Mengenal Kehidupan Budaya Maritim Nusantara melalui Kajian Peninggalan Bawah Airnya

0
28982
Keramik yang ditemukan pada saat survei bawah air di Perairan Natuna.
Keramik yang ditemukan pada saat survei bawah air di Perairan Natuna.

Oleh: Lucas Partanda Koestoro

(IAAI Komda Aceh – Sumatera Utara)

Membangun kekuatan Maritim yang kuat

Tekad pemerintahan Indonesia saat ini adalah membangun kekuatan maritim yang kuat. Ini karena adanya kesadaran bahwa geografis Indonesia sebagian besar berupa laut dengan segala potensi dan permasalahannya. Bahwa selama ini potensi kemaritiman seakan disepelekan dan tidak dimanfaatkan dengan baik. Hal itu disebabkan visi pemimpin Indonesia selama ini lebih fokus ke daratan sehingga kebijakan, dukungan anggaran, dan politik di sektor kemaritiman terabaikan. Wilayah dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 pulau ini juga diwarnai keindahan alam, serta kekayaan hayati yang melimpah. Ini memerlihatkan bahwa sektor kemaritiman memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Bahkan melimpah, dan bila dioptimalkan pemanfaatannya akan menghasilkan pendapatan besar. Menjadi kekuatan ekonomi yang mampu menjadikan bangsa Indonesia lebih kuat.

Arah pembangunan maritim dalam Nawacita Presiden Jokowi adalah mengembangkan semua potensi kemaritiman melalui pengembangan kapasitas ilmu pengetahuan dan teknologi serta sumber daya alam dan manusia untuk mengembalikan kedaulatan maritim Indonesia. Oleh karena itu permerintah Indonesia saat ini tengah berfokus melakukan program-program di bidang kemaritiman. Visinya adalah mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional. Keterlibatan berbagai sektor di pemerintahan, swasta, maupun partisipasi masyarakat harus lebih ditingkatkan.

Arkeologi mendukung tekad itu

Terkait dengan hal tersebut, arkeologi sebagai cabang ilmu pengetahuan juga harus mampu mendukung tekad pemerintahan Indonesia dalam membangun kekuatan maritim yang kuat. Itu dimulai dengan upaya pengenalan jati diri masyarakat Indonesia. Harus dimengerti bahwa upaya memahami jati diri berkaitan dengan aspek kebudayaannya. Perekonstruksian sejarah budaya sejak masa prasejarah sampai masa kolonial dan pengaruh budaya modern yang berlangsung di Nusantara sangat diperlukan. Peninggalan yang ada akan memberikan gambaran kebudayaan yang telah dan masih berlangsung, sekaligus merupakan potensi dalam upaya pengembangannya bagi berbagai kepentingan. Perekonstruksian dilakukan juga dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang kebudayaan bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dalam konteks arkeologi pula kita diingatkan bahwa ruang jelajah manusia sejak dahulu hingga saat ini bukan hanya wilayah daratan saja. Hal itu di sebabkan sebagian besar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru merupakan wilayah perairan dan bukan wilayah daratan. Adapun kegiatan manusia di wilayah perairan ini dapat di pelajari dari data sejarah. Tidak terbatas hanya tentang hubungan antar permukiman pantai atau sungai melainkan juga hubungan antar pulau, regional maupun international, baik dalam hubungan perniagaan, sosial, dan politik.

Arkeologi tak membatasi hanya prasejarah

Objek kaji dalam arkeologi adalah peninggalan-peninggalan kebudayaan masa silam yang tidak berupa keterangan-keterangan tertulis. Dalam kaitannya dengan hal tersebut arkeologi dapat disebut membatasi diri pada zaman prasejarah, namun dari zaman sejarah kuna juga banyak peninggalan yang tidak berupa keterangan tertulis yang menjadi bukti penting dari kebesaran satu kebudayaan. Demikianlah dapat dikatakan bahwa arkeologi di Indonesia tidak bergerak di bidang prasejarah semata melainkan juga di bidang sejarah kuna. Ini juga dapat diartikan bahwa yang condong ke antropologi budaya akan mengutamakan prasejarah sedangkan yang bertahan pada sejarah akan memusatkan perhatian pada sejarah kuna. Dalam perjalanannya, dari kacamata hukum di Indonesia, benda cagar budaya—bagian dari objek kaji arkeologis—adalah benda purbakala yang telah memiliki umur lebih dari 50 tahun.

Kumpulan sisa sarana dan limbah kegiatan di wilayah perairan itu adalah peninggalan bawah air yang merupakan salah satu bentuk objek arkeologi yang amat penting untuk mengungkapkan kehidupan masa lampau manusia. Tidak saja dapat dianggap sebagai peninggalan yang mengandung banyak informasi tentang tata cara hidup manusia, objek dimaksud juga harus dilihat sebagai bukti pencapaian cipta karsa, rasa, dan karya manusia di masa lampau. Oleh karena itu data ini dipandang amat berpotensi dalam mengungkapkan kembali aspek perilaku (behavior) maupun khasanah pengetahuan (cognition) para pembuatnya.

