Oleh: Bambang Budi Utomo*
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Arca Wisnu berlanggam pre-Angkor
Situs Kota Kapur kali pertama dikenal sebagai situs dengan tinggalan budayanya berupa prasasti yang berbentuk tugu batu bertarikh 28 April 686 dan dikeluarkan oleh penguasa Kedātuan Śrīwijaya. Dari ini prasasti tersebut diketahui bahwa di Kota Kapur sebelum kedatangan Śrīwijaya telah ada kelompok masyarakat yang bermukim di situ. Kelompok masyarakat ini diduga menganut ajaran Hindu aliran Waiṣṇawa, terbukti dari ditemukannya beberapa arca Wiṣṇu yang berdasarkan langgamnya berasal dari sekitar abad ke-5–6 Masehi (berlanggam pre-Angkor).
Balatentara Śrīwijaya datang menyerang Kota Kapur dari Palembang melalui Sungai Musi, menyebarang Selat Bangka, dan masuk ke Sungai Menduk di Pulau Bangka di daerah Kota Kapur. Mereka dikatakan dari Palembang sebagai pusat pemerintahannya yang didirikan pada 16 Juni 682. Setelah menyerang Kota Kapur, balatentara Śrīwijaya kemudian melanjutkan penyerbuannya ke bhūmi jāwa sebagaimana disebutkan di dalam prasasti. Dari informasi ini tampak bahwa balatentara Śrīwijaya tiba dan berangkat dari Kota Kapur melalui pelabuhan. Dan pelabuhan yang dimaksud diduga merupakan pelabuhan sungai yang ada di tepi sungai Menduk.
Pelabuhan Kota Kapur mengambil lokasi di tepi sungai Menduk agak jauh sekitar 3 km dari muara sungai di Selat Bangka. Dengan demikian secara teoritis lokasinya sebagai pelabuhan sangat ideal, terlindung dari angin dan arus selat yang kuat, serta berair tenang (Sungai Menduk berair tenang) karena terlindung dari hutan bakau yang banyak terdapat di tepiannya. Dugaan ini perlu dikonfirmasi melalui kajian arkeologi maritim di lapangan dan konteksnya dengan benteng tanah Kota Kapur.
Faktor ekologi sebagai faktor determinan
Ramai tidaknya pelabuhan dapat tergantung dari berbagai faktor. Di antaranya yang terpenting adalah faktor ekologi sebagai faktor determinan. Pelabuhan yang baik adalah jika kapal dapat berlabuh dengan aman, terlindung dari ombak yang besar, angin, dan arus yang kuat (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2009:141). Tempat yang paling ideal bagi pelabuhan adalah di sebatang sungai, agak jauh ke dalam. Akan tetapi lebar dan kedalaman sungai membatasi perkembangan pelabuhan bersangkutan. Pelabuhan Śrīwijaya yang letaknya di kota Palembang sekarang merupakan pelabuhan sungai yang ideal. Sungai Musi yang lebar dan dalam serta agak jauh dari laut, menjadikan kota Śrīwijaya terus berkembang hingga sekarang menjadi kota Palembang. Lain halnya dengan pelabuhan Kota Kapur. Letaknya memang tidak jauh dari muara sungai, tetapi lebar dan kedalaman sungai Menduk (pada masa sekarang) kurang memenuhi syarat untuk dapat berkembang menjadi kota seperti Palembang.
Situs Kota Kapur memiliki kontur tanah yang bergelombang lemah. Sebagian merupakan perbukitan, dan sebagian lagi merupakan rawa-rawa dengan vegetasi tanaman bakau terutama di tepian sungai Menduk mulai dari hilir hingga muara di Selat Bangka. Di daerah kaki perbukitan, di lembah di antara Bukit Besar dan bukit Kota Kapur banyak terdapat lubang bekas galian penambangan timah penduduk. Dahulu merupakan areal penambangan resmi pemerintah kolonial. Karena dipandang sudah tidak ekonomis lagi, penambangan tersebut dilanjutkan oleh penduduk secara sembarangan. Akibatnya lingkungan menjadi rusak.
Pernah mengalami masa kejayaan
Kalau dilihat dari kondisi geografis Kota Kapur, secara teoritis pemukiman di sini pernah mengalami masa kejayaan. Penduduk telah mengadakan kontak dengan daerah lain di luar Bangka, khususnya di luar Kota Kapur. Tinggalan budaya masa lampau yang berupa arca dengan langgam pre-Angkor merupakan buktinya. Boleh jadi penduduk di sini juga telah mengadakan kontak dagang dengan India Selatan. Beberapa situs arkeologi di daerah lahan basah di muara Musi, seperti di Situs Air Sugihan yang letaknya agak di seberang Kota Kapur di pesisir timur Sumatra, banyak ditemukan manik-manik batu karnelian. Manik-manik batu ini merupakan komoditi perdagangan dari India Selatan yang ramai diperdagangkan pada sekitar abad ke-5–6 Masehi. Dengan demikian masyarakat di Air Sugihan telah mengenal perdagangan jarak jauh, baik dengan India maupun dengan Tiongkok. Tidak mustahil, kelompok masyarakat di Kota Kapur juga telah mengenal perdagangan jarak jauh, setidak-tidaknya dengan Angkor.
Melalui kajian arkeologi maritim penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana posisi pelabuhan Kota Kapur terhadap pemukiman yang terdapat di dalam lingkungan bentengtanah; bagaimana gambaran (rekonstruksi) pelabuhan sungai Kota Kapur; komoditi perdagangan apa yang dikapalkan melalui pelabuhan sungai di Kota Kapur.
Kajian Literatur
Pulau Bangka dengan Bukit Menumbing-nya sudah lama dikenal para pelaut lokal (biasanya pelaut Melayu) maupun asing (Tiongkok, India, dan Eropah). Berita tertulis tertua yang ditulis sebelum Śrīwijaya mengenai Bangka didapatkan di India. Karya sastra Buddha yang ditulis pada abad ke-3 Masehi (Māhāniddesa) menyebutkan sejumlah nama tempat di Asia, antara lain tentang Swarnnabhūmi, Wangka, dan Jawa. Nama Swarnnabhūmi dapat diidentifikasikan dengan Sumatra sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Milindapañca, sedangkan Wangka mungkin dapat diidentifikasikan dengan Bangka (Damais, 1995:85).
