerajaan. Kerajaan Singhasāri berdiri pada 1222 Masehi (1144 Śaka), ditandai dengan penaklukkan Daha (Kaḍiri) di timur Jawa. Raja Singhasāri pertama, yakni Ken Angrok, merupakan seorang tokoh yang dikenal cukup fenomenal. Dalam Kitab Pararaton yang diduga ditulis pada akhir abad ke-15 Masehi, diceritakan bahwa Ken Angrok merupakan putra Bhaṭāra Brahma yang turun ke bumi dan mencampuri seorang perempuan bernama Ken Endok. Bhaṭāra Brahma berpesan agar Ken Endok tidak boleh bercampur lagi dengan suaminya karena akan “mengotori” anak yang dikandungnya. Kelak, anak tersebut akan menjadi penguasa di tanah Jawa (Kriswanto, 2009:13).
Masa muda Ken Angrok dipenuhi dengan petualangan-petualangan liar, seperti mencuri, merampok, membunuh, dan bahkan memperkosa gadis-gadis semasa pengembaraannya dari satu daerah ke daerah lainnya. Di akhir pengembaraannya, Ken Angrok mengabdi pada seorang akuwu bernama Tunggul Ametung di daerah Tumapěl. Ia tertarik dengan istri sang akuwu yang bernama Ken Děḍěs. Dengan menggunakan sebilah keris buatan Pu Gandring, Ken Angrok membunuh Tunggul Ametung pada saat malam tiba. Ia pun berhasil memperistri Ken Děḍěs sekaligus menjadi akuwu Tumapěl.
Setelah lama menjabat sebagai akuwu di Tumapěl, pada suatu hari Ken Angrok didatangi oleh para brahmana dari Daha. Mereka memohon perlindungan Ken Angrok dari tindakan raja Daha yang bernama Dangḍang Gěṇḍis (Kěrtajaya/Srengga). Para brahmana dipaksa untuk memuja raja Daha tersebut karena sang raja dapat memperlihatkan dirinya sebagai Bhaṭāra Guru (Ṡiwa) yang duduk di ujung tombak yang berdiri. Para brahmana tidak mau memuja sang raja, karena sejak dahulu kala tidak pernah diriwayatkan pendeta brahmana menyembah seorang raja (Hardjowardojo, 1965: 29-30; dalam Munandar, 2016: 132). Para Brahmana kemudian menobatkan Ken Angrok sebagai Raja Tumapěl yang bergelar Śrī Rājasa Sang Amurwwabhūmi. Dengan izin dan restu para brahmana itu pula, ia memakai nama Bhaṭāra Guru, dan mengadakan penyerangan ke Daha untuk melawan Raja Dangḍang Gěṇḍis. Ken Angrok beserta bala tentaranya berhasil meluluhlantakkan Daha dan mengalahkan sang raja beserta pasukannya. Berakhirnya era Kadiri menandai lahirnya kerajaan baru, yakni Kerajaan Tumapěl (Singhasāri). Ken Angrok pun segera menaiki tahta sebagai raja pertama Singhasāri sekaligus melahirkan satu wangsa baru, yaitu wangsa Rājasa (Rājasawangśa) atau wangsa Girīndra (Girīndrawangśa). Wangsa tersebutlah yang kelak akan menurunkan raja-raja Singhasāri dan Majapahit yang berkuasa di tanah Jawa.