Dalam hubungannya dengan hal itu maka lingkup pengkajian peninggalan bawah air bermula dari survei dan ekskavasi pada situs-situs bangkai perahu, sampai pada ekskavasi atas pelabuhan, kota/kampung yang tenggelam. Bahkan juga penelitian atas peninggalan pada bentang perairan tertutup/kecil seperti danau dan kolam-kolam buatan, juga sumur-sumur upacara pada suku bangsa tertentu. Oleh karena itu yang menjadi sasaran aktivitas ini bukan saja tinggalan yang berasal dari masa hidup manusia modern pada masa sejarah melainkan pula situs-situs yang pada masanya pernah dihuni oleh manusia prasejarah (Marx, 1990).

Potensi tinggalan bawah air di Indonesia bagi perkembangan ilmu pengetahuan

Untuk mengetahui potensi kajian tinggalan bawah air di Indonesia, maka dalam kesempatan ini di sampaikan beberapa hal yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan manusia dan alam dari masa ke masa yang telah menghasilkan sisa sarana dan limbah kegiatan di berbagai bentuk perairan. Ini terkait dengan berbagai tinggalan yang merupakan dokumen sejarah budaya bangsa yang berada di bawah permukaan air.

Masa Prasejarah

Hasil kegiatan penelitian selama ini menunjukkan bahwa manusia berbudaya pertama diduga berasal dari Daratan Sunda—yang meliputi Kalimantan, Jawa, Sumatera, dan Semenanjung Malaya yang menyatu dengan daratan Asia—yang berkembang menjadi bangsa Austronesia yang menyebar ke lebih setengah belahan bumi ini, ke daratan Asia hingga Mesopotamia, dan Filipina hingga ke Pasifik. Melelehnya es di kutub pada sekitar 8000 tahun yang lalu menyebabkan muka air laut naik hingga setinggi 150 meter. Oleh karena itu pusat peradaban bangsa Austronesia yang diperkirakan berada di sekitar Pulau Natuna dan Selat Sunda hingga Selat Malaka tenggelam. Ketika itu mereka menyebar, ada yang ke Asia Selatan hingga ke wilayah Mesopotamia. Ada yang ke utara, ke Taiwan dan Jepang serta ke timur hingga Pasifik. Pendapat ini masih di perdebatkan, sehingga ada usulan agar dilakukan penelitian di daratan yang tenggelam itu yang memanjang di sekitar Selat Sunda, terus ke Selat Malaka hingga Laut Cina Selatan. Ini adalah upaya mencari jawaban atas tidak di temukanya manusia purba di daratan tinggi Sumatera melainkan di Jawa.

Bahwa penelitian di perairan Indonesia telah membuktikan adanya garis Wallacea yang memisahkan daratan Sunda, Sahul, dan daerah Wallacea diperkuat dengan keterangan bahwa di daerah Wallacea pada sekitar 8000 tahun yang lalu juga telah di huni manusia purba. Mereka sampai kesana dengan mengarungi laut sehingga dapat disebut bahwa manusia kepulauan pertama di dunia adalah manusia Indonesia.

Persebaran Austronesia landasan “kebhinnekatunggalikaan”

Persebaran Austronesia dapat dianggap sebagai fenomena penting yang memberikan landasan “kebhinnekatunggalikaan” budaya dan bangsa Indonesia sehingga dapat dikatakan menjadi etnogenesis bangsa Indonesia. Meskipun terdapat keragaman fisiologis kelompok-kelompok masyarakat tersebut tetap masih menunjukkan keseragaman budaya yang cenderung lebih bersifat universal. Keseragaman budaya inilah yang menjadi dasar budaya Nusantara.

Bahwa di beberapa pulau di jumpai berbagai objek arkeologis, baik yang berupa gerabah, benda-benda logam, dan sebagainya dipercaya sebagai bukti adanya perdagangan—tukar menukar maupun jual-beli—yang mengandalkan perairan sebagai prasarana perhubungan. Itu tidak saja berkenaan dengan nekara atau bejana misalnya, melainkan juga benda-benda lain berupa barang pecah-belah berbahan tanah liat maupun perhiasan-perhiasan berbahan logam.

Pada masa yang lebih kemudian, keberadaan moda transportasi air berupa sisa bangkai perahu dijumpai pula di beberapa lokasi pesisir timur Sumatera maupun pesisir utara Jawa. Ini berkenaan juga dengan perahu-perahu dari abad ke-4, dari masa yang bukti pertulisan karya budaya masyarakatnya belum didapat. Sebagai objek kajian tinggalan bawah air, semua tinggalan bawah air di lokasi tersebut tentu memerlukan penanganan yang lebih intensif.

Masa Sejarah

Setelah melewati masa prasejarah, Nusantara memasuki zaman sejarah yang untuk mudahnya—melalui keberadaan prasasti di Kalimantan Timur—dikatakan bermula sekitar abad ke-5. Ketika itu interaksi budaya yang cukup intensif telah berlangsung. Perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia terjadi melalui proses akulturasi. Perubahan di maksud antara lain tampak jelas dalam bidang agama dan seni (bangun).

Hindu-Buddha/Klasik Indonesia

Sejak permulaan tarikh Masehi pelayar dan pedagang bangsa India telah mengarungi lautan di sebelah timur India, tinggal untuk beberapa lama di berbagai tempat berlabuh, bahkan ada juga yang menetap. Lama-kalamaan ini memunculkan beberapa kelompok orang-orang yang kelak menyiarkan kebudayaan Hindu-Buddha di tempat tersebut. Selanjutnya kebudayaan Hindu-Buddha tumbuh sedemikian rupa sehingga merupakan kebudayaan baru yang berdiri dan memiliki corak tersendiri.