Keterangan yang lebih terperinci mengenai gambaran Pulau Bangka terdapat dalam Berita Tionghoa dari 1436 Masehi adalah Hsing-ch’a Shĕng-lan (= Laporan Umum Perjalanan di Laut) yang ditulis oleh Fei Hsin (Groeneveldt, 1960:79).
“Ma-yi-tung (=Bangka) letaknya di sebelah barat Kau-lan (=Belitung) di Laut Selatan. Pulau ini terdiri dari pegunungan yang tinggi dan dataran yang dipisahkan oleh sungai-sungai kecil. Udaranya agak hangat. Penduduk pulau tinggal di kampung-kampung. Laki-laki dan wanita rambutnya diikat, memakai kain panjang dan sarung yang berbeda warnanya. Ladangnya sangat subur dan memproduksi lebih banyak dari negeri lain. Hasil dari pulau ini adalah garam yang dipanen dari air laut yang diuapkan dan arak yang dibuat dari aren. Selain itu, hasil yang diperoleh dari pulau ini adalah katun, lilin kuning, kulit (cangkang) penyu, buah pinang, dan kain katun (mungkin yang dimaksud adalah kain tenun) yang dihias dengan motif bunga. Barang-barang yang diimport dari tempat lain adalah pot tembaga, besi tuangan, dan kain sutra dari berbagai warna”.
Pulau Bangka sudah dikenal oleh para pelaut asing yang datang dari berbagai tempat yang berhubungan dengan Śrīwijaya di Palembang. Pulau ini dengan Bukit Menumbing-nya (Mandarin = Peng-chia shan; Portugis = Monopim) dapat dijadikan pedoman untuk masuk menuju ibukota kerajaan (saat itu Kerajaan Palembang) yang berada di tepi sungai Musi. Hal ini disebabkan karena letaknya di mulut Sungai Musi yang merupakan jalur lalu-lintas air (sungai) dari dan ke ibukota Śrīwijaya dan Kerajaan/Kesultanan Palembang. Dengan berpedoman pada kenampakkan Bukit Menumbing, para pelaut sudah dapat memerkirakan berapa lama lagi mereka tiba di tempat tujuan, dan di wilayah perairan itu mereka sudah harus berhati-hati agar kapalnya tidak kandas pada gosong-gosong pantai pulau Sumatra.
Bukit Menumbing sebagai pedoman
Pelaut-pelaut Tionghoa menggunakan Bukit Menumbing sebagai pedoman untuk memasuki daerah perairan Musi. Dalam peta Mao K’un yang dibuat oleh Ma-huan pada sekitar awal abad ke-15, disebutkan nama Peng-chia Shan (shan= gunung) (Mills 1970). Nama ini oleh Wolters diidentifikasikan dengan Bukit Menumbing yang letaknya di sebelah baratlaut Pulau Bangka.
Berita Tionghoa Shun-feng hsiang-sung memberikan petunjuk:
“Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in (pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (=Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada pulau kecil” (Wolters tt).
Selanjutnya menurut Ying-yai Shĕng-lan (=Laporan Umum dari Pantai-pantai Lautan) yang ditulis pada 1416 Masehi oleh Ma-huan, disebutkan:
“…kapal-kapal yang datang dari manapun memasuki Selat Peng-chia (=Selat Bangka) yang berair tawar. Jalan menuju ibukota makin sempit” (Groeneveldt, 1960:73).
Pelaut dari timurlaut
Ketika pelaut-pelaut yang datang dari arah timurlaut (Selat Melaka dan Laut Tiongkok Selatan) sudah mendekati perairan Bangka, mereka mulai melihat petunjuk apa saja yang dapat dijadikan pedoman. Hanya ada tiga petunjuk yang melukiskan Pulau Bangka, yaitu Bukit Menumbing dan Tanjung (daratan yang sangat penting karena tampak dalam perjalanan dari Selat Melaka menuju ke arah selatan); Pulau Nangka (yang harus kelihatan sebelum mengitari Tanjung Selokan dan mengubah arah lebih jauh ke selatan); dan Tanjung Berani (berhadapan dengan Tanjung Tapah di Sumatra, perairan di Selat Bangka yang paling sempit). Karena merupakan karang yang tidak pernah berubah posisi sejak sebelum masa sejarah, ketiga tempat itu digunakan oleh para nakhoda sebagai noktah yang tetap untuk memerkirakan kedudukan kapal, dan digunakan untuk memerkirakan pantai laut Sumatra (Manguin, 1984:18).
Roteiros atau Buku Panduan Laut Portugis, menyebutkan:
“Berlayar dari baratlaut ke tenggara, setelah melihat Monopim (= Menumbing) di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatra sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari tanjung berkarang yang menjorok ke laut” (Manguin 1984).
Gambaran yang diberitakan oleh orang-orang asing yang pernah berkunjung ke Bangka dan Palembang (Śrīwijaya) masih dapat disaksikan. Apabila berlayar keluar dari mulut Musi, di Selat Bangka akan nampak samar-samar pada arah timurlaut bukit yang menonjol, yaitu Bukit Menumbing.
Metode Penelitian
Arkeologi maritim adalah studi tentang interaksi manusia dengan laut, danau, dan sungai melalui kajian arkeologis atas manifestasi material (dari) budaya maritim, termasuk diantaranya adalah angkutan air (vessels), fasilitas-fasilitas di tepian laut, kargo, pemukiman sampai mitologi dan kepercayaan masyarakat bahari. bahkan sisa-sisa manusia (human remains). Nautical Archaeology lingkupnya hanya berhubungan dengan laut (tanpa sungai dan danau), yang obyek penelitiannya semua aspek tentang kapal karam dan kapal kuno yang belum karam. Pengertian arkeologi maritim jangan dikecohkan dengan arkeologi bawah air (underwater archaeology), yaitu upaya memahami (studi) masa lampau melalui tinggalan-tinggalan budaya masa lampau yang ada di bawah air (submerged remains)(Delgado 1997:259–260, 436).