Pergantian tahta raja diwarnai berbagai intrik
Masa awal pergantian tahta raja-raja Singhasāri diwarnai dengan berbagai intrik internal. Beberapa raja yang menaiki tahta mendapati singgasananya dengan cara membunuh raja pendahulunya. Ken Angrok dibunuh oleh anak tirinya yang bernama Anūṣapati melalui seorang suruhan. Anūṣapati yang merupakan anak Ken Děḍěs dengan Tunggul Ametung ingin membalaskan dendam atas kematian ayahnya. Sepeninggal Ken Angrok, Anūṣapati menaiki tahta kerajaan. Ia memerintah selama kurang lebih selama dua puluh satu tahun, yaitu sejak 1227 hingga 1248 Masehi. Menurut Pararaton, lengsernya Anūṣapati juga disebabkan oleh pembunuhan yang didasari oleh motif balas dendam yang dilakukan oleh Tohjaya, yang merupakan anak Ken Angrok dengan Ken Umang. Namun keterangan tersebut berbeda dengan keterangan yang terdapat dalam Prasasti Mūla-Malurung yang menceritakan bahwa Tohjaya tidak menggantikan Anūṣapati, melainkan menggantikan adiknya yang bernama Narāryya Gunging Bhaya. Pemerintahan Tohjaya amat singkat, yakni hanya selama beberapa bulan saja pada 1248 Masehi. Pada masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan orang-orang Rājasa dan orang-orang Sinělir yang mengakibatkannya terluka sehingga kemudian ia diungsikan dan meninggal di Katanglumbang.
Sepeninggal Tohjaya, Wiṣṇuwarddhana dinobatkan menjadi raja. Ia menjalankan pemerintahannya bersama Mahisa Campaka (Narasinghamūrti) yang merupakan cucu Ken Angrok. Keduanya memerintah bersama bagaikan Madhawa (Wiṣṇu) dan Indra, atau layaknya dua ekor ular dalam satu lubang. Wiṣṇuwarddhana meninggal pada 1268 Masehi dan dicandikan di Weleri sebagai Ṡiwa dan di Jajaghu sebagai Buddha. Kakawin Nāgarakṛtāgama mengisahkan bahwa pada masa pemerintahan Wiṣṇuwarddhana pada 1254 Masehi, ia menobatkan anaknya yang bernama Kěrtanāgara menjadi raja. Keterangan tersebut didukung oleh Prasasti Mūla-Malurung (1255 Masehi) yang menyatakan bahwa ketika itu Kěrtanāgara telah dinobatkan menjadi raja di Daha yang memerintah seluruh daerah Kaḍiri.
Kěrtanāgara adalah raja Singhasāri yang sangat terkenal, baik dalam bidang politik maupun keagamaan. Dalam bidang politik, ia dikenal sebagai raja yang mempunyai gagasan perluasan cakrawala maṇḍala ke luar Pulau Jawa, yang meliputi seluruh dwīpāntara. Adapun dalam bidang keagamaan, ia dikenal sebagai seorang penganut agama Buddha Tantrāyana yang taat. Di Jawa, aliran ini bercampur dengan pemujaan terhadap Ṡiwa-Bhairawa.
Gambaran Nāgarakṛtāgama tentang Kěrtanāgara
Kakawin Nāgarakṛtāgama menggambarkan Kěrtanāgara sebagai seorang raja tiada banding di masa lampau. Ia mempunyai pengetahuan yang sempurna di dalam ilmu ketatanegaraan (sadguṇa), ilmu tentang hakikat (tatwopadeṡa), ilmu pengetahuan dan bahasa, serta patuh dan teguh dalam menjalankan aturan-aturan hukum serta keagamaan. Gambaran tersebut agaknya berbeda dengan uraian di dalam Kitab Pararaton yang menceritakan bahwa sang raja gemar meminum minuman keras, suatu perbuatan yang bertentangan dengan pancaṡila. Akan tetapi, rupanya penggambaran tersebut adalah suatu kekeliruan karena penggubah Pararaton tidak memahami ajaran Buddha Tantrāyana. Tujuan akhir dari aliran tersebut adalah ṡũnyaparamānanda, yaitu tingkatan hidup sebagai Ãdibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagiaan tertinggi (paramānanda), yang hakikatnya adalah kesunyatan (ṡũnyatā). Tingkatan tersebut dapat dicapai semasa seseorang masih hidup dengan ditahbiskan sebagai Jina (Kěrtanāgara ditahbiskan sebagai Jina pada 1289 Masehi). Pada tingkatan itu, seseorang sudah tidak terkena akibat-akibat dari pancakama upabhoga. Dengan demikian, ia dapat dengan sadar menikmati pancamakara, yaitu maithuna (hubungan seksual), madya (minuman memabukkan), māmsa (daging), matsya (ikan), dan mudra (sikap tangan/tarian).
