Pada Kamis, 8 Desember 2022, Direktorat Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyelenggarakan kegiatan “Bincang Santai WBTb Indonesia Menuju ICH” dengan tema Diplomasi Indonesia Menuju Konvensi UNESCO 2003: Pelindungan Warisan Budaya Takbenda. Kegiatan yang dilaksanakan di Gedung A Kompleks Kemdikbudristek tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Anugerah Kebudayaan Indonesia Tahun 2022.
Acara bincang santai ini menghadirkan beberapa narasumber dari berbagai latar belakang berbeda untuk membahas Warisan Budaya Takbenda serta pengusulannya dari berbagai sisi. Para pembicara tersebut di antaranya adalah Dr. Miranda Risang Ayu Palar (Pakar Hukum Kekayaan Intelektual dan Kekayaan Budaya), Penny Dewi Herasati (Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang, Kementerian Luar Negeri), Prof. Ismunandar (Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO), Dr. Bondan Kanumoyoso, S.S., M.Hum. (Pakar Sejarah, Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), dan Irini Dewi Wanti (Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Kemdikbudristek). Kegiatan dalam format diskusi panel ini dimoderatori oleh Basuki Teguh Yuwono, S.Sn., M.Sn. (Tim Ahli Warisan Budaya Takbenda).
Kegiatan bincang santai ini juga diselenggarakan sebagai respon atas meningkatnya kepedulian masyarakat dan komunitas terhadap Warisan Budaya Takbenda. Hal ini disampaikan oleh Judi Wahjudin, Direktur Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan dalam sambutannya siang tadi.
“Kita harus mengapresiasi dan bersyukur bahwa perhatian masyarakat dan pemangku kepentingan terkait dengan pengusulan dan penominasian WBTb begitu marak. Sebelum-sebelumnya sedikit sekali orang yang mengkritisi, mengusulkan, dan merasa hal ini penting.”
Kebudayaan memiliki peran penting dalam diplomasi Indonesia. Konvensi UNESCO Tahun 2003 mengenai Perlindungan Warisan Budaya Takbenda memandang warisan budaya takbenda sebagai warisan hidup (living heritage) yang mampu menjadi kekuatan pendorong bagi dialog antarbudaya sebagai pendekatan alternatif dalam mewujudkan tantangan global seperti pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sesungguhnya pendaftaran warisan ICH UNESCO adalah bukan tentang pengakuan kepemilikan atau klaim terhadap asal-usul suatu WBTb.
“Sudah ada pemahaman-pemahaman yang tumbuh bahwa penetapan WBTb atau ICH ini tidak terkait klaim atau paten serta asal-usul, melainkan ini adalah sebuah usaha bersama agar keberlangsungannya bisa tetap lestari dan bermanfaat. Jika kita lihat, kebudayaan ini sangat cair. Batas administratif seperti batas negara terkadang bias dalam bahasa kebudayaan, sehingga banyak produk budaya yang lintas batas. Ini sesuai dengan semangat UNESCO di mana pengusulan-pengusulan didorong untuk berkolaborasi,” ucap Judi.
Hingga kurun waktu 2022, terhitung sebanyak 11.156 karya budaya telah dicatat di dalam daftar warisan budaya takbenda. Dari keseluruhan jumlah tersebut, terhitung 1.728 karya budaya telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Pada tahun 2022 ini sendiri ada sejumlah 200 warisan budaya yang ditetapkan sebagai WBTb Indonesia. Data tersebut menunjukkan bahwa tidak seluruh warisan budaya yang dicatatkan atau diusulkan dapat ditetapkan sebagai WBTb Indonesia. Hal ini berkaitan dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam rangka pengusulan penetapan WBTb Indonesia, salah satunya terkait kelengkapan dan verifikasi data.
“Belum tentu data yang diusulkan kepada Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat yang mengampu tugas-tugas penetapan WBTb itu sudah lengkap, sudah terverifikasi dengan benar,” ungkap Irini Dewi Wanti, Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan. Beliau menegaskan bahwa pengetahuan mengenai proses pendataan ini harus lebih dulu dipahami sebelum berbicara lebih jauh tentang ICH UNESCO.
Melalui kegiatan ini diharapkan masyarakat bisa lebih memahami seluk-beluk penetapan WBTb di Indonesia hingga penetapan warisan budaya sebagai ICH UNESCO. Tentunya poin penting yang banyak ditekankan dalam acara ini adalah terkait shared heritage yang ada di masyarakat Asia, terutama Asia Tenggara, bahwasanya kebudayaan merupakan softpower yang mampu menyatukan banyak orang bahkan bangsa. Hal ini tentu akan berhubungan dengan kekuatan diplomasi Indonesia di luar negeri, yang pada akhirnya dapat memperkokoh posisi Indonesia di mata dunia sebagai negara adidaya budaya.
Kontributor : Urusan Dokumentasi dan Publikasi Direktorat Pelindungan Kebudayaan