Masyarakat Nusantara mengadakan hubungan dagang tersebut tidak hanya dengan orang-orang India saja karena orang-orang Cina juga melakukan hubungan yang cukup intensif di belahan utara Nusantara. Selain itu berdasarkan keterangan juga dari sumber-sumber Arab, Cina, dan Eropa yang memberitakan tentang rempah-rempah, diketahui bahwa pada abad-abad pertama Masehi dunia pelayaran dan perdagangan Nusantara juga telah banyak berhubungan dengan dunia luar.

Pada sekitar abad ke-7 Sriwijaya tumbuh menjadi pusat perdagangan yang penting di bagian barat Nusantara dengan tempat-tempat vital di bawah pengaruhnya yang menjadi tempat persinggahan perahu-perahu layar dari  Asia Timur ke Asia Barat dan selanjutnya ke Eropa. Dapat dikatkan bahwa sumber-sumber kuna lebih banyak membicarakan kerajaan ini dibandingkan kerajaan sezaman di Jawa. Boleh jadi bahwa hal itu disebabkan letak geografisnya yang strategis di bandingkan dengan keletakan Jawa yang dapat dikatakan agak memojok.

Bukti hugungan dagang melalui jalur pelayaran

Bukti hubungan dagang melalui jalur pelayaran cukup besar. Sisa bangkai perahu abad ke-9 di perairan Tanjungpandan, Pulau Belitung yang berada pada kedalaman sekitar 17 meter, berdasarkan atas faktor-faktor teknik konstruksi, bentuk badan perahu, dan material konstruksi memunculkan dugaan bahwa itu adalah jenis perahu dhow Arab atau India. Panjang moda transportasi air itu sekitar 17–18 meter dengan lebar sekitar 6,5 meter. Muatannya berupa keramik Changsha kiln di Provinsi Hunan, Cina (Flecker, 2000).

Temuan itu ibarat kapsul waktu yang membuktikan bahwa Dinasti Tang di Cina telah menghasilkan barang dagangan secara massal dan mengekspornya lewat laut dengan menggunakan juga perahu-perahu milik orang Arab atau Persia. Bangkai perahu itu menggambarkan kondisi perniagaan yang menghubungkan Timur Tengah dan Cina melalui India dan pelabuhan-pelabuhan antara termasuk di wilayah Indonesia.

Dalam perjalanannya, Jawa juga memiliki peran penting. Sejak abad ke-9 Jawa menjadi tempat persinggahan para pedagang perantara yang menghubungkan pusat penghasil rempah-rempah di bagian timur Nusantara dengan pusat perdagangan internasional di belahan barat Nusantara. Dalam bidang politik, pada abad ke-13 kekuasaan di Jawa yang sebelumnya dipegang oleh Singasari kelak beralih ke Majapahit.

Mata rantai pelayaran dan perniagaan maritim inter-regional

Adapun di Sumatera, situs Kotacina di Medan memerlihatkan perannya sebagai  mata rantai pelayaran dan perniagaan maritim inter-regional di antara Quanzhou di Cina Selatan melalui Selat Malaka yang sampai ke Srilangka, India, bahkan Timur Tengah hingga ke Laut Merah. Aktivitas di pesisir itu jelas mengikutsertakan masyarakat pedalaman Sumatera karena hasil hutan dan hasil bumi lainnya dari wilayah itu, dan berlangsung setidaknya pada masa pertengahan, sekitar abad ke-11 hingga abad ke-14.

Cerita lisan mengungkapkan usaha Gajah Mada dalam memersatukan Nusantara. Armada Majapahit dikirim untuk menaklukkan Palembang, Tumasik, dan menguasai perairan di perbatasan Laut Jawa dan Selat Makassar, Sukadana, Banjarmasin, Kutei, Maluku, dan sebagainya (Dulaurier, 1846; Slametmulyana, 1979). Menggunakan bandar-bandar di sepanjang pantai utara Jawa sebagai basisnya, Majapahit dapat di katakan menguasai bidang maritim yang di warisi dari Sriwijaya (Manguin, 1983). Kisah ini juga dapat di ketahui berdasarkan sumber asing berupa kisah/catatan perjalanan maupun roteiros. Sebagaimana diketahui, roteiros adalah buku pandu laut yang dibuat antara lain oleh pemandu laut Portugis yang mengenal perairan Nusantara. Dokumen tersebut merupakan laporan-laporan Portugis tentang pelayaran berabad-abad penjelajahannya (Manguin, 1984).

Pengaruh budaya India yang masuk ke Indonesia mengakibatkan tejadinya perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui proses akulturasi. Namun pengaruh itu tidak menjangkau seluruh bagian Nusantara, adapun yang terjangkau itupun tidak pada intensitas yang sama. Penetrasi budaya yang tidak merata dan faktor lingkungan yang berbeda memacu tumbuhya keragaman budaya. Nusantara bagian barat memeroleh pengaruh yang lebih kuat dan menjadi dominan dari bagian lain yang cenderung dipandang sebagai objek subordinasinya, baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.

Islam

Berakhirnya masa klasik Nusantara tidak berarti bahwa secara otomatis diganti masa Islam. Pada posisi politis memang pergantian ini dapat terjadi, seperti berakhirnya kekuasaan Kerajaan Majapahit yang digantikan oleh munculnya Kerajaan Demak sebagai kerajaan bercorak Islam pertama di Jawa. Namun secara kultural jelas bukan hal yang mudah untuk mencari penanda identitas yang muncul menggantikannya.