Selama pemerintahan Kěrtanāgara, musuh terkuat yang ia hadapi adalah Kaisar Khubilai Khan dari daratan Cina. Namun tak disangka, kekalahannya justru disebabkan oleh perlawanan yang dilakukan oleh raja bawahannya, yakni Jayakatwang yang memimpin di daerah Gělang-Gělang. Jayakatwang adalah keturunan Raja Kěrtajaya, sehingga ia memiliki ambisi untuk membalaskan dendam leluhurnya kepada Kěrtanāgara yang merupakan keturunan Ken Angrok. Penyerangan terhadap Kěrtanāgara dilakukan ketika kondisi kerajaan sedang lengah karena sebagian pasukan Singhasāri sedang berada di Mālayu. Sang raja diserang pada saat melakukan upacara keagamaan bersama para brahmana dalam kondisi mabuk. Dengan gugurnya Kěrtanāgara pada 1292 Masehi, maka berakhir pula tahta Kerajaan Singhasāri. Ia dicandikan dengan tiga arca perwujudan, yaitu sebagai Ṡiwa-Buddha dalam bentuk Bhairawa, Ardhanari, dan Jina dalam bentuk Aksobhya.
Cakrawala Maṇḍala Dwīpāntara: Wawasan Kemaritiman Kerajaan Singhasāri
Secara harfiah, wawasan kemaritiman dapat didefinisikan sebagai cara pandang seseorang atau institusi terhadap hal-hal yang berkenaan dengan maritim atau laut. Dalam konteks tulisan ini, cara pandang yang dimaksud adalah cara pandang Kerajaan Singhasāri sebagai suatu institusi dalam upaya mengeksplorasi laut agar dapat memberikan manfaat yang lebih besar atau lebih optimal lagi. Laut tidak lagi hanya dipandang sebagai sumber daya alam yang mampu menghasilkan sumber makanan atau jalur transportasi yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya, melainkan laut telah dipandang sebagai alat politik yang dapat mempersatukan beberapa wilayah di bawah satu hegemoni.
Selama ini, Kěrtanāgara dianggap sebagai raja Singhasāri yang pertama kali memelopori gagasan politik “cakrawala maṇḍala dwīpāntara”, yakni mempersatukan pulau-pulau di luar Jawa agar mengakui atau tunduk terhadap satu kepemimpinan. Pada 1275 Masehi, Kěrtanāgara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Malayu dan Campa guna menjalin hubungan diplomatik yang dapat mencegah serangan Kerajaan Mongol ke wilayah Asia Tenggara.
Namun agaknya, pemikiran mengenai pemersatuan pulau-pulau sudah tercetus di benak leluhur Kěrtanāgara pada masa pemerintahan raja sebelumnya. Hal tersebut dapat diketahui melalui keterangan yang tertulis pada Prasasti Maribong dan Prasasti Mūla-Malurung yang dikeluarkan oleh Wiṣṇuwarddhana. Prasasti Maribong (1264 Masehi) menyebutkan swapitāmahãstawanābhinnāsrantakapālaka, yang berarti “kakeknya yang telah menentramkan dan mempersatukan dunia”. Adapun Prasasti Mūla-Malurung (1255 Masehi) menyebutkan pula “kakek (kaki) sang raja yang menyandang nama Ṡiwa, yang meninggal di bangku emas, yang menjadi pendiri kerajaan, yang menjadi satu-satunya payung bagi seluruh Pulau Jawa, dan yang telah menaklukkan pulau-pulau yang lain” (Soemadio, 2010:425). Dalam isi prasasti tersebut, kakek Wiṣṇuwarddhana yang dimaksud tidak lain adalah Ken Angrok. Nampaknya gagasan semacam itu sudah mulai dipropagandakan pada masa pemerintahan Ken Angrok, namun bentuk-bentuk realisasinya belum diketahui sampai saat ini karena belum ditemukan bukti-bukti arkeologis yang secara langsung dapat menjelaskan hal tersebut.