Sebagaimana telah dijelaskan pada definisi Arkeologi Maritim, maka obyek-obyek tinggalan budaya maritim adalah pelabuhan dengan segala fasilitasnya (gudang dan kantor), dok dan galangan kapal, perahu dan kapal (vessel), menara api, pelampung suar (buoylight), benteng-benteng laut, bahkan manusianya. Dalam melakukan kajian arkeologi maritim kadang ditemukan artefak yang kita tidak atau belum diketahui fungsinya. Untuk menjawab pertanyaan tentang fungsi suatu benda, maka dilakukan pendekatan etno-arkeologi pada kehidupan masyarakat pantai atau masyarakat pedalaman yang hidup tidak jauh dari sungai/danau.
Model pendekatan ekologi
Dalam usaha menentukan lokasi pelabuhan kuno, model pendekatan yang dilakukan adalah model pendekatan ekologi. Model pendekatan ini biasa dilakukan para arkeolog dalam usaha melihat pola pemukiman dalam situs. Dalam model pendekatan ekologi, faktor-faktor yang diperhatikan adalah faktor lingkungan sebagai faktor determinan. Dengan memerhatikan keadaan lingkungan alam pada masa sekarang, diharapkan dapat ditarik ke belakang bagaimana situasi lingkungan pada masa itu. Dari sini diharapkan dapat diketahui apa yang menjadi penyebab dipilihnya lokasi tersebut sebagai tempat yang layak untuk pelabuhan.
Teknik penjaringan data dalam telaah arkeologi maritim ini adalah dengan menggunakan survey dan ekskavasi. Survei arkeologi diperlukan dengan memerhatikan keadaan lingkungan fisik sekitar situs, kontur permukaan tanah, jarak dengan sungai terdekat, serta ketinggian suatu lokasi. Sedangkan ekskavasi arkeologis diperlukan untuk melihat kronologis suatu tempat secara vertikal. Hubungan antarsitus diperlukan melalui ekskavasi secara horizontal. Hubungan antara tinggalan budaya yang berkenaan dengan pelabuhan dan pemukiman dalam lingkungan benteng tanah.
Survei dan ekskavasi yang dilakukan di daerah rawa-rawa tepian sungai Menduk diperlukan karena untuk melihat ada tidaknya sisa pemukiman yang dibangun di lahan basah. Survei dan ekskavasi seperti ini pernah dilakukan di lahan basah kawasan pantai timur Sumatra di situs-situs Karangagung Tengah, Air Sugihan, dan Cengal di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dari penelitian di situs-situs tersebut ditemukan sisa pemukiman dari masa sebelum kehadiran Kedātuan Śrīwijaya (sebelum abad ke-7 Masehi).
Hasil dan Bahasan
Situs Kota Kapur selama ini dikenal sebagai situs tempat ditemukannya prasasti penaklukan oleh Śrīwijaya atas kelompok masyarakat lokal yang menganut aliran Waiṣṇawa. Dri Kota Kapur pada 28 April 686 Masehi balatentara Śrīwijaya melanjutkan ekspansi perluasan wilayahnya ke bhūmi jāwa. Penelitian hanya sampe di situ saja. Berikut ini adalah hasil penelitian mutakhir tentang Kota Kapur dari sisi pemukiman dan kajian arkeologi maritim yang selama ini belum pernah dilakukan.
Eksploitasi Bangka
Pulau Bangka, Belitung, dan pulau-pulau lainnya kandungan buminya kaya akan endapan timah. Demikian juga dasar laut yang memisahkan pulau-pulaunya juga terdapat kandungan timah. Di Bangka dan di kota-kota lain di Semenanjung Tanah Melayu, sebut saja Taiping (=Kota kedamaian luhur), maka peribahasa yang berlaku “Ada timah, ada Tionghoa”. Mengambil contoh dari Taiping, penambangan timah secara besar-besaran mula pertama kalinya dilakukan oleh para penambang bangsa Tionghoa. Bahkan kota Taiping dibangun dari hasil timah oleh orang-orang Tionghoa.
Kota Taiping lahir sekitar pertengahan abad ke-18 setelah perang antara perserikatan pekerja tambang dari Distrik Larut, negara bagian Perak. Larut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh seorang pengembara muda asal Aceh yang bernama Long Ja’afar. Ia membawa kelompok penambang Tionghoa dari Pulau Penang untuk dipekerjakan di tambang timahnya di Kelian Pauh. Para penambang ini adalah Tionghoa Hakka anggota dari puak Hai San, perserikatan gelap di Penang yang dipimpin oleh Chung Keng Kooi. Sementara itu di Kelian Bharu menetap puak Fui Chiu yang jumlahnya lebih kecil. Kedua puak ini secara turun temurun selalu bertikai. Setelah mereka berperang dan masuknya campurtangan Inggris, maka pada 1874 diresmikanlah nama Taiping sebagai kota (Khoo 1994).
Timah
Entah sejak kapan timah ditemukan di Bangka, dan bagaimana cara menemukannya? Hingga saat ini belum ada secarikpun data tertulis yang sampai kepada kita kapan ditemukannya timah di Bangka. Penambangan timah di Bangka dan Belitung mungkin sudah lama dikenal. Data sejarah yang bersumber dari Berita Tionghoa abad ke-7 Masehi menginformasikan bahwa komoditi perdagangan dari Shih-li-fo-shih (Śrīwijaya) antara lain adalah timah. Pada abad-abad tersebut Bangka dan Belitung termasuk dalam wilayah kekuasaan Śrīwijaya. Namun pada masa itu penambangan timah belum dilakukan secara besar-besaran. Karena itulah timah belum merupakan barang komoditi penting yang dijual dipasaran. Penambangan timah secara besar-besaran baru dilakukan mulai abad ke-18, yaitu pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam. Setelah Kesultanan Palembang-Darussalam jatuh ke tangan Belanda pada 1821, penambangan timah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Indikator pemakaian logam dasar yang bernama timah sudah lama diketahui dengan bukti berupa artefak logam seperti arca, cermin, mangkuk yang dibuat dari perunggu. Perunggu (CuSn) merupakan logam campuran (alloy) yang terdiri dari tembaga (Cu) dan timah (Sn), serta logam lain yang kandungannya kecil seperti seng (Zn) dan timah hitam (Pb). Kerajaan-kerajaan tua di Nusantara seperti Śrīwijaya, Matarām, dan Mālayu (abad ke-7-9 Masehi) banyak menggunakan perunggu sebagai bahan untuk membuat arca, prasasti, dan alat-alat keperluan upacara dan rumah tangga. Dengan demikian, sebelum orang mengenal perunggu tentunya sudah terlebih dahulu mengenal timah dan tembaga sebagai logam dasar.
