Langgam aneka budaya berpadu di dalam masjid
Pagi terbentang, matahari sejengkal di atas kepala, disemarakkan dengan warna-warna cerah gapura Masjid Jami’ Sumenep. Masjid tua nan bersejarah ini terletak di tengah Kabupaten Sumenep. Jika anda berasal dari Surabaya, bisa menggunakan bus Patas maupun Akas. Dari terminal Bungurasih langsung ke Sumenep dan bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek atau becak hingga ke Masjid Jami’ Sumenep.
Memandangi Gapura Masjid Jami’ Sumenep, terlihat bangunan yang cantik, megah, dan eyecathcing. Terlintas dalam benak tentang bangunan-bangunan pra-islam, bangunan kolonial, hingga warna-warna klasik dari Negeri China. Ternyata, semua bentuk kebudayaan itu memang sengaja dileburkan oleh Louw Phia Ngo, seorang arsitek dari Negeri China yang ditunjuk oleh Panembahan Sumala untuk merancang masjid ini.
Berjalan ke dalam masjid, terasa keteduhan khas bangunan keagamaan pada masa lalu. Di dalamnya mengandung energi besar dan kedamaian sekaligus. Pilar-pilar besar khas bangunan Eropa terlihat. Berbeda dari itu, aksen China klasik pada mihrab beserta bagian paimaman dan patimbaran di kiri dan kanannya menjadi kontras di tengah pilar-pilar Eropa. Tempat iman dan tempat berkhutbah itu berukir khas Jawa dan Madura berpadu dengan langgam China. Melahirkan bentuk yang indah dengan ornamen teratai berwarna merah dan emas. Piring-piring keramik Klasik China berwarna biru khas masa dinasti Ming berjajar di sisi-sisinya.
Sungguh perpaduan budaya yang menakjubkan!
Pesan Para Pendiri
Panembahan Sumala yang juga dikenal Panembahan Natakusuma membangun Masjid Jami’ Sumenep pada 1785 hingga 1791 Masehi. Ia mewakafkan masjid ini kepada seluruh Umat Islam. Tidak hanya diperuntukan bagi keluarga kerajaan. Akan tetapi seluruh masyarakat dapat melakukan ibadah di dalamnya.
Secara langsung, pendiri masjid berpesan untuk menjaga kelestarian masjid. Pada saat itu ia meminta sekretaris kerajaan untuk membuat prasasti yang berisi kewajiban bagi penguasa dan pengurus masjid untuk menjaga kelestarian masjid, dan tidak merusak serta menjual masjid tersebut. Prasasti yang berisi pesan tersebut kini dapat dijumpai di dinding luar bagian utama masjid sebelah selatan.
Dongeng Kesialan menjadi Penjaga Kelestarian Masjid
Pesan pendiri Masjid sangat dipegang teguh oleh pengurus masjid dan masyarakat di Sumenep. Hingga kini, sesuatu yang dianggap dapat merusak masjid adalah sangat tabu dilakukan. Cerita turun temurun mengenai hukuman yang didapat bagi orang merusak masjid, menjadi kunci penjaga kelestarian masjid. Menariknya, menurut cerita setempat, upaya apapun yang dilakukan untuk merusak masjid selalu berakhir dengan kesialan.
Memugar masjid dengan alasan modernisasi adalah tabu. Pernah terjadi suatu peritiwa yang melanggar pesan pendiri masjid Sumenep. Sebagian pagar masjid dan keraton diganti dengan pagar besi. Namun apa yang terjadi. Tak lama berselang setelah pekerjaan tersebut selesai, orang yang mengubah pagar kedua bangunan bersejarah itu tiba-tiba meninggal.
Suatu hari, satu pedang yang biasa tergantung di atas mihrab tak lagi di tempatnya. Tampaknya pedang dengan bilah melengkung itu diambil oleh pencuri. Tepat setelah satu tahun, pedang tersebut dikembalikan oleh si pencuri kepada pengurus masjid. Diceritakan bahwa selama satu tahun berlalu, sang pencuri merasa gelisah. Bahkan membuatnya dirinya melarikan diri ke berbagai pulau di Indonesia. Sementara pedang itu ia tinggal di rumahnya. Meskipun tak lagi menyimpan pedang yang ia curi, mimpi buruk hampir setiap malam ia alami. Penderitaan ini membuat si pencuri akhirnya menyerahkan diri kepada pengurus masjid dan kepolisian. Ia dengan sukarela mempertanggungjawabkan kesalahannya agar terlepas dari kutukan mimpi buruk yang menghantuinya.
Warisan yang berharga yang harus terjaga
Menjaga pesan pendiri masjid dan kepercayaan pada kutukan yang ditimpakan bagi siapa saja yang melanggarnya, menjadi spirit bagi para nadir dan masyarakat setempat. Menjadi kunci kelestarian Masjid Jami’ Sumenep hingga kini. Kita pun masih dapat melihat atap tumpangnya yang kehijauan. Gapura bagian depan pun masih sama seperti kali pertama dibangun. Seolah menjadi trademark Masjid Jami’ Sumenep.
Tata ruang Masjid Jami’ Sumenep masih seperti dahulu. Hanya ada beberapa bangunan penunjang untuk pengurus masjid. Ada juga bangunan yang dahulu pernah digunakan sebagai kantor pemerintahan. Salah satunya tempat persidangan, yang kini bisa difungsikan sebagai tempat bermalam jamaah perempuan.
Perawatan Masjid Jami’ Sumenep memang menggunakan kaidah-kaidah fiqih yang terdapat pada kitab Fiqih Fi Bugyatilmustarsyidin. Di dalam kitab fiqih itu disebutkan bahwa boleh menambahkan bangunan utama masjid untuk keperluan umat, namun dengan seizin Nadir atau Pewaris. Nadir Masjid Jami’ Sumenep telah membentengi diri dengan kepatuhan pada pesan Pangeran Natakusuma untuk memelihara kelestarian masjid dari pencemaran, pengerusakan, penjualan, dan pewarisan.
Pemeliharaan Masjid Jami’ Sumenep mengajarkan kita bahwa prinsip-prinsip pada masa lalu ternyata masih relevan untuk dijalankan. Asalkan dengan hati yang lurus dan niat yang baik bagi kemaslahatan umat. Seperti para nadir masjidnya yang bekerja sukarela.
Pesan Pangeran Natakusuma
“ Masjid ini adalah Baitullah, bersabda Pangeran Natakusuma, penguasa wilayah Sumenep: sesungguhnya wasiatku kepada wali atau raja atau penguasa dan pada orang akan mau menegakkan kebajikan, jika terdapat pada masjid itu sesudahku pencemaran, (maka) luruskanlah, karena sesungguhnya masjid itu adalah wakaf tidak diwariskan, tidak dijual, dan jangan dirusak.” (Sinta Debeturu)
Baca juga
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditpcbm/keraton-sumenep/