Kěrtanāgara berhasil merealisasikan gagasan politik cakrawala maṇḍala dwīpāntara
Melalui bukti-bukti arkeologis yang ditemukan, diketahui bahwa Kěrtanāgara merupakan raja yang berhasil merealisasikan gagasan politik cakrawala maṇḍala dwīpāntara. Gagasan tersebut diwujudkan dalam program pemerintah berupa pengiriman armada-armada kerajaan untuk melakukan ekspedisi bahari ke kerajaan lainnya di luar Pulau Jawa. Program politik tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk menggalang kekuatan dalam menghadapi ancaman Kaisar Khubilai Khan di daratan Cina. Khubilai Khan berkuasa sejak 1260 Masehi dan mulai mendirikan Dinasti Yuan pada 1280 Masehi. Ia meminta pengakuan kekuasaan dari negara-negara yang sebelumnya mengakui kekuasaan raja-raja Cina dari Dinasti Sung. Apabila terdapat raja yang tidak mau mengirimkan upeti secara baik-baik, maka akan dipaksa dengan kekuatan senjata.
Selain Birma, Kamboja, dan Campa, Jawa juga dijadikan incaran. Utusan Khubilai Khan datang pada 1290 dan 1291 Masehi. Ia menuntut agar seorang pangeran Jawa datang ke Cina sebagai simbol tunduknya Jawa kepada Kaisar Cina. Ancaman tersebut kemudian mengubah pemikiran Kěrtanāgara. Jika sebelumnya kekuasaan raja-raja di Jawa hanya meliputi lingkungan Pulau Jawa semata (yāwadwīpamaṇḍala), maka perluasan maṇḍala perlu dilakukan hingga ke luar Pulau Jawa untuk semakin memperkuat kerajaannya. Ia mulai berpikir untuk mengadakan hubungan diplomatik melalui jalur-jalur laut, karena kerajaan-kerajaan yang terletak di pulau lainlah yang menjadi tujuannya. Dengan demikian, sudah tentu armada-armada kerajaan diperkuat agar semakin tangguh dalam menjalankan ekspedisi melintasi samudera.
Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu yang berlangsung pada 1275–1286 Masehi merupakan program politik yang bertujuan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan Mālayu di Dharmmaṡraya, Pulau Sumatra. Satu prasasti pada alas arca Amogapāṡha dari Sungai Langsat yang berangka tahun 1286 Masehi memberi petunjuk bahwa Malayu benar-benar tunduk di bawah kepemimpinan Singhasāri. Prasasti tersebut menerangkan bahwa arca Amogapāṡha dikirim dengan empat belas pengiringnya, beserta saptaratna (tujuh permata), dibawa dari Jawa menuju Suwarṇabhūmi dan ditegakkan di Dharmmaṡraya. Arca Amogapāṡha merupakan pemberian jasa dari Ṡrī Wiṣwarūpakumāra yang diperintahkan oleh Ṡrī Mahārājādhirāja Kěrtanāgara. Pejabat yang mengiringi arca tersebut adalah Rakryān Mahāmantri Dyaḥ Adwayabrahma, Rakryān Sirikan Dyaḥ Sugatabrahma, Samgat Payanan Hang Dipaṅkaradasa, dan Rakryān Děmung Pu Wira. Seluruh rakyat Mālayu dari keempat kasta bersuka cita, terutama rajanya, yakni Ṡrīmat Tribhūwanarāja Mauliwarmmadewa. Melalui tulisan pada prasasti, diketahui bahwa kedudukan Kěrtanāgara yang diberi gelar mahārājādhirāja lebih tinggi daripada Mauliwarmmadewa yang hanya bergelar maharāja. Adapun saptaratna adalah simbol dari penguasa dunia (chakrawartin).