Terletak pada jalur utara-selatan
Kekayaan timah yang sangat besar di dunia terletak pada jalur utara-selatan, mulai dari pegunungan di Myanmar (Birma) bagian timur ke Semenanjung Tanah Melayu hingga ke Pulau Bangka dan Belitung. Banyaknya kandungan timah di bumi Bangka dan Belitung baru diketahui setelah 1709, tetapi di bagian tengah Semenanjung Tanah Melayu sudah diketahui sejak abad ke-10 Masehi (Reid, 1992:132). Sumber lain menyebutkan bahwa timah di Bangka ditemukan secara tidak sengaja pada 1710, yaitu ketika rumah yang terbakar pada bagian lantai tanahnya terdapat lelehan yang berwarna putih keperakan (Marsden 1966, 172).
Kemudian pada 1754, setelah pengusiran orang Tionghoa pada 1740, otoritas Tionghoa mengumumkan untuk kali pertama bahwa setiap orang Tionghoa dengan alasan sahih berhak kembali pulang dan dilindungi hak-haknya. Dampak dari pengenduran aturan semacam itu segera tampak dengan mengalirnya saudagar, penambang, pengusaha perkebunan, dan petualang ke segala penjuru Asia. Di Vietnam bagian utara, Kalimantan bagian barat, Phuket, Kelantan, dan Bangka terbentuk koloni-koloni pertambangan Tionghoa (Reid, 2004:321).
Bangka merupakan pusat industri paling awal dan hasilnya berupa timah adalah milik Kesultanan Palembang-Darussalam. Pada 1722 Belanda membeli timah ini untuk dikirim ke Eropa. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Bahauddin (1774–1804), Bangka merupakan pemasok timah terbesar di Asia. Teknologi tambang timah yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa perantauan, membuat produksi timah bertambah tinggi. Penjualan kepada Belanda rata-rata 20.000 pikul/tahun (1 pikul = 62,5 Kg.).
Sejalan dengan majunya teknologi tambang dan bertambahnya permintaan pasar, bertambah banyak pula produksi timah dari Bangka. Beberapa kota yang “dibangun” oleh koloni penambang timah, misalnya Muntok (di bagian baratlaut Bangka), Sungailiat (di bagian tengah/timurlaut Bangka), dan Toboali (di tenggara Bangka).[1] Kota-kota ini dapat dikatakan merupakan kota tua yang dibangun oleh penambang-penambang Tionghoa. Karena demikian pentingnya hasil timah dan menduduki tempat kedua setelah lada, timah merupakan salah satu penghasilan kesultanan. Demikian berharganya hasil tambang ini, banyak penyelundupan timah dilakukan dengan menggunakan perahu-perahu kecil menuju luar wilayah kesultanan dan luar kekuasaan Belanda.
Hunian dan Pelabuhan Sungai
Entah sejak kapan Pulau Bangka mulai dihuni manusia. Hingga saat ini, satu-satunya tempat di Bangka dengan bukti tertulis tertua, bahwa di Bangka telah ada hunian, adalah Prasasti Kota Kapur. Prasasti yang ditemukan di Desa Penagan, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka bertanggal 28 April 686 Masehi.
Secara geografis Kota Kapur merupakan dataran yang berhadapan langsung dengan Selat Bangka. Di selat ini bermuara juga sungai-sungai Upang, Sungsang, dan Saleh dari daratan Sumatra. Di sekelilingnya, di sebelah barat, utara, dan timur masih tertutup hutan mangrove rawa pantai. Di sebelah selatan tanahnya agak berbukit-bukit dengan tanaman karet dan lada. Bagian yang tertinggi disebut Bukit Besar dengan ketinggian sekitar +125 meter d.p.l. Di sebelah utara, membentang dari timurlaut menuju barat mengalir Sungai Menduk yang bermuara di Selat Bangka setelah sebelumnya membelah daerah rawa-rawa.
Dataran Kota Kapur yang luasnya sekitar 20 Ha. seolah-olah merupakan semenanjung dengan segentingnya di sebelah selatan (lihat Peta Situasi Kota Kapur). Ketinggian dataran ini sekitar +16 meter d.p.l. dengan beberapa tempat yang tingginya +23 Meter, +24 Meter, +28 Meter, dan +32 meter. Di sebelah utara dataran Kota Kapur, terbentang daerah rawa hingga mencapai Sungai Menduk yang membujur dari arah barat ke timur dengan muaranya di Selat Bangka.
Air Kupang dan Air Gentong
Di Desa Kota Kapur, Sungai Menduk yang bersambung dengan Sungai Rukam di sebelah timur merupakan sungai induk yang mengalir di daerah ini. Pada aliran sungai Menduk terdapat muara dari sungai-sungai kecil di antaranya Air Kupang dan Air Gentong. Air Gentong sendiri merupakan tempat pertemuan dari beberapa anak sungai seperti Air Pancor, Air Kapur dan Air Rumbia sebelum bermuara ke Sungai Menduk. Pada masa kini keadaan fisik Sungai Menduk dan sungai-sungai kecil tersebut sudah mengalami banyak perubahan. Perubahan yang terjadi disebabkan oleh alam berupa pendangkalan, penyempitan dan pergeseran aliran sungai akibat laju pengendapan sedimen yang cukup tinggi. Tingginya laju pengendapan sedimen ini disamping disebabkan oleh arus sungai yang tidak kuat dan daerah yang dilaluinya relatif datar (elevasi rendah), juga dikarenakan oleh adanya vegetasi mangrove atau bakau yang tumbuh dan berkembang baik di sepanjang pinggiran aliran sungai maupun di muara Sungai Menduk yang dapat menahan laju aliran sedimen ke laut.
Lebar sungai-sungai kecil yang bermuara di Sungai Menduk sekarang hanya sekitar 1–2 meter dengan ketebalan lumpur yang cukup tinggi. Dahulu sungai-sungai ini cukup lebar dan dalam, sehingga dapat dilayari oleh perahu-perahu kecil yang mengangkut hasil bumi, hasil tambang, dan hasil hutan penduduk desa Kota Kapur ke luar wilayah. Melihat luasnya daerah rawa dengan tumbuhan mangrove di sebelah utara “dataran” Kota Kapur menuju tepian sungai Menduk, diduga dahulu sungai Menduk cukup lebar. Sekurang-kurangnya hingga daerah kaki sisi utara dataran Kota Kapur.
