Sejarah dan Peran pada Masa Perjuangan

Pembangunan Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta atau biasa disebut Gereja Katolik Pugeran didasari oleh semakin banyaknya umat Katolik di Yogyakarta. Pada awalnya hanya ada satu gereja Katolik pada masa itu, Gereja Santo Fransiscus Xaverius atau Gereja Kidul Loji. Agama Katolik yang pada awalnya hanya dipeluk oleh orang-orang Belanda kemudian berkembang pesat jumlah pemeluknya, banyak orang-orang pribumi yang kemudian menganut agama Katolik. Dianggap sudah tidak cukup untuk menampung sekian banyak umat, dibangunlah gereja-gereja baru, Gereja Katolik Pugeran adalah salah satunya. Gereja yang dirancang oleh arsitek Belanda J. TH van Oyen ini diresmikan pada tahun 1934. Pembangunannya dimulai pada tahun 1933 dan diawasi oleh Pastor A de Kuyper, SJ.

Peran Gereja Pugeran sangat kental untuk pejuang sekitar pada masa perang kemerdekaan. Pada tahun 1948 sampai 1949, dalam masa bakti Rama A. Sandiwan Brata, Pr, gereja digunakan sebagai tempat pengungsian. Kompleks gereja digunakan sebagai dapur umum dan pos Palang Merah Indonesia. Kawasan gereja juga digunakan sebagai tempat penghubung rahasia antara para pejuang gerilyawan perang kemerdekaan RI yang bergerak di dalam dan di luar kota Yogyakarta. Untuk mengenang perjuangan dan peranan gereja pada masa itu, dibangunlah Monumen Perjuangan di depan gereja, diresmikan pada 29 Juli 1984.

Akulturasi

Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran dibangun dengan “mengawinkan” corak arsitektur tradisional Jawa dan Eropa. Atap gereja yang berbentuk tajug dan bersusun tiga disatukan dengan struktur dinding tembok tebal dan konstruksi rangka baja model Belanda. Bentuk tajug menggambarkan konsep vertikal, lambang keabadian Tuhan. Tak hanya di bagian atapnya, lingkungan sekitar gereja bercorak kebudayaan Jawa, diibaratkan sebagai kelengkapan penutup kepala tradisional Jawa atau blangkon.

Salib di bagian atas gereja disangga oleh empat saka guru di tengah ruangan. Keempat tiang penyangga tersebut diinterpretasikan sebagai empat rasul, yaitu Santo Matheus, Santo Markus, Santo Yohanes, dan Santo Lukas. Pada saat peresmiannya, Romo A. Djajaseputra menyebutkan bahwa empat saka guru tersebut juga menggambarkan empat sikap kejawen, yaitu gotong royong, saling menghormati, saling mengingatkan atau memaafkan, dan rasa manunggal. Keempat sikap tersebut meneguhkan kata-kata Salus Vestra Ego Sum di atas dinding altar yang berarti Akulah Keselamatanmu.

Inkulturasi

Inkulturasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pengamalan Kristiani dalam suatu lingkungan budaya dengan menghormati budaya setempat. Usaha gereja dalam proses inkulturasi dilakukan dengan memperbaharui upacara keagamaan di lingkungan gereja. Umat menjalankan keimanannya dalam persepsi kebudayaanya, gereja lebih membuka diri dan menerima unsur-unsur kebudayaan setempat yang dianggap tidak bertentangan dengan ajaran Katolik. Inkulturasi membuat umat tidak merasa terasing karena tata ibadah yang sesuai dengan kebudayaannya. Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran dianggap menjadi pelopor ibadah dengan nuansa kearifan lokal di Yogyakarta.

Inkulturasi Gereja Katolik di Jawa sudah terjadi sejak kedatangannya. Tak hanya pada fisik bangunan gereja, inkulturasi dijalankan dengan penggunaan Bahasa Jawa pada doa dan khotbah. Paduan suara diperkaya dengan iringan gending Jawa. Pada tahun 1965, Gamelan Jawa pun digunakan sebagai pengiring. Penggunaan gamelan diprakarsai oleh Romo E. Hardjawardoyo Pr untuk menciptakan gereja yang memiliki kepribadian Indonesia, bersifat tradisional Jawa. Beberapa hari peringatan seperti pergantian tahun Jawa turut dirayakan. Hari-hari besar dirayakan dengan nuansa Jawa, didukung dengan para pelayan ibadah yang menggunakan busana Jawa. Ciri khas tradisional Jawa ini pun masih dipertahankan hingga saat ini.

Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran sudah diangkat statusnya menjadi Cagar Budaya Nasional dengan nomor registrasi RNCB.20111017.02.000266.

Sumber:

Suharini, Sri. 2009. “Akulturasi dan Inkulturasi Budaya di Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta” dalam Bulletin Narasimha No.02/I/2009: 41-45. Yogyakarta: BP3 Yogyakarta.

Baca juga:

Gereja Tua Asei

Gereja Bethel, Cagar Budaya di Kota Gurindam

Masjid Istiqlal dan Gereja Sion Direkomendasikan sebagai Cagar Budaya Nasional