Bersamaan dengan berkembangnya pelayaran dan perdagangan yang dilakukan di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit—yang dapat di katakan sebagai kerajaan agraris yang semi maritime—semakin berkembang pula pengaruh Islam di Nusantara. Di Jawa, perdagangan laut yang menguntungkan itu berlangsung bahkan jauh sebelum abad ke-15. Dapat di duga bahwa aktivitas itu berkaitan pula dengan penyebaran agama Islam yang mula-mula berlangsung di kalangan pedagang dan pelaut (Graaf & Pigeaud, 1985). Ini diikuti dengan berkembangnya kota-kota pelabuhan, khususnya di sepanjang pesisir utara Jawa. Bahkan pada abad ke-16, salah satu kota dagang yang penguasanya telah memeluk agama Islam, Demak, muncul sebagai pusat perdagangan yang kuat. Pengaruhnya juga cukup kuat ke belahan timur Nusantara.

Pengaruh budaya dari dunia Islam menjangkau wilayah yang lebih luas dari pengaruh India sebelumnya. Sebagian wilayah Nusantara bagian timur memang tidak terjangkau pada awal masuknya budaya Islam ini. Akan tetapi tidak demikian halnya di waktu belakangan. Proses perubahan dan perkembangan budaya zaman Islam memertajam keragaman budaya yang telah terbentuk pada masa pengaruh budaya Hindu-Budha, dan kelompok yang dominan lebih berkembang lagi. Subordinasi tidak hanya pada aspek ekonomi, politik dan sosial budaya, tetapi juga agama.

Kedatangan Bangsa Barat

Didorong oleh faktor-faktor ekonomi, agama, dan petualangan, maka bangsa Eropa bergerak mencari jalan ke Nusantara. Berkembangnya teknologi pelayaran yang ikut memungkinkan ditemukannya daerah-daerah baru telah memerluas ekspansi bangsa Eropa. Dapat dikatakan bahwa bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang datang ke Nusantara, berlayar ke arah timur sampai ke daerah-daerah penghasil rempah-rempah. Belakangan, kedatangan bangsa Spanyol di Maluku memunculkan pertikaian dengan orang Portugis. Adapun sejak abad ke-16 dan awal abad ke-17 bangsa-bangsa Belanda, Perancis, Denmark, dan Inggeris berlayar datang ke Nusantara. Diketahui pula bahwa maksud menguasai perdagangan rempah-rempah telah menimbulkan reaksi di kalangan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara.

Di awal pertemuan dengan bangsa-bangsa Eropa itu tercatat bahwa armada Jepara sampai tiga kali melakukan penyerangan ke Malaka. Serangan kedua yang dilakukan pada 1551 dilakukan bersama-sama dengan armada Melayu. Serangan ke tiga yang juga mengalami kegagalan dilakukan pada 1574 (Graaf & Pigeaud, 1985). Tangguhnya armada Jawa di perairan nusantara juga di ceritakan oleh sumber Portugis. Pada pertengahan abad ke-16, armada Jepara semasa Ratu Kalinyamat pernah dimintai bantuannya oleh “Persekutuan Hitu” di Ambon untuk melawan Portugis dan suku lain di sana.

Gerbang aktivitas Atlantik dan Pasifik

Dapat juga dilihat betapa besar peran Selat Malaka sebagai semacam pintu gerbang keluar-masuk yang menghubungkan daratan Cina di timur serta India, Jazirah Arab, dan Eropa di belahan barat. Hal itu sudah berlangsung lama, setidaknya sejak millennium pertama, dan mampu mengalirkan semua aktivitas dari Atlantik ke kawasan Pasifik setelah melewati Samudera Indonesia.

Ketika pedagang Eropa masuk ke Nusantara, pada saat itu Islam telah menyebar. Setelah Demak digantikan oleh Pajang dan selanjutnya Mataram (Islam), perdagangan tidak lagi banyak dilakukan oleh saudagar Nusantara. Sebagai kerajaan yang cukup besar pengaruhnya, Mataram memang bukan kerajaan perdagangan. Mataram sebagai kerajaan agraris menempatkan perdagangan pada posisi sekunder dalam tata politik. Walaupun demikian Nusantara tetap merupakan pasar internasional yang sangat ramai. Perdagangan dengan Eropa terutama disebabkan akan kebutuhan rempah-rempah yang banyak di hasilkan di bumi Nusantara.

Sebagaimana terungkap dalam historiografinya, kemampuan masyarakat pesisir Jawa dalam hal pembangunan perahu di abad ke-17 sudah dikenal. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa setelah Sunan Mangkurat I mangkat dan dimakamkan di Tegalarum (1676), Bupati Tegal, Martalaya, menganjurkan agar Pangeran Anom menaiki tahta Mataram. Putera Sunan Amungkurat I itu menolak, dan sebaliknya meminta agar Martalaya membuatkan perahu serta melengkapinya dengan perbekalan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Permintaan itu di sanggupi namun sementara perahu dan perbekalan di siapkan untuk perjalanan dimaksud, Pangeran Anom berubah sikap dan menetapkan hati menjadi raja Mataram (Moedjanto, 1994).