Sisa batang kayu
Tinggalan budaya masa lampau yang terdapat di daerah semenanjung atau dataran Kota Kapur mengelompok di sisi sebelah barat. Pada bidang tanah yang tingginya sekitar +20 Meter. Tinggalan budaya tersebut bertambah lagi dengan ditemukannya sisa batang-batang pohon kayu yang dipasang vertikal (ditancapkan) dan horizontal (diikatkan pada batang vertikal) dari penyelidikan pada 2013. Di bagian bawah batang kayu, pada dasar yang berlumpur ditemukan pecahan-pecahan tembikar. Tinggalan budaya ini ditemukan di sisi utara dataran Kota Kapur pada di tepi Air Pancur. Air Pancur pada saat ini sudah mengalami pendangkalan dengan ukuran lebar sekitar 2 meter.
Prasasti Kota Kapur adalah salah satu dari lima batu prasasti kutukan yang dibuat oleh Dapunta Hiyaŋ, seorang penguasa dari Kadātuan Śrīwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada batu yang berbentuk tugu bersegi-segi (berfaset) dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak. Batu kutukan ini ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit ditemukan pada 29 November 1920, dan beberapa hari sebelumnya telah ditemukan Prasasti Talang Tuo pada 17 November 1920. Orang yang pertama kali membaca prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia. Pada mulanya ia menganggap “Śrīwijaya” itu adalah nama seorang raja (Kern, 1913:214). Kemudian atas jasa Cœdès, mulailah diketahui bahwa di Sumatra pada abad ke-7 Masehi ada kerajaan besar bernama Śrīwijaya (Cœdès dan L. Ch. Damais, 1989:1–46). Kerajaan yang cukup kuat yang menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Tanah Melayu, dan Thailand bagian selatan.
Sebagaimana telah diuraikan, nama Bangka disebut-sebut juga dalam berbagai catatan asing, seperti misalnya catatan Tionghoa, Portugis, Belanda, British, serta dokumen-dokumen Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kesultanan Banten. Dari catatan-catatan sejarah itu, diperoleh suatu gambaran bahwa Pulau Bangka merupakan pulau yang cukup kaya dengan hasil bumi (lada) dan hasil tambang (timah). Kedua hasil ini merupakan komoditi penting pada masa Kesultanan Palembang-Darussalam.
Sebagai tempat yang memiliki sejarah yang cukup panjang, tentu banyak ditemukan tinggalan budayanya, baik yang berupa bangunan, maupun benda-benda hasil budaya. Di samping itu pengaruh budaya lain juga dapat berkembang di sini. Di Kota Kapur selain batu prasasti persumpahan ditemukan juga empat arca Wiṣṇu dari batu, runtuhan bangunan suci, dan benteng tanah. Ekskavasi yang dilakukan pada salah satu runtuhan bangunan berhasil menggali bagian sumuran candi. Di dalam sumuran ini ditemukan setumpuk mangkuk keramik dari masa dinasti Song (abad ke-12 Masehi). Hal ini menimbulkan pertanyaan, di bangunan yang konteksnya dengan arca berlanggam pre-Angkor (abad ke-5–6 Masehi) mengapa di dalamnya terdapat tumpukan keramik dari masa yang lebih muda.
Pertanggalan
Untuk menentukan pertanggalan arca dapat dilihat dari bentuk mahkotanya. Dari penggambaran bentuk mahkota tampak dipahat dalam gaya seperti arca-arca Wiṣṇu dari Kamboja, yaitu pada masa seni pre-Angkor. Stutterheim berpendapat bahwa arca tersebut berasal dari abad ke-7 Masehi dengan alasan tempat ditemukannya sama dengan Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 Masehi (1937, 105–111). Berdasarkan bentuk mahkota dan tempat temuannya, maka arca Wiṣṇu Kota Kapur dapat ditempatkan pada abad ke-6–7 Masehi.
Pertanggalan lain untuk Situs Kota Kapur, diperoleh dari percontoh arang hasil penyelidikan pada 1994 oleh tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional/Balai Arkeologi Palembang bekerjasama dengan Ecole Française d’Extrême Orient. Percontoh arang yang ditemukan dari bagian bawah bangunan dan dari lapisan tanah di sekeliling situs kemudian dianalisis di laboratorium. Hasil analisis laboratorium menunjukkan angka tahun 532 Masehi. Angka tahun tersebut sesuai dengan gaya seni arca yang ditemukan di antara runtuhan bangunan. Analisis ikonoplastis dari arca Wiṣṇu menunjukan pertanggalan abad ke-5–6 Masehi (Dalsheimer dan Manguin tt, 14).
Selain arca Wiṣṇu, ditemukan juga satu lingga yang bentuk puncak dan badannya bulat telur, dengan garis tengahnya berukuran sekitar 30 cm. Namun bagian bawah lingga sudah hilang (patah). Menurut McKinnon, bentuk lingga yang bulat telur ini diduga berasal dari sekitar abad ke-5–6 Masehi. Dugaannya itu didasarkan atas perbandingan dengan bentuk-bentuk lingga dari India.
Adanya lingga yang bentuknya bulat telur dan arca Wiṣṇu dengan bentuk mahkota yang silindris menjukkan kepada kita bahwa pada sekitar abad ke-5–6 Masehi di Kota Kapur telah ada sekelompok masyarakat yang menganut ajaran Hindu yang memuja Śiwa atau lingga dan yang memuja Wiṣṇu.
Reruntuhan bangunan suci
Reruntuhan bangunan suci Situs Kota Kapur berdenah bujursangkar dengan ukuran 4,5 x 4,5 meter dengan undak-undak terdapat di sisi utara (Dalsheimer dan Manguin tt, 14). Tinggi bangunan yang masih tersisa sekitar 0,50 meter. Jika melihat bentuk runtuhan bangunannya, diduga bangunan ini merupakan bangunan maṇḍapa, yaitu bangunan suci tak berdinding, seperti halnya bangunan-bangunan caṇḍi yang ditemukan di Jawa Tengah. Atau, dapat juga berupa bangunan suci yang bagian atasnya dibuat dari bahan yang mudah rusak (batang kayu).
