Kaleidoskop Presiden Republik Indonesia-Museum Kepresidenan “Balai Kirti”
Ketidakyakinannya pada partai-partai politik yang tidak saling cocok, membuat kegamangan politik bagi Sukarno di tanah air. Pada 1956 sering disebut sebagai titik balik sikap Sukarno untuk menunjukkan pemikiran baru untuk menentukan apa yang harus dibuatnya. Pada peringatan hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1956 pidatonya cukup menarik. Antara lain memunculkan gagasannya untuk “mengubur partai-partai politik”. Secara tersirat dikatakannya demokrasi macam itu adalah demokrasi liberal.
Menurut Sukarno sistem kepartaian telah menggagalkan cita-cita Bangsa Indonesia, dan keinginannya untuk perubahan adalah reaksi sungguh-sungguh bagi kemajuan rakyat. Dalam pidatonya dimuka Persatuan Guru Republik Indonesia pada Oktober 1956 adalah kali pertama disinggung niatnya untuk memunculkan Demokrasi Terpimpin. Menurut Sukarno Demokrasi Terpimpin bukan faham diktator, tapi demokrasi dengan pimpinan, seperti keluarga. Penyelengaraannya bukan setem-seteman atau mengikuti suara terbanyak, tetapi dengan musyawarah. Sejalan dengan ini diusulkannya dua soal, yaitu pembentukan kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional. Keadaan politik dalam negeri yang dipantau pada akhir 1956 ini cukup serius. Akhirnya atas usul berbagai pihak pada awal 1957 diadakanlah Musyawarah Besar Nasional (MBN). Salah satu tujuan MBN ini adalah memadukan kembali Dwi Tunggal Soekarno Hatta. Seperti diketahui Bung Hatta mengundurkan diri pada 1 Desember 1956.
Tim Storyline Museum Kepresidenan “Balai Kirti” Bogor