Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Museum

0
34490

Berikut ini adalah beberapa hal mengenai permasalahan dan tantangan dalam pengembangan museum di Indonesia, yang diuraikan dalam bentuk Strength, Weaknes, Opportunity dan Threat (SWOT).

Strength

  • Jumlah dan jenis museum

Jumlah museum di Indonesia (300++) memang masih sedikit dibandingkan dengan beberapa negara lain, akan tetapi penyebaran museum daerah yang menjadi bagian “wajib” dari satu propinsi menjadi kelebihan sendiri. Selain beberapa propinsi baru yang terbentuk di lima tahun terakhir, setiap propinsi di Indonesia memiliki museum sendiri yang menjadi jendela informasi budaya lokal (data terlampir). Jumlah museum swasta yang terus bertambah pun menjadi salah satu indikasi masih adanya dukungan masyarakat pada kegiatan pelestarian kebudayaan melalui museum.

  • Jumlah dan keragaman koleksi

Keragaman koleksi museum di Indonesia dapat tercermin dari lingkup ragam tema yang ditampilkan dalam museum-museum bertema umum dan tema-tema museum khusus yang ada. Dalam model museum bertema umum yang ditemui di setiap propinsi, ragam koleksi dari seluruh aspek kebudayaan dipamerkan untuk menggambarkan sejarah budaya Indonesia sejak masa prasejarah dari ribuan tahun lalu hingga sejarah kontemporer terbentuknya suatu daerah. Kemudian tema-tema khusus dari museum khusus melingkupi tema mulai dari tema bidang ilmu, jenis binatang tertentu, artefak budaya, sejarah suatu institusi, dan sebagainya.

  • Potensi pemanfaatan Museum media pendidikan dan rekreasi, jendela informasi daerah, diplomasi dan media memperkuat jatidiri bangsa

Museum sudah dimanfaatkan sebagai media pendidikan dan rekreasi sejak awal museum-museum didirikan, akan tetapi seiring dengan perkembangan penataan Negara, fungsi lain bermunculan. Fungsi-fungsi tersebut adalah sebagai media diplomasi, promosi daerah dan memperkuat jatidiri. Museum sebagai media diplomasi sudah sering dilakukan dengan mengirim misi budaya ke Negara-negara sahabat, potensi yang berkaitan adalah pemanfaatan museum untuk diplomasi budaya ke dalam. Kemudian sebagaimana mulai dipraktikkan sejak penetapan Otonomi Daerah, museum-museum daerah mendapatkan fungsi tambahan sebagai jendela informasi potensi daerah baik berupa tak benda, benda atau sumber alam. Museum-museum berskala nasional dapat mendukung kegiatan diplomasi budaya internal tersebut dengan menyebarkan pemahaman mengenai jati diri bangsa melalui kajian koleksi museum.

  • Dukungan anggaran semakin memadai

Permuseuman sudah mendapat perhatian yang bertambah dari pemerintah sejak dicanangkannya beberapa program untuk mendukung museum. Di antaranya adalah program tahun kunjungan museum 2010 yang dicanangkan di 30 Desember 2009 serta Gerakan Nasional Cinta Museum (GNCM) yang berlangsung dalam kurun waktu lima tahun: 2010-2014. Program Tahun Kunjung Museum 2010 yang didukung dengan berbagai kegiatan di museum seluruh Indonesia tersebut, bertujuan untuk meningkatkan wisatawan, baik domestik maupun asing melalui museum, memperbesar jumlah pengunjung museum, serta meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya bangsa. Salah satu kegiatan yang diakomodasi oleh program-program tersebut adalah revitalisasi museum. GNCM sendiri adalah upaya untuk menjembatani antara pemangku kepentingan dan pemilik kepentingan dalam rangka pencapaian fungsionalisasi museum untuk memperkuat apresiasi masyarakat terhadap nilai kesejarahan dan budaya bangsa. GNCM juga bertujuan untuk membenahi peran dan posisi museum yang difokuskan pada aspek internal maupun eksternal. Aspek internal dalam bentuk revitalisasi fungsi museum dalam rangka penguatan pencitraan melalui pendekatan konsep manajemen yang terkait dengan fisik dan non fisik, serta bertujuan untuk mewujudkan museum di Indonesia yang dinamis dan berdayaguna sesuai dengan standar ideal pengelolaan dan pemanfaatan museum. Aspek eksternal difokuskan kepada konsep kemasan program dengan menggunakan bentuk sosialisasi dan kampanye pada masyarakat sebagai bagian dari stakeholder. Pembenahan-pembenahan tersebut dilakukan guna mengubah paradigma masyarakat tentang museum.