Selain dipahatkan pada alas arca Amogapāṡha, terdapat pula prasasti yang dipahatkan pada bagian belakang sandaran arca yang berangka tahun 1347 Masehi. Prasasti yang dikeluarkan oleh Mahārajā Ādityawarmman tersebut berisi keterangan mengenai penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, yakni pentahbisan arca Buddha dengan nama Gaganaganja, serta pemujaan kepada Jina (Schnitger, 1937; Djafar, 1992; Utomo, 2016:171). Arca Amogapāṡha tersebut mempunyai kemiripan dengan arca-arca bergaya Singhasāri dalam periodisasi abad ke-13 Masehi (Suleiman, 1981:44). Selain keterangan yang tertera di dalam prasasti, gaya seni arca juga sangat mendukung asumsi bahwa arca tersebut memang benar didatangkan dari Jawa.
Kathākena muwah narēndra kṛtā nāgarāng hilangaken kaṭungka kujana, manāma caya raja śirṇna rikanang śākābdhi bhujago śaśi kṣaya pejah, nagā syabhawa śāka sang prabhu kumon dumona rikanang tanah ri malayu.
Lewes mara bhayanya sangka rika dēwa mūrtti nira ngūni kālaha nika.
“Tersebut pula Prabu Kěrtanāgara membinasakan penjahat dan perusuh bernama Cayaraja dihancurkan pada tahun bhujagośaśikṣaya–1194 (1272 Masehi),
tahun saka nagāsyabhawa–1197 (1275 Masehi) Baginda Raja memerintahkan menundukkan Mālayu, amat membahayakan namun akibat hormat memuja dewa, Baginda mampu mengalahkannya”.
Nāgarakṛtāgama Pupuh XLI:5 (Riana, 2009: 212)
Menjalin hubungan dengan Campa
Selain Mālayu di Sumatra, Singhasāri juga menjalin hubungan persahabatan dengan Campa (Vietnam sekarang) di Asia Tenggara Daratan. Petunjuk mengenai adanya hubungan tersebut diperoleh melalui keterangan yang terdapat di dalam Prasasti Po Saḥ yang berangka tahun 1306 Masehi. Prasasti tersebut menyebutkan bahwa salah seorang permaisuri raja Campa adalah seorang putri Jawa yang bernama Tapasī. Kemudian terdapat berita asing yang meriwayatkan Raja Jayasinghawarmman III menolak kedatangan tentara Khubilai Khan yang hendak mendarat di Campa untuk menambah perbekalan mereka dalam perjalanannya ke Jawa. Berita lain mengatakan bahwa pada 1318 Masehi, Chě Nang, Anak Jayasinghawarmman III mencari perlindungan ke Jawa akibat menderita kekalahan pada saat merebut kembali daerah-daerah di bagian utara dari kekuasaan Annam.
Kakawin Nāgarakṛtāgama menguraikan wilayah-wilayah yang berhasil ditaklukkan Singhasāri di bawah tampuk kepemimpinan Kěrtanāgara. Pada 1284 Masehi, Kěrtanāgara menaklukkan pulau yang terletak persis di timur Jawa, yakni Pulau Bali. Wilayah lainnya adalah pulau-pulau yang cukup jauh jangkauannya, seperti seluruh Pahang (Semenanjung Melayu), seluruh Mālayu (Sumatra), seluruh Gurun (Nusa Tenggara), dan seluruh Bakulapura (Kalimantan). Sunda dan Madura sudah tentu berhasil dikuasainya, karena seluruh daerah di Pulau Jawa tunduk di bawah kekuasaan Raja Kěrtanāgara.