Pelayar dan pedagang

Di satu sisi, sebagaimana disebutkan dalam beberapa sumber, sebelum 1667 orang-orang Sulawesi Selatan juga ikut berdagang dengan Eropa, Cina bahkan Meksiko dengan perantaraan pedagang-pedagang Eropa yang berpusat di Makassar (Lopa 1982). Terkait dengan kemampuan berlayar serta keinginan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah, dipercaya bahwa penggunaan perahu layar pada orang-orang Sulawesi Selatan telah dilakukan sejak lama. Setidak-tidaknya sebelum 1840 dan sesudah 1603, yakni saat masuknya agama Islam ke Sulawesi Selatan. Bahkan pada 1850-an orang-orang telah pergi menunaikan kewajibannya memakai perahu layar dari Mandar. Kelak pada 1891 barulah kapal laut bermesin mulai beroperasi di Nusantara dan juga digunakan untuk mengangkut jemaah haji ke Jeddah (Lopa, 1982).

Diketahui pula bahwa gejala proses perluasan kekuasaan maritim kolonial di satu pihak dan kemunduran kekuasaan bahari pribumi di pihak lain muncul pada abad ke-19. Menjelang akhir abad ke-19 ekspansi kolonial untuk menguasai perairan kerajaan pribumi dapat dikatakan berhasil. Namun ini tidak otomatis berarti penguasaan laut sepenuhnya oleh armada Belanda dan tidak ada lagi ruang-ruang bagi pelayaran pribumi untuk bergerak (Lapian, 1987).

Fenomena “Bajak Laut”

Fenomena “Bajak Laut” dalam abad ke-19 menunjukkan bahwa penguasaan perairan di Asia Tenggara oleh negara-negara kolonial belumlah efektif benar. Keinginan untuk mengamankan daerah yang digunakan untuk perdagangan maritim negara Barat merupakan motif utama dari politik pemberantasan bajak laut tersebut (Lapian, 1987).

Tampak jelas bahwa masuknya pengaruh Barat dan menguatnya dominasi politik kolonial makin meningkatkan kompleksitas keragaman budaya di Nusantara. Ketika itu terlihat bahwa kebudayaan dan gaya hidup Indis sebagai fenomena historis merupakan suatu hasil karya budaya yang di tentukan oleh beberapa faktor, seperti politik, sosial, ekonomi, dan seni budaya. Hasil karya budaya Indis yang berupa budaya materi ini di jumpai hampir di segala aspek kehidupan masyarakat kala itu. Selain itu, dominasi kolonial Belanda juga menghasilkan berkembangnya budaya masyarakat Cina yang cukup spesifik di Nusantara.

Adalah suatu kenyataan bahwa sebagai unsur asing, dominasi politik kolonial tidak di terima dan mendapat perlawanan di berbagai daerah Nusantara. Upaya perlawanan tersebut secara tidak langsung melahirkan keseragaman pengalaman sejarah dan hal ini mendorong terjalinnya jaringan antar kelompok masyarakat yang majemuk, yang kelak kita pandang sebagai benih nasionalisme yang berkembang pada akhir masa kolonial.

Perang Dunia II

Pertempuran antara pihak Sekutu dengan pihak Jepang di pertengahan abad ke-20 yang juga melanda wilayah Nusantara mengakibatkan cukup banyak objek peninggalan bawah air. Bentuknya bukan hanya kapal yang memuat berbagai barang keperluan militer maupun sipil, melainkan juga pesawat terbang. Beberapa di antaranya telah di temukembalikan, dan sebagian di antaranya telah menjadi objek wisata bawah air. Contoh dari situs yang mengandung peninggalan bawah air dari periode ini terdapat di Tulamben, Kabupaten Karangasem, Bali. Begitu pula di beberapa tempat lain di kawasan timur. Namun lebih banyak lagi yang akhirnya dicincang sebagai besi tua.

Demikianlah selama rentang waktu yang lama, perjalanan yang ditempuh sangat panjang dan selalu dibayangi bahaya. Demikian banyak kecelakaan terjadi dalam pelayaran di berbagai perairan di wilayah Nusantara. Berbagai situs bangkai perahu kelak akan menjadi sumber informasi kesejarahan. Sebagian menganggapnya sebagai harta karun yang berkenaan dengan kepentingan eksonomi. Terkait hal itu, ternyata kain batik—sebagai karya budaya Indonesia yang sekaligus menjadi warisan dunia—juga menuangkan kisah-kisah tentang perahu kandas, yang dalam istilah lokal di Jambi—di sepanjang Sungai Batanghari—disebut sanggat. Filosofi dari goresan tentang perahu kandas itu terkait dengan pepatah “berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke tujuan” yang merupakan peringatan kepada masyarakat bahwa melakukan sesuatu harus tuntas. Adapun goresan beragam jenis binatang air di sekeliling perahu kandas itu mengingatkan kita akan adanya banyak hal yang memberikan manfaat.

Prospek Kajian Tinggalan Bawah Air dalam Merekonstruksi Sejarah Indonesia

Keingintahuan orang akan sejarah kehidupan menyebabkan orang melihat pada peran arkeologi. Arkeologi bawah air menjadi alternatif bagi pemenuhan jawaban atas keingintahuan itu. Adapun peluang utama dari keinginan untuk memberlakukan kajian arkeologis atas peninggalan bawah air itu disebabkan banyaknya himpunan data dalam bentuk peninggalan bawah air mengingat luas wilayah serta gerak sejarah pelayaran dan perdagangan maupun gejala dan aktivitas alam Nusantara.

