Menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak dengan masyarakat Bali
Taman Lingsar merupakan salah satu tinggalan Cagar Budaya dari abad XVIII yang terletak di Dusun Taman Lingsar, Desa Lingsar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Taman Lingsar pada awalnya bernama Pura Lingsar. Taman ini merupakan peninggalan masa pemerintahan Raja Ketut Angglurah Karangasem Singosari dan didirikan pada 1759. Taman Lingsar merupakan bukti kerukunan antarumat beragama.
Nama Pura Lingsar kemudian diganti menjadi Taman Lingsar setelah Raja Anak Agung Made Karangasem membangun kembali pura ini pada akhir abad XIX. Kala itu ia membangun dua bangunan tempat ibadah untuk dua agama yang berbeda, yaitu Pura Gaduh untuk pemeluk agama Hindu dan bangunan Kemaliq untuk masyarakat Sasak penganut agama Islam Waktu Telu. Pembangunan Taman Lingsar dimaksudkan untuk menyatukan secara batiniah masyarakat Sasak dengan masyarakat Bali.
Kemaliq tempat moksa soerang penyiar agama Islam
Sebelum Pura Lingsar didirikan, masyarakat Sasak telah melakukan pemujaan terhadap sumber mata air yang ada di area tersebut. Masyarakat Sasak menyebut mata air ini dengan nama kemaliq. Kata kemaliq berasal dari kata maliq yang dalam Bahasa Sasak berarti keramat atau suci. Kemaliq dikeramatkan oleh masyarakat Sasak karena diyakini sebagai tempat hilangnya (moksa) seorang penyiar Agama Islam Waktu Telu yang bernama Raden Mas Sumilir dari Kerajaan Medayin.
Secara umum Taman Lingsar dibagi menjadi empat halaman, yaitu Jaba Nista, Jaba Mandala, Jaba Utama, dan Bencingah. Masing-masing halaman memiliki peran serta fungsi yang saling melengkapi, dengan halaman yang paling suci terletak di Jaba Utama, tempat Pura Gaduh serta Kemaliq berada.
Jaba Utama dikelilingi oleh dinding bata yang memisahkannya dengan area lain di Taman Lingsar. Secara umum ada tiga area di Jaba Utama yang masing-masing dipisahkan oleh dinding bata, yaitu area Pura Gaduh, Kemaliq, serta Pesiraman. Pura Gaduh merupakan tempat sembahyang bagi umat Hindu, di dalam area Kemaliq terdapat mata air atau Aik Mual yang dikeramatkan oleh masyarakat Sasak, sedangkan Pesiraman berfungsi sebagai tempat untuk wudu atau mandi dengan tujuan melukat (membersihkan diri) sebelum melakukan ibadah, baik ibadah ke Pura Gaduh maupun ke Kemaliq.
Tempat beribadah pemeluk Hindu dan Islam
Hingga saat ini Taman Lingsar dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan rekreasi serta beribadah, baik oleh pemeluk Hindu maupun Islam. Meski berbeda keyakinan, namun kedua umat agama tersebut hidup berdampingan dengan rukun. Setiap pemeluk saling menghormati satu sama lain, bahkan ada tradisi Perang Topat yang melibatkan pemeluk Hindu dan Islam yang dilaksanakan setiap tahunnya di Pura Lingsar. Perang Topat dilaksanakan dengan cara membagi kedua umat menjadi dua kubu sesuai kepercayaan masing-masing. Kedua kubu yang sudah dibentuk tersebut kemudian saling melempar ketupat kepada masing-masing pihak. Perang Topat telah dilaksanakan secara turun temurun dan dimaksudkan sebagai simbol kerukunan antar umat beragama. Ketupat-ketupat yang telah dilempar tersebut pada akhirnya menjadi rebutan masyarakat karena dipercaya dapat memberikan kesuburan pada sawah serta ladang penduduk. (Ninik Setrawati-Subdit Registrasi Nasional)
Baca juga:
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/makam-dan-nisan-kubur/