Dari Kerajaan Aru ke Kesultanan Langkat
Masjid Azizi berkaitan dekat dengan Kesultanan Langkat, kerajaan Melayu bercorak Islam di pesisir Timur pulau Sumatera.
Sebelum menjadi kerajaan besar, Kesultanan Langkat berawal dari pelarian kerajaan yang kalah perang.
Kisahnya dimulai oleh Dewa Shahdan, petinggi dari kerajaan Aru yang dua kali dihancurkan oleh kerajaan Aceh.
Setelah kehancuran kerajaan Aru yang kedua kalinya tahun 1612, Dewa Sahdan melarikan diri ke Kota Rantang di daerah Hamparan Perak.
Di situlah ia kemudian mendirikan kerajaan baru yang kelak menjadi Kesultanan Langkat.
Nama Langkat diambil dari pohon yang buahnya seperti langsat, namun buahnya berukuran lebih besar.
Pohon itu dulunya banyak ditemukan di wilayah Hamparan Perak.
Ketika Dewa Shahdan wafat, kekuasaan berpindah tangan ke putranya, Dewa Sakdi.
Dewa Sakdi memimpin dari tahun 1580 sampai 1612, beliau meninggal akibat serangan kerajaan Aceh.
Tonggak kepemimpinan kerajaan diteruskan oleh putranya, Raja Kahar, dari tahun 1612 sampai 1673.
Raja Kahar inilah raja Kesultanan Langkat yang pertama kali menata sistem pemerintahan selayaknya sebuah kerajaan, walaupun wilayahnya belum begitu luas dan pusatnya belum menetap.
Kerajaan baru menetap dan berpusat di Tanjung Pura ketika dipimpin oleh Sultan Musa.
Kejelasan pusat kerajaan kemudian berdampak positif, wilayah kekuasaan Kesultanan Langkat pun kian meluas, dari wilayah Aceh Tamiang hingga Binjai dan Bahorok.
Amanah dari Sang Ayah
Masjid Azizi berada di tengah kota Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara.
Masjid yang mulai dibangun tahun 1899 itu didirikan atas usul Syekh Abdul Wahab Rokan (ayah dari Sultan Abdul Aziz) dan baru selesai ketika Sultan Abdul Aziz memimpin di tahun 1902.
Masjid berwarna kuning dan hijau itu diberi nama Azizi, mirip dengan nama pendirinya, Sultan Abdul Aziz.
Kemakmuran Kesultanan Langkat tercermin dari megahnya Masjid Azizi.
Masjid semegah itu biaya pembangunannya ditanggung seluruhnya oleh Sultan Aziz.
Beliau bahkan menolak bantuan sumbangan dari kerajaan-kerajaan lain karena pembangunan masjid itu adalah amanah dari almarhum ayahanda.
Diarsiteki bangsawan Jerman yang bernama GD Langereis, masjid itu dibangun dengan campur tangan warga lokal dan orang-orang Tionghoa.
Pembangunan Masjid Azizi tampaknya bersamaan dengan masa kejayaan Kesultanan Langkat.
Selain kaya akan sumber daya alam, letak kerajaan Langkat yang strategis sangat menunjang perekonomian kerajaan.
Salah satu kisah tentang kekayaan Kesultanan Langkat tercatat di tahun 1883 ketika menerima royalti besar dari produksi massal minyak bumi pertama oleh Royal Dutch.
Beberapa sungai di wilayah kekuasaan Langkat mempunyai peran penting, sebagai penghubung kerajaan Langkat dengan kerajaan lain di Negeri Jiran.
Interaksi Kesultanan Langkat dengan Kesultanan Kedah dan Kelantan terjadi di sana.
Sungai-sungai itu dulunya bertonase besar, dapat dilalui oleh kapal-kapal bermuatan cukup besar.
Sumber daya minyak bumi dari Pangkalan Brandan dikirimkan melalui sungai itu.
Material-material pembangunan masjid yang didatangkan dari Penang dan Singapura didatangkan lewat jalur itu.
Tak melulu urusan dagang, sungai itulah jalan yang mempertemukan Sultan Abdul Aziz dengan istri-istrinya.
Sultan Azizi memperistri tiga orang dari negeri yang berbeda: Deli, Kedah, dan Selangor.
Kemegahan Masjid Azizi
Arsitektur Masjid Azizi sangat berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia pada umumnya.
Kubahnya ada belasan, terbuat dari tembaga yang berwarna hitam.
Bangunan Cagar Budaya Nasional itu memiliki 22 kubah yang beragam tipenya: satu kubah induk, tiga kubah teras, empat kubah sudut, 14 kubah piramidal berukuran kecil.
Arsitekturnya diperkaya pilar-pilar tinggi dengan pelengkung di atasnya, seperti masjid-masjid di Timur Tengah.
Walaupun terkesan seperti masjid dari belahan bumi lain, nuansa Melayu masih sangat kental di masjid Azizi.
Bermodel Timur Tengah dengan sentuhan Melayu.
Selain catnya yang berwarna kuning dan hijau, beberapa sisi bangunan masjid dihias ornamen khas Melayu.
Pintu masuknya pun bermodel melayu, dua daun pintu persegi panjang.
Keindahan Masjid Azizi menjadi inspirasi Sultan Kedah ketika membangun Masjid Zahir di Alor Setar, Kedah Malaysia.
Sisi unik lain masjid berkapasitas 2000 orang itu ada pada menara setinggi 35 meter yang memiliki 120 anak tangga.
Menaranya tidak berangka tahun yang sama dengan bangunan masjid, dibangun tahun 1927 sebagai hadiah dan permintaan maaf pihak Deli My kepada Sultan Aziz karena tidak menghadiri peringatan hari ulang tahun ke-25 masa kekuasaan Sultan Abdul Aziz di Langkat.
Deli My adalah perusahaan milik Belanda, mereka tidak mau mengakhiri kerja sama dengan Sultan Azizi.
Saksi Bisu Revolusi Sosial Langkat
Masjid yang berada di jalur lintas timur yang menghubungkan provinsi Sumatera Utara dengan Aceh itu ternyata menyimpan cerita kelam.
Ketika berkobarnya Revolusi Sosial di Langkat tahun 1946, Masjid Azizi sempat digunakan sebagai tempat mengungsikan jenazah.
Banyak dari jenazah itu yang pada akhirnya dimakamkan di dalam kompleks seluas 18000m2 itu.
Sedianya makam di kompleks masjid hanya diperuntukkan bagi Sultan dan kerabat-kerabatnya.
Salah satu tokoh besar yang dimakamkan di sana adalah Amir Hamzah, pujangga bangsawan Kesultanan Langkat.
Pahlawan Nasional itu termasuk salah satu dari korban yang dikuburkan secara massal oleh simpatisan Revolusi Sosial.
Baca juga:
Di Antara Dua Wanita: Suhita dan Parwati