  • Sebagai ruang publik

Potensi lain yang menjadi kekuatan dari museum adalah potensinya sebagai ruang publik. Museum sebagai ruang publik tidak hanya berupa lemari pajang sebagai media penyaji bagi masyarakat pengunjung, akan tetapi museum yang menjadi tempat interaksi masyarakat dengan (informasi/pengetahuan) koleksi juga interaksi antar masyarakat yang dipicu oleh koleksi. Museum sebagai ruang publik dapat dirintis dengan membuka akses pada masyarakat luas untuk memanfaatkan ruang non koleksi yang ada untuk melaksanakan kegiatan atau acara yang bisa saja berdekatan dengan tema museum atau sesuatu yang tidak berkaitan sama sekali. Tren penyewaan ruang untuk acara pernikahan, pertemuan, seminar dan lain-lain semakin kuat setelah ada museum yang menempati gedung tua sukses menyewakan ruang tertutup dan terbuka yang dimiliki untuk pesta pernikahan. Ada juga museum yang memiliki kebijakan mengakomodasi kegiatan masyarakat sekitar museum memperbolehkan pemanfaatan ruang dan area museum untuk melaksanakan kegiatan sekolah seperti pelatihan kepanduan, kemudian perayaan hari raya dan lain sebagainya.

Weakness

  • Rendahnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap museum (apresiasi stakeholder). Museum belum memiliki daya tarik yang menjadikan museum sebagai destinasi utama untuk dikunjungi dalam waktu senggang atau masa libur.
  • Kurangnya perhatian Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan museum.

Museum masih berjarak dengan stakeholder yang semestinya diapresiasi dan diberikan pemahaman akan pentingnya pengembangan museum bagi kepentingan khalayak banyak. Museum belum menjadi destinasi akhir pekan yang popular bagi masyarakat, juga belum menjadi pos pengembangan daerah yang terlihat cemerlang bagi pemerintah daerah. Kedua contoh tersebut adalah indikasi bahwa museum belum bisa menjalin hubungan dua arah yang menjamin pemahaman antar kedua belah pihak. Untuk menarik masyarakat dan mendapat dukungan dari pemerintah lokal tentunya museum perlu memahami kebutuhan dan arah kebijakan dari stakeholder. Aspek kehumasan dalam museum yang masih lemah diharapkan nantinya menjadi garda terdepan dalam menjembatani museum dengan stakeholder.

  • Kurangnya lembaga pendidikan museum.

Sampai saat ini kualitas dan kuantitas SDM Permuseuman masih belum memadai karena masih terbatasnya lembaga pendidikan dan program pendidikan permuseuman. Saat ini hanya tiga universitas saja yang memiliki program paskasarjana Museologi, yaitu Universitas Indonesia (2007-sekarang), Universitas Gadjah Mada (mulai 2008) dan Unversitas Padjajaran (2006−2013). Sedangkan program diklat, pelatihan atau bimtek permuseuman untuk saat ini baru disediakan oleh Direktorat Cagar Budaya dan Permuseuman serta Museum Nasional. Jaringan professional permuseuman yang ada belum menyediakan cukup banyak pelatihan atau kegiatan share knowledge.