Penelitian di bidang peninggalan bawah air memang belum banyak dilakukan sehingga tidak mengherankan bila masih banyak permasalahan yang belum terpecahkan. Berbagai kekosongan masih di jumpai bukan saja dalam bidang eksplorasi dan deskripsi, terlebih lagi dalam eksplanasi. Bila dalam penelitian arkeologi di Indonesia bidang-bidang lain mengalami banyak kemajuan—walaupun cenderung lebih menitikberatkan perhatian pada aspek artefak—tidak demikian halnya dengan peninggalan bawah air. Padahal diketahui berbagai aspek pokok perlu mendapatkan perhatian, seperti sumber daya lingkungan (geografi, fauna, flora, dan iklim), ekonomi (perikanan, perdagangan), sosial (pembagian pekerjaan dalam lingkungan perahu, perkampungan), pertanggalan, teknologi, dan transformasi kebudayaan. Masuk di dalamnya adalah juga persebaran budaya dalam dimensi ruang Nusantara.

Pendekatan multidisipliner

Pengkajian menyangkut objek peninggalan bawah air jelas sangat kompleks. Pemecahan masalah tersebut membuka jalan untuk eksplanasi kehidupan masa lalu yang lebih jelas di banding dengan gambaran yang di peroleh pada masa kini. Untuk sampai pada tahap itu di perlukan penelitian yang sistematis dan konsepsional melalui pendekatan multidisipliner. Berbagai bidang ilmu seperti geologi, biologi, paleontologi, antropologi, etnografi, dituntut perannya untuk memberikan konstribusi sesuai dengan bidang ilmunya sejalan dengan arkeologi. Berbagai kekosongan dan permasalahan yang ada, disamping pengujian kembali pendapat atau hipotesis yang telah diajukan sejak lama, merupakan tantangan bagi para peneliti sekarang untuk mengisi dan menguji kembali dalam upaya melengkapi rekonstruksi sejarah Indonesia.

Harus pula diingat bahwa telaah tentang perdagangan terhadap temuan arkeologi bawah air juga dapat di kaitkan dengan upaya mengulangbina ekonomi Indonesia. Pakar ekonomi juga mengharapkan bahwa hasil penelitian arkeologi dapat mengungkapkan secara lebih lengkap masalah perdagangan di suatu situs, di suatu kawasan.  Selama ini pengetahuan tentang sejarah ekonomi hanya terbatas pada sumber tertulis, itupun sampai kurun waktu tertentu saja. Untuk itu analisis yang tepat perlu diberlakukan atas artefak yang dijumpai agar dapat menjawab tantangan itu.

Kerangka penelitian sebagai suatu proses politik

Hal lain juga dapat disampaikan dalam kaitannya dengan prospek kajian peninggalan bawah air. Apabila kita hubungkan penelitian arkeologi dengan upaya-upaya pemerintah terkait pembangunan di sektor kemaritiman, itu merupakan langkah politisasi kegiatan ilmiah. Tentunya ini bukan hal yang diharamkan karena kegiatan hasil penelitian ilmiah akan memunyai makna bila dapat dimanfaatkan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan manusia, khususnya manusia Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya kalau kegiatan penelitian—termasuk penelitian arkeologi—tidak cukup dilandasi perangkat ilmu saja tetapi lebih dari itu diperlakukan pula kemauan politik. Dalam kerangka penelitian sebagai suatu proses politik, akan lebih jelas apa yang harus dikerjakan, hasil yang diharapkan, dan luasan lingkup manfaatnya bagi masyarakat. Tanpa kerangka konseptual ini dimungkinkan kegiatan penelitian akan sia-sia dan mubazir hasilnya. Kemauan politik dalam melakukan penelitian perlu dilandasi etos dan etika kerja yang tinggi, baik sebagai ilmuwan maupun sebagai anak bangsa dan abdi negara.

Keluaran penelitian arkeologi adalah jasa berupa informasi tentang: a. sejarah budaya daerah dan bangsa; serta b. informasi tentang potensi sumber daya arkeologi. Bila yang pertama cenderung lekat dengan masalah nilai budaya, maka yang kedua menyangkut dengan masalah pelestariannya. Dalam hal ini pelestarian meliputi perlindungan, pembinaan, pengembangan, dan pemanfaatannya, baik sebagai sumber daya bahan/asset penelitian, wahana pemahaman dan penghayatan nilai, maupun sebagai sumber daya dan acuan pembangunan bidang lain yang terkait.

Ketidakadilan telah meruntuhkan kesadaran masyarakat

Di Indonesia kemajemukan kelompok masyarakat dan keragaman budaya yang sangat rentan konflik dewasa ini merupakan masalah yang sangat mendesak untuk segera dipecahkan. Walaupun kemajuan dan keragaman sosial-budaya merupakan hal yang alami dan wajar, namun bagaimanapun pertumbuhan, dan perubahan budaya daerah satu dengan lainnya tidak akan menempuh proses yang sama sehingga keluarannyapun akan selalu berbeda. Masalahnya, rasa ketidakadilan telah meruntuhkan kesadaran masyarakat untuk hidup dalam kemajuan yang seimbang dan serasi.

Dalam menghadapi masalah besar itu penelitian arkeologi perlu berpartisipasi sesuai dengan ladang garapannya secara proporsional. Secara teknis arkeologi diharapkan dapat lebih berperan dalam meletakkan dasar-dasar keseragaman budaya Nusantara. Di kesempatan ini pengembangan kajian peninggalan bawah air perlu di pertimbangkan kontekstualitasnya memecahkan masalah diatas. Perairan, sebagaimana laut ada di dalamnya, memang dapat saja mengurai Nusantara dalam ribuan pulau. Akan tetapi budaya perairan–budaya maritim–mampu menyatukan rangkaian pulau-pulau itu kedalam kesatuan budaya bangsa Indonesia.