Pada jarak sekitar 50 meter ke arah baratlaut dari bangunan pertama, terdapat runtuhan bangunan lain yang ukurannya lebih kecil. Bangunan ini berdenah bujursangkar dengan ukuran 2,6 x 2,6 meter dan tinggi yang masih tersisa sekitar 0,20 meter. Sebagaimana halnya dengan bangunan pertama, bangunan ini juga dibuat dari bahan batu putih dan laterit. Di bagian tengahnya terdapat satu batu laterit warna merah yang bentuknya menyerupai bentuk lingga. Menuju arah dinding utara dari batu tersebut terdapat susunan batu putih dengan indikator bekas saluran air yang berakhir pada tepi dinding utara. Di bagian bawah saluran ini terdapat sejumlah batu bulat pada tanah yang berlainan warna. Soeroso menduga saluran ini difungsikan semacam soma sutra untuk mengalirkan air suci pada saat dilangsungkan upacara penyucian batu bulat tersebut.
Keramik dari abad ke-12–13 Masehi
Mengenai pertanggalan bangunan suci, hal yang tidak dapat dikesampingkan adalah ditemukannya 60 mangkuk keramik pada lubang “sumuran” runtuhan bangunan candi di kedalaman sekitar 2 meter dari permukaan lantai bangunan (Soeroso, 1994:21). Mangkuk-mangkuk keramik abad ke-12–13 Masehi tersebut diletakan di atas lima tumpukan “wajan”. Hal yang menjadi pertanyaan, mengapa mangkuk-mangkuk keramik yang lebih muda (abad ke-12–13 Masehi) itu ditemukan pada runtuhan bangunan yang terdapat arca-arca dari masa yang lebih tua (abad ke-6–7 Masehi).
Bukti-bukti arkeologis yang telah dipaparkan tersebut merupakan petunjuk bahwa sekurang-kurangnya sejak abad ke-6–7 Masehi di salah satu tempat di Pulau Bangka tinggal sekelompok masyarakat yang telah mengenal pengaruh budaya India dengan indikatornya berupa arca-arca batu dan runtuhan bangunan suci. Secara logika, tidak mungkin tiba-tiba ada pengaruh budaya asing yang masuk ke tempat tersebut tanpa ada daya tariknya.
Hindu Waisnawa
Data arkeologis yang ditemukan di Situs Kota Kapur, dapat memberikan interpretasi bahwa pada sekitar abad ke-5–6 Masehi di Kota Kapur terdapat kompleks bangunan suci bagi masyarakat yang menganut ajaran Hindu aliran Waiṣṇawa. Kompleks bangunan tersebut dikelilingi oleh benteng tanah yang panjangnya sekitar 2,5 km dengan ukuran lebar dan tinggi sekitar 4 meter. Tampaknya di beberapa tempat di lingkungan benteng tanah tersebut terdapat hunian kelompok masyarakat pendukung bangunan suci tersebut.
Perbedaan pertanggalan antara prasasti (28 April 686) dan arca (abad ke-5–6 Masehi) dapat dijelaskan bahwa jauh sebelum ditaklukan oleh Śrīwijaya, Kota Kapur telah dihuni kelompok masyarakat yang menganut ajaran Hindu. Mungkin karena tempat tersebut dipandang strategis di tepi selat Bangka, maka Śrīwijaya menaklukannya terlebih dahulu sebelum menaklukan tempat lain sebagaimana tersirat pada kalimat: “pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya baru berangkat untuk menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya”.
Dermaga yang terbuat dari pohon nibung
Hunian di Kota Kapur yang terdapat di dalam lingkungan benteng tanah ini tentunya telah berhubungan dengan dunia luar. Untuk itu tentunya diperlukan suatu jalan dan gerbang keluar dan masuk di Kota Kapur. Sungai Menduk merupakan jalan keluar masuknya sarana pengangkutan air dari dan ke Kota Kapur. Sementara itu gerbang masuknya berupa dermaga untuk menaikkan dan menurunkan barang dan penumpang. Penelitian arkeologi yang dilakukan pada 2013 berhasil menemukan sisa bangunan dermaga yang dibuat dari batang-batang pohon nibung (Oncosperma filamentosum) dan pohon “pelangis”.
Lahan tempat berdirinya bangunan dermaga yang sudah ditampakkan sekitar 50 meter persegi. Tiang-tiang pohon nibung yang ditancapkan pada lahan seluas 26 meter persegi seluruhnya berjumlah sekitar 35 batang membujur arah timurlaut–baratdaya, sedangkan yang ditancapkan pada lahan seluas 24 meter persegi berjumlah 24 batang (yang tampak pada permukaan) membujur arah baratlaut–tenggara. Di bagian atas pohon-pohon nibung ini diikatkan batang-batang pohon nibung dan pohon pelangis membujur arah baratlaut–tenggara. Seluruhnya berjumlah 5 batang yang diikatkan pada batang kayu yang membujur arah timurlaut–baratdaya (lihat gambar denah dan foto temuan Sektor Air Pancur).
Bekas dermaga
Melihat lokasinya yang hanya berjarak beberapa meter dari lahan rawa, dan lahan rawa yang terbentuk karena pendangkalan Sungai Menduk, dapat diduga bahwa tinggalan budaya tersebut merupakan sisa bangunan dermaga dari Sungai Menduk. Atau dapat juga berasal dari dermaga Air Pancur yang sekarang sungai tersebut sudah menyempit selebar dan sedangkal sebatang parit.
Mengenai pertanggalan bilamana dermaga kayu ini dibangun belum dapat diketahui, karena belum dilakukan analisis Karbon C-14, dan tidak ada konteksnya dengan artefak lain yang sudah diketahui pertanggalan relative maupun absolutnya. Analisis ini dapat dilakukan melalui percontoh kayu yang terbakar yang diambil dari salah satu batang kayu komponen dermaga yang terbakar.
