Aneksasi dalam Carita Parahiyangan
Dalam Carita Parahiyangan diungkapkan bahwa setelah membangun kembali kerajaannya, Sanjaya raja Medang menganeksasi Melayu, Kemir, Keling, Cina, dan Kahuripan. Setelah aneksasi tersebut, sumber Arab yang ditulis oleh Sulayman dalam perjalanannya ke India dan Cina pada 851, menyebutkan bahwa Sribuza (Sriwijaya), Ramni (daerah di Sumatera), dan Kalah (Semenanjung Malaka) sebagai daerah Jawa (Medang).
Informasi ini menunjukkan bahwa sebelum Majapahit di Jawa ada kerajaan besar lain, yaitu Medang. Informasi adanya aneksasi atas Sriwijaya juga diperkuat dengan berita Cina masa Dinasti Tang yang menyatakan bahwa Sriwijaya mengirim utusan ke Cina pada 670–673, 713–741, dan utusan terakhir pada 742. Sejak itu tidak ada lagi utusan Sriwijaya yang datang (Nugroho, 2010:31–33).
Aneksasi-aneksasi yang dilakukan Raja Sanjaya adalah upaya untuk menguasai lima zona komersial di Asia Tenggara. Aneksasi atas Keling (India) merupakan bentuk penguasaan zona Teluk Benggala. Aneksasi atas Melayu merupakan bentuk penguasaan zona Selat Malaka. Aneksasi atas Kemir (Khmer) dan Cina merupakan bentuk penguasaan zona Laut Cina Selatan. Aneksasi atas Kalimantan merupakan bentuk penguasaan zona Sulu, dan aneksasi atas Kahuripan merupakan bentuk penguasaan zona Laut Jawa. Sementara itu dua zona lain, yaitu Laut Arab dan Laut Merah telah dikuasai kerajaan pendahulunya yaitu Kaling (Nugroho, 2010:33–34).
Menguasai jalur-jalur perdagangan laut akan menguasai perekonomian dunia
Melalui data filologi di atas Nugroho dapat mengungkapkan bahwa tradisi maritim sebenarnya sudah lama dianut oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara, tidak saja oleh Sriwijaya dan Majapahit, melainkan juga kerajaan-kerajaan Jawa pra Majapahit, yaitu Kaling, Medang (Mataram), Kahuripan, Kadiri, dan Singasari. Mereka menyadari bahwa dengan menguasai jalur-jalur perdagangan laut akan menguasai perekonomian dunia pada masa itu.
Namun apakah data filologi yang menyatakan kehebatan armada laut Jawa, khususnya pada masa Mataram Kuna, juga didukung oleh data arkeologi. Memang belum banyak penelitian arkeologi yang membahas tentang kemaritiman masa Mataram Kuna karena adanya anggapan bahwa kerajaan itu bersifat agraris. Maka menjadi menarik apa yang telah diungkap Nugroho tersebut, sekaligus menyadarkan dan menjadi tantangan para arkeolog untuk mengungkap kemaritiman masa Mataram Kuna.
Sebagai kerajaan besar yang mampu bertahan hingga rentang waktu 300 tahun, mustahil kalau Mataram Kuna tidak memiliki armada laut yang kuat. Sementara yang dihadapi tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa saja tetapi lebih banyak musuh dari luar Jawa. Armada laut itu tidak hanya untuk berperang menghadapi musuh, tetapi juga untuk berdagang dengan kerajaan-kerajaan atau bangsa-bangsa lain, seperti Arab, India, Cina, Sriwijaya, Malaka, dan lain-lain.
Data arkeologi memang mempunyai keterbatasan. Sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk dapat mengungkap jumlah armada perahu yang dimiliki oleh Jawa khususnya Mataram Kuna. Sebagaimana dinyatakan dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai maupun informasi Arab. Namun informasi dari data filologi maupun data sejarah lainnya dapat membantu penelusuran tinggalan masa lalu melalui penelitian arkeologi. Misalnya jika ada informasi mengenai pelabuhan-pelabuhan kuna di suatu tempat tentunya bisa ditelusuri kebenarannya melalui penelitian arkeologi. Informasi mengenai bentuk dan ukuran perahu tentu bisa untuk perbandingan dengan temuan-temuan perahu yang sudah ada.
Baca selengkapnya di sini