Selain itu patut diketengahkan bahwa masa depan cabang ilmu pengetahuan ini juga amat tergantung pada bagian besar dari pengembangan motivasi penyelaman. Ini berkenaan pula dengan upaya untuk memerdalam kebutuhan akan pengenalan dan penguasaan peralatan serta pengetahuan dasar yang diperlukan dalam aktivitas penelitian dan penggalian arkeologi di bawah air (Marx, 1990)

Perlindungan Data Sejarah

Harus disadari bahwa secara teoritis arkeologi tidak mencoba untuk memerbaiki apa yang telah difikirkan, diharapkan dan dimaksud, dan dikehendaki oleh orang-orang pada saat itu juga ketika mereka mengungkapkannya dalam wacana. Arkeologi jelas merupakan suatu deskripsi sistematik tentang suatu obyek wacana (Foucault, 2002:229–30).

Karenanya, pengetahuan pengetahuan masa lampau tidak dapat diperoleh begitu saja. Pengkajian harus dilakukan dalam rangka disiplin/ilmu sejarah, dan arkeologi ada di dalamnya. Sebagai ilmu, tentunya harus dimulai dengan penemuan data yang akan dijadikan sumber dari bagian masa lampau yang hendak dikenali. Oleh karena itu harus diketahui benar bahwa data-datanya memang data yang dikehendaki sebagai sumber.

Memang suatu kenyataan bahwa data sejarah tidak mudah didapat. Penemuan secara kebetulan dapat dan kerap terjadi. Pencarian secara sengaja juga dilakukan melalui penelitian. Penjaringan data juga diberlakukan melalui survei dan penggalian arkeologis. Harus diingat bahwa semua dilakukan biasanya berdasarkan keberadaan petunjuk.

Hanya ada satu, tidak ada duanya

Selanjutnya data sejarah, artefak arkeologis misalnya, hanya ada satu saja dan tidak ada duanya. Oleh karena amat disayangkan bila hilang atau rusak karena tidak ada gantinya. Objek lain memang dapat disebut sama, namun hakikinya hanya serupa atau sejenis saja. Selain itu objek sejarah itu hanya satu kali dapat ditemukan, artinya ditemukan dalam keadaan sebagaimana ditinggalkan oleh zaman yang telah lampau. Karena itulah pemeliharaan data sejarah menjadi penting peranannya. Usaha pemeliharaan ini terutama sekali adalah pelindungan, pengawasan, dan penjagaan agar data-data itu tidak musnah.

Dengan demikian sangatlah dirasakan pentingnya pengetahuan sejarah, yang antara lain dapat diberikan dengan cara memberi contoh-contoh yang dapat dipelajari dan dapat memberikan inspirasi. Pernyataan l’histoire se répète (sejarah berulang) tidak dapat diartikan bahwa sejarah itu berulang secara tepat sama. Oleh karena yang berulang adalah sifat-sifat umum dari sejarah itu. Sejarah dengan sifat-sifatnya yang umum itu yang dapat memberikan pedoman untuk tindakan-tindakan masa sekarang dan untuk masa yang akan datang (Sjafei, 2008:204–5).

Oleh karena itu menjadi tugas utama setiap orang untuk mengenal sejarah agar mengetahui asal-usulnya. Sejarah ibarat cermin dan kita harus belajar memahami latar belakang permasalahan guna mampu dengan baik melangkah ke masa depan. Sejarah jelas merupakan wacana yang selalu aktual, artinya tidak kenal kadaluwarsa. Tanpa suatu perspektif yang diperoleh dari kejadian-kejadian masa lalu, tentu tidak mudah menghadapi masalah-masalah hari ini, atau hari esok.  Sejarah adalah hal yang sangat patut dan pantas.

Penutup

Disadari bahwa perkembangan arkeologi Indonesia memang tidak berjalan mulus. Setidaknya dua masalah besar harus dihadapi dan itu berkenaan dengan masalah keilmuan serta masalah kemasyarakatan. Dalam bidang keilmuan antara lain berkenaan dengan paradigma yang meliputi aspek ontologi, epistemologi, dan tentu saja metodologi. Adapun masalah kemasyarakatan berhubungan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengetahuan tentang masa lalu. Pada satu sisi itu menyebabkan terbatasnya kajian arkeologis atas berbagai peninggalan purbakala.

Oleh karena itu bukan hal yang mengherankan bila kajian atas peninggalan bawah air di Indonesia memang masih sangat terbatas. Sesungguhnya masih banyak informasi atau pengetahuan tentang masa lampau yang semestinya dapat diperoleh dari tinggalan budaya ini. Apabila peninggalan bawah air sebagai data arkeologi dapat digarap dengan lebih bersungguh-sungguh tentu dapat dipastikan hasilnya akan dapat memberikan sumbangan yang amat berarti untuk menjawab berbagai masalah arkeologi dan kesejarahan yang hingga kini belum tuntas terpecahkan.