Śakabdha yama śūnya diwaśā durjjana, ikang mahiṣa rangkah-atyaya kaṭungka nika pinalehing sanāgara, ringanggawiyanarkka śāka siro motusanekana ri bāli cūrṇnitan, nda tandwa kawenang ratunya kahanang teka mareki narēndra sakrama.
“Tahun saka yamaśūnyasūryya –1202 (1280 Masehi) saat Baginda Raja menghancurkan penjahat lagi, yaitu Mahisa Rangkah karena jahat meresahkan negeri,
tahun saka ringanggawiyanarkka 1206 (1284 Masehi) Baginda mengirim pasukan untuk menghancurkan Bali, Bali dapat ditaklukkan pemimpinnya ditangkap lalu menghadap Baginda Raja sesuai ketentuan”.
Nāgarakṛtāgama Pupuh XLII:1 (Riana, 2009: 212)
Samangkana tikang digantara padhāngabhaya mareki jӧng narēśwara, ikang sakahawat Pahang sakahawat, malayu padha manungkulādhara, muwah sakahawat gurun sakahawat bakula pura mangaśrayo marek, ndatan lingeni suṇdha lēn madhura pan satanahi jawa bhakti tan salah.
“Demikianlah segala penjuru menghadap Baginda Raja mohon perlindungan, Pahang, Melayu semuanya tunduk berdatang sembah, juga wilayah Gurun segenap wilayah Bakula Pura menghadap memohon belas kasihan, Sunda dan Madura jangan dikatakan lagi sebab seluruh tanah Jawa tunduk berbakti tiada ada yang alpa”.
Nāgarakṛtāgama Pupuh XLII: 2 (Riana, 2009: 212)
Berakhirnya era Kerajaan Singhasāri
Kematian Kěrtanāgara menandai berakhirnya era Kerajaan Singhasāri. Dengan demikian, program-program politik yang dicanangkannya berakhir pula. Daerah-daerah yang telah tunduk pada Singhasāri satu per satu melepaskan diri. Namun demikian, segala pencapaian yang telah diraih Kěrtanāgara rupa-rupanya telah memberikan inspirasi bagi penerusnya dalam menjalankan pemerintahan berikutnya.
Kerajaan Majapahit nampaknya mengadopsi konsep pemikiran Cakrawala Maṇḍala Dwīpāntara yang digagas oleh Kěrtanāgara. Pada awal terbentuknya Kerajaan Majapahit (1293 Masehi), kekuasaannya hanya meliputi daerah-daerah kerajaan lama Singhasāri yang meliputi sebagian timur Jawa. Prasasti Camunda yang berangka tahun 1332 Masehi menguraikan bahwa Tribhūwanottunggadewī telah menguasai seluruh dwipantara. Namun kiranya istilah tersebut dapat dipahami sebatas wilayah timur Jawa dan Pulau Madura saja, belum merujuk pada istilah Nusantara yang digagas oleh Gajah Mada pada 1334 Masehi (Mulyana, 1979:141–142).
Langkah Majapahit berikutnya adalah menjangkau pulau-pulau di luar Jawa, yakni Nusantara. Beberapa ahli mendefinisikan Nusantara sebagai pulau (nusa) yang berada di antara laut, namun Edi Sedyawati mendefinisikan nusa sebagai daerah-daerah yang berada di tepian laut (bukan merupakan pulau). Gagasan tersebut merupakan program politik Gajah Mada pada saat diangkat menjadi Patih Amungkubhumi mendampingi Ratu Tribhūwanottunggadewī. Ia bersumpah tidak akan amukti palapa sebelum dapat menundukkan Nusantara. Namun realisasi seutuhnya baru dapat terlaksana pada saat pemerintahan Hayam Wuruk yang merupakan puncak kebesaran Kerajaan Majapahit. Pada pertengahan abad ke-14 Masehi, Majapahit telah berhasil menguasai wilayah dalam jangkauan yang sangat luas, yakni meliputi Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Tanah Melayu, serta daerah-daerah di timur Jawa, seperti Bali, Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua (Mulyana, 1979:146).