Mengenai indikator pemukiman yang berupa tembikar, pada penyelidikan arkeologi pada 2013 ditemukan juga di Sektor IV di kaki sebelah baratlaut dataran Kota Kapur dekat dengan daerah rawa. Dari lokasi ini banyak ditemukan pecahan tembikar. Ini menunjukkan bahwa pada masa lampau terdapat kelompok pemukiman yang menempati areal tersebut dekat dengan sungai kecil yang merupakan anak sungai Menduk. Hal ini untuk memudahkannya mengambil air untuk keperluan sehari-hari.
Sebelum pertengahan millennium pertama tarikh Masehi, agaknya masyarakat Kota Kapur telah mengadakan hubungan dengan masyarakat di India Selatan. Keberadaan tembikar Arikamedu yang ditemukan di bagian bawah tinggalan dermaga merupakan suatu bukti tentang hubungan tersebut. Namun dugaan ini masih terlalu dini karena jumlahnya tidak terlalu banyak. Boleh jadi keberadaan tembikar Arikamedu dibawa dari tempat lain yang telah mengadakan hubungan dengan India Selatan, misalnya dengan masyarakat di Situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat).
Arca Wiṣṇu yang berlanggam pre-Angkor
Hubungan dengan tempat lain jauh dari Kota Kapur, dapat diketahui dari keberadaan arca Wiṣṇu yang berlanggam pre-Angkor (abad ke-5–6 Masehi) sebagaimana tampak dari bentuk mahkotanya. Arca berlanggam pre-Angkor ini ditemukan di Kamboja sebagai tempat asal gaya seni ini. Kontak dengan Kamboja atau Angkor dibuktikan juga dengan ditemukannya tembikar tipe Oc-Eo meskipun jumlahnya tidak banyak. Jenis tembikar ini ditemukan juga di Situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat).
Berdasarkan data sejarah dan data arkeologi yang sampai kepada kita, Pulau Bangka telah lama dihuni manusia. Data arkeologis menginformasikan kepada kita bahwa Kota Kapur telah dihuni sekurang-kurangnya sejak abad ke-5–6 Masehi. Diawali dengan penduduk lokal yang kemudian mendapat pengaruh budaya India. Pengaruh budaya ini tercermin pada ajaran yang dianut penduduknya, yaitu ajaran Hindu aliran Waiṣṇawa.
Perkampungan yang dikelilingi benteng tanah
Dengan mengambil contoh Situs Kota Kapur, diketahui bahwa bentuk-bentuk permukiman pada kala itu berupa suatu perkampungan yang dikelilingi benteng tanah. Di dalam benteng tanah tersebut berlangsung segala aktivitas kehidupan sehari-hari penduduknya. Model perkampungan/permukiman di dalam benteng tanah sudah umum ditemukan di Sumatra, khususnya di Sumatra Selatan dan Lampung.[2] Pada masa perang antara Kesultanan Palembang-Darussalam dan Kumpeni Belanda, benteng-benteng tanah yang terdapat di sepanjang Selat Bangka sangat berguna untuk menghambat lajunya kapal-kapal Belanda dalam memasuki perairan Selat Bangka dan perairan Musi.
Di sebelah utara Situs Kota Kapur membentang daerah rawa yang ditumbuhi mangrove dan tumbuhan nipah (jenis palma) yang banyak tumbuh di tepian sungai Menduk. Dari pengamatan ini dapat diduga Sungai Menduk, ketika Situs Kota Kapur masih berfungsi, lebar dan dalam. Pada saat ini sungai tersebut sudah menjadi sempit dan dangkal. Penyempitan dan pendangkalannya disebabkan karena elevasi sungai tidak terlalu jauh, tumbuhan yang terdapat di sebelah kiri kanan sungai, dan arus air yang tidak kuat (deras).
Di bagian tepi sungai Menduk, di sebelah utara Situs Kota Kapur terdapat dermaga yang dibuat dari pohon nibung dan pelangis. Sisa dermaga pohon ini menempati lahan seluas sekitar 50 meter persegi. Ketika masih berfungsi, diduga aktivitas perjalanan masyarakat Kota Kapur melalui dermaga ini. Perahu-perahu sebagai sarana transportasi datang dan pergi melalui pelabuhan/dermaga ini.
Penutup
Kota Kapur telah memiliki sejarah kebudayaan yang cukup lama. Berdasarkan bukti-bukti arkeologi dan catatan tertulis yang diwujudkan dalam bentuk prasasti, Kota Kapur telah dihuni sekurang-kurangnya sejak abad ke-7 Masehi. Pada masa itu masyarakat Kota Kapur telah tinggal di dalam lingkungan benteng tanah dan telah mengenal perdagangan jarak jauh.
Hunian di dalam lingkungan benteng tanah menempati lahan yang cukup tinggi, sekitar 5 meter di atas lahan sekitarnya yang berupa rawa-rawa (pada masa sekarang). Tembok benteng tanah memanjang di sebagian barat dataran tinggi, sepanjang sisi selatan, dan berakhir di sebagian sisi timur. Di bagian sisi utara tidak terdapat tembok benteng tanah. Di sekitar “dataran tinggi” Kota Kapur merupakan lahan basah. Khusus di sebelah utaranya, di daerah yang sekarang merupakan rawa, hingga ke Sungai Mendo dahulu merupakan perairan sungai Mendo. Dahulu di tempat itu terdapat teluk yang cukup besar di tepi sebelah timur Selat Bangka. Di teluk yang sekarang sisi selatan Sungai Mendo, pada masa sekurang-kurangnya pada abad ke-7 Masehi terdapat dermaga pelabuhan Kota Kapur.
Sisa dermaga Kota Kapur tidak terlalu besar, sekitar 50 meter persegi. Mungkin sesuai untuk aktivitas pelabuhan pada masa itu. Atau boleh jadi belum ditemukan seluruhnya, dan temuan sisa dermaga itu baru sebagian saja. Jelas bahwa runtuhan bangunan kayu itu merupakan bekas bangunan dermaga karena ditopang oleh kayu yang ditancapkan vertikal, dan di kolongnya terdapat banyak pecahan tembikar. Kapal-kapal yang datang darimana pun bersandar di dermaga ini. Kemudian barang-barang bawaan di turunkan dan kemudian dibawa ke pemukiman yang ada di dalam lingkungan benteng tanah.