Interaksi budaya

Masalah yang amat potensial untuk dipecahkan lewat pengkajian peninggalan bawah air antara lain tentang interaksi budaya antara Indonesia dengan India, Arab, Cina, dan bangsa-bangsa Eropa. Untuk masa yang lebih tua, kajian ini juga berpotensi untuk ikut membantu mengungkapkan sisi gelap migrasi purba. Seperti migrasi manusia dari Asia Tenggara ke Pasifik. Pada lingkup lain, kajian peninggalan bawah air juga berpotensi memerlihatkan bahwa kemampuan berlayar perahu-perahu Nusantara dengan jalur-jalur pelayarannya membuktikan bahwa sejak dahulu nenek moyang kita telah memiliki pengetahuan navigasi yang memungkinkan mereka berlayar ke mana saja mengarungi samudra luas. Selain itu juga memertegas pemahaman kita pada adanya kondisi tertentu yang menghasilkan pemberlakuan hukum/peraturan dalam pelayaran dan perniagaan yang memungkinkan aktivitas pelayaran dan perdagangan ketika itu berjalan pesat dan tertib.

Kita juga dapat mengaitkan dengan masalah yang sekarang banyak dibicarakan menyangkut keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu yang berhubungan dengan masalah perbatasan dengan negara-negara lain yang sebagian besar berkenaan dengan wilayah perairan. Laut Cina Selatan misalnya, saat ini ramai menjadi ajang perebutan wilayah perairan, di antaranya karena berbagai sumber daya lautnya.  Pulau Natuna dan pulau-pulau lain di sekitarnya, yang sekaligus menjadi pulau-pulau terdepan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, jelas patut dan mendesak untuk dijadikan ajang pengkajian arkeologi—terlebih arkeologi bawah air—melalui peningkatan intensitas kegiatannya. Hal ini mengingat peninggalan-peninggalan bawah airnya maupun objek-objek lain yang dapat memberikan kontribusi bagi penegasan aspek politis, kebudayaan, dan sosial dalam mengupayakan kejelasan akan wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain.

Harapan

Berbagai hal yang dikemukakan diatas, terkait potensi dan prospek penelitian peninggalan bawah air di Indonesia, lebih ditujukan untuk menyadarkan dan merangsang pikir para ahli di Indonesia tentang apa yang sudah dilakukan. Juga apa yang harus/mungkin dilakukan dalam kaji arkeologis tinggalan bawah air di Indonesia. Di dalamnya juga tergambar harapan yang diinginkan. Namun semua itu tentu kembali pada kita. Apakah paparan ini akan ditindaklanjuti dengan langkah yang nyata atau hanya akan dijadikan gagasan yang gaungnya amat lemah. Sementara aktivitas lain yang berobjekkan tinggalan bawah air bagi berbagai kepentingan ekonomi melaju kencang jauh di depan.

Hal lain yang menjadi masalah besar saat ini adalah belum satupun lokasi peninggalan bawah air yang ditemukan di berbagai perairan Nusantara ditetapkan sebagai situs cagar budaya. Begitupun dengan berbagai informasi keberadaan sejumlah besar lokasi bangkai perahu kuna yang belum ditindaklanjuti dengan upaya pencariannya. Walaupun diketahui bahwa menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk mencarinya sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Ini merupakan tantangan terkait dengan upaya pelindungan dan pelestarian berbagai tinggalan bawah air.

Makalah ini disampaikan pada Seminar dan Kongres Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA XIV) oleh IAAI Pusat pada 24 s.d 27 Juli 2017 di Bogor.

Kepustakaan

Boxer, Charles Ralph, 1973. The Dutch Seaborne Empire 1600–1800 Middlesex: Penguin Books

Dulaurier, Edouard, 1846. Liste Des Pays De L’Empire Javanais De Madjapahit. Paris: Imprimerie Royale

Flecker, Michael, 2000. A 9th– Century Arab or Indian Shipwreck in Indonesian Water, dalam IJNA 29 (2), hlm. 199–217

Foucault, Michel, 2002. Arkeologi Pengetahuan, diterjemahkan oleh HM Mochtar Zoerni. Yogyakarta: Qalam

Graaf, HJ de & Th. G Th. Pigeaud, 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama Di Jawa.Jakarta: Grafiti Pers

Green, Jeremy, 1990. Maritime Archeology. A Technical Handbook. London: Academic Press Limited

Koestoro, Lucas Partanda, 2005. Rempah dan Perahu di Perairan Sumatera dalam Ungkapan Arkeologis dan Historis, dalam Jurnal Arkeologi Indonesia Nomor 3. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, hlm. 41–64

Lapian, AB, 1987. Orang LautBajak LautRaja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Pada Abad XIX. Disertai pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Lopa, Baharuddin, 1982. Hukum Laut, Pelayaran Dan Perniagaan. Bandung: Penerbit Alumni

Manguin, Pierre-Yves, 1983. Dunia yang Ramai: Laut Cina Dengan Jaringan-jaringannya, dalam Citra Masyarakat Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, hlm. 83–96

—————, 1984. Garis Pantai Sumatera Di Selat Bangka: Sebuah Bukti Baru Tentang Keadaan Yang Permanen Pada Masa Sejarah, dalam Amerta 8. Jakarta: Puslit Arkenas

Marx, Robert F, 1990.  The History of Underwater Exploration. New York: Dover Publication

Moedjanto, G, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa.  Yogyakarta: Kanisius

Muckelroy, Keith, 1978. Maritime Archaelogy. Cambridge: Cambridge University Press

Slametmulyono, 1979, Nagarakretagama Dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Sjafei, Soewadji, 2008. Arti penting studi sejarah, dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, hlm. 193–206