  • Kualitas dan kuantitas SDM yang belum memadai

SDM Museum Indonesia masih termasuk belum memadai karena masih terbatasnya ketersediaan ahli di bidang terkait yang seringkali sangat spesifik. Baik untuk bidang yang sangat teknis seperti konservasi; bidang kreatif seperti desain tata pamer, edukasi, storytelling; bidang administratif dan manajemen; apalagi dalam bidang pengembangan pemasaran dan promosi Museum. Ketersediaan lembaga pengajaran Museologi di Indonesia kini pun masih melingkup pengelolaan museum secara umum. Kelemahan ini masih membutuhkan data SDM yang mendetail baik secara kuantitas dan kualitas. Data tersebut yang akan menjadi dasar evaluasi perbaikan SDM Museum Indonesia.

  • Sistem pengelolaan yang masih lemah (Planning, Organizing, Actuating, Controlling, dan evaluation).

Salah satu efek dari kualitas dan kuantitas yang kurang dari permuseuman adalah sistem pengelolaan yang masih lemah. SDM yang ada masih membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang dapat membuat mereka mampu merencanakan, mengatur, melaksanakan, mengawasi dan mengevaluasi program yang akan dilaksanakan. Pengetahuan perancangan program, anggaran serta manajemen pelaksanaan masih baru dikuasai sebagian saja. Sedangkan hal pengawasan dan pengevaluasian masih menjadi hal yang tidak sistematis.

  • Terbatasnya peraturan perundangan tentang museum serta terbatasnya dan tidak mutakhirnya NSPK tentang museum.

Sebelum RPP Permuseuman diresmikan, pengaturan permuseuman hanya bisa mengandalkan perundangan berkaitan yang membahas museum dalam Undang-Undang Cagar Budaya tahun 2010. Perundangan yang ada pun masih perlu disosialisasikan. Bahan referensi yang tersedia di ruang publik dengan akses tak terbatas baru berupa “Cara Mendirikan Museum” dalam format pdf di situs budpar.go.id. serta Pedoman Museum Indonesia yang sudah secara resmi dipublikasikan dalam bentuk buku.

  • Sarana dan prasarana penyelenggaran fungsi dasar permuseuman masih kurang.

Program revitalisasi museum 2010-2014 tentunya memberikan semacam peningkatan terhadap fungsi penyelenggaraan fungsi dasar museum karena adanya insentif peningkatan kualitas dalam sarana fisik dan non fisik. Akan tetapi dari keseluruhan jumlah museum, yang baru mendapatkan bantuan revitalisasi belum mencapai 50%.

  • Sistem keamanan (peralatan, SDM) yang kurang memadai. Seharusnya sudah ada peningkatan di sebagian jumlah museum yang sudah mendapat bantuan revitalisasi, akan tetapi belum ada data evaluasi yang memperlihatkan rendahnya standar sistem keamanan yang dipakai. Akan tetapi kasus pencurian di Museum Nasional yang terjadi di September 2013 menjadi salah satu gejala rendahnya standar keamanan yang dipakai di museum Indonesia.
  • Pencatatan koleksi museum tidak akurat. Penyusunan database koleksi museum yang seharusnya menjadi dasar dalam seluruh kegiatan dan pelaksanaan museum belum menjadi kegiatan prioritas museum. Database yang akurat penting untuk museum mengetahui potensi yang mereka miliki dalam mengembangkan kegiatan dan program museum. Database yang akurat menjadi penting dalam kegiatan perawatan, pengawasan dan keamanan. Sebagian besar museum masih memakai metode inventarisasi manual menggunakan kartu inventaris dan belum menggunakan sistem database
  • Belum siapnya museum menghadapi bencana (force majeure)

Banyak museum belum mampu memenuhi kebutuhan penyelenggaraan fungsi dasar museum. Terkadang museum harus memilih untuk memprioritaskan satu dari yang lain. Padahal dalam definisi fungsi museum untuk mengkoleksi, merawat, mengedukasi dan mengkomunikasi, tidak ada skala prioritas. Keempat fungsi tersebut adalah standar minimum dari penyelenggaraan museum. Sarana dan prasarana fisik pun masih sering tidak memenuhi syarat untuk melakukan fungsi yang pertama dan kedua, yaitu mengkoleksi dan merawat. Sistem keamanan berupa sistem pencatatan (database), peralatan, serta SDM keamanan masih belum menjadi prioritas dalam penyelenggaraan museum. Sehingga ketika terjadi bencana yang tidak diduga (force majeure) museum banyak yang tidak siap gerak cepat untuk mengatasi efek negatif yang dihasilkan.