Penutup
Kerajaan Singhasāri memiliki wawasan kemaritiman yang telah maju pada zamannya. Laut tidak lagi dipandang sebagai lingkungan alamiah semata yang mampu menghasilkan sumber pangan atau merupakan jalur transportasi dan perdagangan yang menghubungkan antar pulau, melainkan merupakan alat politik yang mampu mempersatukan beberapa wilayah kerajaan yang tersebar di berbagai pulau agar tunduk di bawah satu tampuk kepemimpinan (cakrawala maṇḍala dwīpāntara). Hegemoni kala itu bukan merupakan sistem pemerintahan terpusat yang berkuasa secara penuh mengendalikan jalannya pemerintahan kerajaan-kerajaan atau daerah-daerah yang ditakklukannya, melainkan hegemoni yang bersifat pengakuan atas kekuasaan Singhasāri. Tujuan utama hubungan diplomatik tersebut adalah untuk menggalang kekuatan politik sekaligus militer dalam menghadapi ancaman musuh dari daratan Cina.
Gagasan mengenai pemersatuan wilayah antar pulau diduga telah dipropagandakan sejak raja pertama Singhasāri berkuasa, namun bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan realisasi gagasan tersebut merujuk pada masa pemerintahan akhir Singhasāri di bawah kepemimpinan Kěrtanāgara. Pencapaian Kerajaan Singhasāri di bidang kemaritiman telah menorehkan prestasi yang amat membanggakan pada masanya. Bahkan riwayatnya tak luput dicatat di dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama yang digubah pada pemerintahan berikutnya. Kiranya wawasan kemaritiman yang bernuansa politik tersebut telah menginspirasi pemerintahan selanjutnya dalam upaya menaklukkan pulau-pulau dalam cakupan wilayah yang lebih luas, yakni Nusantara.
Saat ini, Nusantara merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Meskipun memiliki konteks yang berbeda di masa lalu dan masa kini, namun Nusantara dapat diartikan secara mudah sebagai pulau-pulau yang bersatu di dalam satu kesatuan. Betapa pencapaian-pencapaian yang telah diraih nenek moyang bangsa Indonesia berhasil memberikan inspirasi yang sungguh relevan di dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah telah meriwayatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim yang tangguh. Pengetahuan mengenai hal tersebut perlu diangkat ke permukaan dan dipropagandakan secara terus menerus agar masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, memahami perjalanan bangsa yang amat erat kaitannya dengan kemaritiman, sehingga dengan sendirinya jati diri sebagai bangsa maritim dapat terbentuk. Bangsa maritim sepatutnya adalah bangsa yang mampu memberdayakan potensi laut yang dimilikinya secara optimal, baik untuk tujuan politik, ekonomi, ataupun tujuan lainnya guna mendatangkan kemajuan dan kesejahteraan bagi segenap rakyatnya.
Literatur
Kriswanto, Agung. 2009. Pararaton Alih Aksara dan Terjemahan. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Mulyana, Slamet. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara.
Munandar, Agus Aris. 2016. Hitawasana: Studies on Indonesian Archaeology. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Riana, I Ketut. 2009. Nagara Krtagama. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Soemadio, Bambang, dkk. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno (Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka
Suleiman, Satyawati. 1981. Sculptures of Ancient Sumatra. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Utomo, Bambang Budi. 2016. Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatera. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Utomo, Wahyu Danang. 2007. “Politik Nusantara Gajah Mada: Persatuan Nusantara di Bawah Panji Majapahit”, dalam Desawarnana Buletin Arkeologi No. 4:38–40.
Sumber online
http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf. Diakses 1 Juli 2017.
https://maritim.go.id/pembukaan-rakornas-2017-indonesia-poros-maritim-dunia-dari-sumpah-palapa-hingga-nawacita. Diakses 1 Juli 2017.
[1] Makalah dipresentasikan pada Kongres IAAI dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV di Bogor, tanggal 24–27 Juli 2017.