Dewasa ini, ramai dibahas masalah potensi tsunami di Jawa bagian selatan. Salah satu faktor yang membuat tsunami bisa terjadi adalah gempa bumi. Djauhari Noor dalam Pengantar Mitigasi Bencana Geologi menyebut jika daerah selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara merupakan tempat pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Pergerakan kedua lempeng tersebut membuat gempa bumi yang kadang disusul dengan tsunami bisa terjadi.
Di masa lalu, gempa bumi atau tsunami sering dikaitkan dengan kepercayaan tertentu. Misalnya, ada kepercayaan tentang mitos Nyi Roro Kidul yang dikaitkan dengan tsunami. Kemudian, ada legenda gergasi yang menghancukan Barus yang juga dikaitkan dengan tsunami, dan juga marahnya dewa kepercayaan suku Lamalot di Solor Lera wulan tana ekan yang dikaitkan dengan gempa bumi.
Salah satu gempa yang mengguncang Solor terjadi pada 2 Februari 1648. R.H. Barnes dalam Avarice and Inquity at the Solor Fort (1987) menyatakan bahwa orang-orang di Solor percaya gempa terjadi karena berkaitan dengan keberadaan Lera wulan tana ekan. Masyarakat sekitar mempercayai jika Lera wulan tana ekan merupakan dewa yang membawa bumi. Lera wulan tana ekan menempatkan bumi di bahunya. Jika bumi bergerak, hal tersebut menandakan Lera wulan tana ekan sedang menggeser bahunya. Ada pula yang percaya jika Lera wulan tana ekan tidak hanya asal bergerak. Lera wulan tana ekan bergerak dengan sengaja untuk menghukum orang-orang yang telah berbuat kesalahan. Selain Lera wulan tana ekan, R.H. Barnes juga menambahkan kepercayaan tentang ular besar yang berada di perut bumi telah terganggu lalu mulai bergerak. Gerakan dari ular besar itulah yang menyebabkan Pulau Solor yang berada di atasnya bergoyang dengan keras.
Dalam Die Erdbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857 karya Arthur Wichmann atau yang lebih dikenal dengan Katalog Wichmann (1918), gempa terasa hingga Larantuka dan Pulau Timor. Gempa meninggalkan kerusakan di daerah Solor. Salah satu bangunan yang terkena dampak dari gempa tersebut adalah Benteng Lohayong atau Henricus yang dibangun oleh VOC. Dinding-dinding benteng runtuh. Meriam-meriam yang ada di benteng pun terlempar dari tempatnya. Gempa ini juga memakan korban jiwa empat orang Belanda termasuk anak dari komandan benteng, Hendrik ter Horst. Dari Katalog Wichmann juga diketahui jika gempa susulan masih sering terjadi di Solor seperti yang terjadi pada 24 Mei 1648. Gempa susulan ini membuat usaha VOC untuk memperbaiki Benteng Lohayong menjadi pekerjaan yang sia-sia. Oleh karena itu VOC akhirnya meninggalkan Solor dan reruntuhan Benteng Lohayong.
Keberadaan Benteng Lohayong tidak terlepas dari maraknya aktivitas perdagangan di Pulau Solor. Solor merupakan bandar penting di sekitar Laut Sawu karena terletak di persimpangan jalan menuju Maluku dan Nusa Tenggara Timur bagian selatan. Di Solor, kapal-kapal biasa berlabuh untuk menunggu musim yang sesuai untuk melanjutkan pelayaran, seperti yang tertulis dalam Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur (1978). Di sekitar Solor juga terdapat bandar lain yang terletak di Pulau Timor yang berada di tenggara Pulau Solor. Di masa lalu, bandar ini sudah disinggahi oleh pedagang asal Portugis, Belanda, dan daerah lain.
Pedagang-pedagang tersebut tidak diperkenankan untuk membangun pemukiman tetap di Pulau Timor karena dilarang oleh raja-raja yang menguasai Pulau Timor tulis Didik Pradjoko dan Friska Indah Kartika dalam Pelayaran dan Perdagangan Kawasan Laut Sawu Abad ke 18 – Awal Abad ke-20 (2014). Portugis lalu mencari daerah lain di sekitar Pulau Timor untuk membangun pemukiman. Pada tahun 1566, Portugis membangun pemukiman, gudang untuk menyimpan kayu cendana dari Pulau Timor, dan benteng sederhana.
20 Maret 1602 Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC didirikan dan berusaha untuk menguasai beberapa pulau di Nusantara. Salah satu yang dituju adalah Pulau Solor karena letaknya dekat dengan Pulau Timor. VOC pertama kali menyerang Solor di tahun 1613. Penyerangan ini dipimpin oleh Kapten Apollonius Schotte, tulis Ian Burnett dalam East Indies (2013). VOC akhirnya bisa menguasai Solor.
Untuk memperkuat pertahanannya di Solor, VOC membangun ulang dan memperkuat benteng yang sebelumnya sudah dibangun Portugis. Dikutip dari Inventory and Identification Forts in Indonesia, benteng ini mempunyai empat bastion dengan dua pintu masuk. Benteng yang dibangun oleh van Raemburch ini kemudian dikenal dengan nama Benteng Henricus atau Lohayong. Dikutip dari https://www.atlasofmutualheritage.nl/ benteng ini berbentuk bujur sangkar dan dapat menampung 23 tentara Eropa, 80 penduduk Solor, dan 17 orang Cina.
VOC nyatanya masih kalah bersaing dengan Portugis di Kawasan Laut Sawu seperti yang dijelaskan oleh Didik Pradjoko dalam makalahnya, Perebutan Pulau dan Laut: Portugis, Belanda, Kekuatan Pribumi di Laut Sawu Abad XVII-XIX yang disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII pada 2006. Akhirnya, pada 1629 Solor ditinggalkan oleh VOC. Solor yang ditinggalkan oleh VOC kemudian kembali dikuasai oleh Portugis. Akan tetapi, pada 1649 VOC kembali menyerang Solor dan kembali menguasai pulau tersebut. Meskipun kembali berhasil menguasai Pulau Solor, VOC lagi-lagi harus meninggalkan pulau itu. Dua tahun menguasai Solor, VOC harus kembali angkat kaki karena dampak gempa bumi yang tejadi pada 2 Februari 1648 yang menghancurkan sebagian benteng.