Bukti-bukti arkeologis
Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Situs Kota Kapur menunjukkan masyarakat Kota Kapur telah mengenal perdagangan jarak jauh. Pecahan-pecahan tembikar yang cirinya sama seperti tembikar Oc-Eo dari Khmer (Kamboja) menunjukkan adanya kontak dagang dengan daerah itu. Arca Wiṣṇu yang berlanggam pre-Angkor merupakan indikator bahwa arca tersebut dibawa dari Khmer karena batu untuk membuat arca tersebut tidak ditemukan di Bangka, khususnya di Kota Kapur.
Kemudian, apa yang jadi komoditi penting pada masa itu dari Kota Kapur atau dari Bangka pada umumnya? Pada masa Klasik Indonesia atau kita persempit pada masa Śrīwijaya dan Mdaŋ (Matarām) dari sekitar abad ke-7–9 Masehi, artefak budaya yang popular adalah arca, pernak-pernik upacara, dan beberapa macam alat rumahtangga logam. Arca dan artefak-artefak ini dibuat dari logam perunggu, dan kadang dilapis dengan emas. Sejak masa jauh sebelum kedatangan pengaruh kebudayaan India di Nusāntara, perunggu merupakan logam yang populer untuk dipakai sebagai bahan membuat artefak budaya.
Sebut saja misalnya kapak perunggu yang dikenal dengan nama candrasa dan nekara. Perunggu dipakai karena kuat dan mudah dibentuk, sedangkan tembaga terlalu lunak dan besi terlalu keras. Perunggu (CuSn) merupakan logam campuran (alloy) yang terdiri dari tembaga (Cu) dan timah (Sn), serta logam lain yang kandungannya kecil seperti seng (Zn) dan timah hitam (Pb). Pada masa itu di sebelah barat Nusāntara penghasil timah hanya di Kepulauan Singkep, Bangka, dan Belitung. Boleh jadi untuk memenuhi “industri” alat-alat upacara dan rumahtangga dari perunggu, timah didatangkan dari Bangka. Timah yang dihasilkan dari Bangka kemudian dipasarkan ke daerah lain, salah satu melalui pelabuhan Kota Kapur.
DAFTAR PUSTAKA
Cœdès, G. 1989. “Kerajaan Sriwijaya”, dalam Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Cœdès, G. dan L-Ch. Damais. 1989. Kedatuan Sriwijaya: Penelitian tentang Sriwijaya. (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dalsheimer, Nadine dan P.Y. Manguin. tt. “Visnu Mitres et Reseaux Marchands en Asie du Sud-East Nouvelles Donnees Archaeologiques sur le I”. Millenaire APJC, hlm. 14
Damais, L-Ch. 1995. “Agama Buddha di Indonesia”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara (Seri Terjemahan No. 3) hlm. 85–99. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Delgado, James P. 1997. Encyclopaedia of Underwater and Maritime Archaeology, hlm. 259–260 dan 436. London: British Museum Press.
Groeneveldt, W.P. 1960. Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara.
Khoo Kay Kim. 1994. Taiping Ibukota Perak. Kuala Lumpur: Persatuan Muzium Malaysia
Marsden, William. 1966. The History of Sumatra. Reprint of the third edition introduced by John Bastin. Kuala Lumpur: Oxford University Press
Manguin, P.Y. 1984. “Garis Pantai di Selat Bangka: Sebuah bukti baru tentang keadaan yang permanen pada masa sejarah”, dalam Amerta 8:17–24. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.
Mills, J.V.G. 1970. Ma Huan. Ying-yai Shĕng-lan. ‘The Overall Survey of the Ocean’s Shore’ (1433). [translated from the Chinese text edited by Feng Ch’eng-Chün with introduction, notes and appendices by JVG Mills]. Cambridge: University Press for the Hakluyt Society.
Moens, J.L. 1937. “Çrivijaya, Yawa en Kataha”, dalam TBG 77:317–487.
Poerbatjaraka, R. Ng. 1952. Riwajat Indonesia I, Djakarta: Pembangunan
Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Poesponegoro, Marwati Djoenet dan Nugroho Notosusanto (ed. Umum). 2009. Sejarah Nasional Indonesia III (“Zaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan Islam di Indonesia”). Jakarta: Balai Pustaka.
Reid, Anthony. 1992. Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680, Vol I: Tanah di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
———-. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES
Stutterheim, W.F. 1937. “Note on a Newly Found Fragment of a Four Armed Figure from Kota Kapur (Bangka)”, dalam Indian Art and Letters Vol. XI No. 2:105–111
Subhadradis Diskul, M.C. (ed.). 1980, The Art of Srivijaya. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
Suleiman, Satyawati. 1980. “The History and Art of Srivijaya”, dalam Subhadradis Diskul (ed.) The Art of Srivijaya hlm. 1–20, Kuala Lumpur, Paris: OUP Unesco.
———–. 1981. Sculptures of Ancient Sumatra, Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala
Tim Penelitian Arkeologi Kota Kapur. 1995. Penelitian Arkeologi di Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Propinsi Sumatra Selatan. (Laporan Sementara, belum diterbitkan).
Wolters, O.W. 1979. “Studying on Srivijaya”, dalam JMBRAS 52(2):1–32.
———–. 1979 “A Note on Sungsang Village at the Estuary of the Musi River in Southeastern Sumatra: A Reconsideration of the Historical Geography of the Palembang Region”, dalam Indonesia 27:33–50.
* Makalah yang dibentangkan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi XIV. Diselenggarakan oleh Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) di Bogor pada 24–27 Juli 2017
[1] Di Toboali Belanda membangun benteng yang dibuat dari bata. Letaknya di ujung Toboali menghadap ke arah laut (Selat Bangka). Pembinaan benteng ini mungkin dimaksudkan untuk mengawasi jalur masuk Selat Bangka dari arah tenggara (Lampung dan Jawa). Namun sayang tidak diketahui masa pembinaan benteng bata ini.
[2] Gambaran benteng tanah dari Sumatra Selatan dan Lampung biasanya terletak di tepi sungai. Di tempat seperti ini dibuat tembok dari tanah yang diperoleh dari galian sekitarnya. Hasil galian tanah tersebut berfungsi juga sebagai parit keliling benteng. Di luar parit biasanya ditanam rumpun bambu di sepanjang parit keliling. Di dalam benteng tanah terdapat pemukiman yang berupa kampung.