  • Jaringan kerjasama antar instansi dalam dan luar negeri masih lemah

Museum sebagai lembaga yang sifatnya terus mengembangkan pengetahuan sebaiknya menjaga jejaring yang mendukung penyelenggaraannya, akan tetapi hal tersebut masih minim di Indonesia. Asosiasi Museum Indonesia sudah ada, akan tetapi masih kurang aktif dalam melaksanakan kegiatan penguatan jejaring museum di Indonesia. Sedangkan ICOM-Indonesia sudah vakum di beberapa tahun terakhir dan baru memiliki ketua baru di Agustus 2013, sampai saat ini belum ada program yang jelas dari ICOM-Indonesia untuk permuseuman Indonesia ataupun penyebaran jejaring ke regional Asia-Pasifik dan Dunia.

Opportunity

  • Misi kebudayaan internasional (pameran, dll)

Misi kebudayaan internasional yang dilakukan oleh museum sudah menjadi agenda wajib sejak masa awal museum berdiri di Indonesia. Misi tersebut biasanya berupa pameran bersama, peminjaman koleksi, seminar atau kegiatan share-knowledge antar profesi museum. Misi ini membantu dalam kebijakan luar negeri dalam usaha mempererat hubungan bilateral antar Negara.

  • Berkembangnya organisasi masyarakat yang peduli dengan museum.
  • Jaringan kerjasama lokal, nasional, regional dan internasional tentang pengelolaan museum (contoh: ICOM, ICCROM, AMI, Indonesian Heritage Society).

Organisasi masyarakat yang peduli dengan pelestarian cagar budaya sudah banyak, akan tetapi masih sedikit yang menempatkan pengembangan museum sebagai salah satu fokusnya. Salah satu organisasi masyarakat peduli cagar budaya yang cukup besar di dalam negeri dan membuka jaringan dengan organisasi sejenis dari setiap daerah adalah Badan Pelestari Pusaka Indonesia. Organisasi peduli sejarah banyak yang memiliki kegiatan yang bersinggungan atau difasilitasi oleh museum, akan tetapi belum menjadi bagian aktif yang mendapat ruang untuk bekerja sama dalam perkembangan museum. Seringkali museum hanya menjadi bagian persinggahan perjalanan napak tilas sejarah. Diharapkan organisasi masyarakat yang menjadi “kawan” dari museum dapat termotivasi untuk muncul dan aktif membantu perkembangan museum sejak dari konsep, pelaksanaan dan pengembangan ke tahap selanjutnya. Di beberapa negeri, “friends of museum” menjadi salah satu stakeholder penting dalam menentukan arah perkembangan museum. Organisasi semacam tersebut biasanya menyediakan relawan, ide, program serta jejaring ke luar yang dapat mendukung pelaksanaan dan pengembangan museum. Berikut adalah daftar organisasi peduli pelestarian cagar budaya dan pengembangan museum sebagai bagian dari pelestarian.

  • Pengembangan program studi di Perguruan Tinggi yang memiliki program pendidikan Museologi.

Sejak 2006 pendidikan permuseuman secara mendalam sudah tersedia di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Pendidikan paskasarjana Strata 2 Museologi tersedia di Universitas Padjajaran, Bandung sejak 2006, di Universitas Indonesia, Depok sejak 2007 dan tidak lama kemudian disusul oleh Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebelum keberadaan program paskasarjana, hanya tersedia beberapa mata kuliah permuseuman seperti Tata Pamer, Manajemen Koleksi dan Pengantar Museologi di strata 1 program Sejarah dan Arkeologi. Universitas yang menyediakan mata kuliah museologi di program studi Sarjana mereka adalah Universitas Indonesia, Depok, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Dipenogoro Semarang serta Universitas Negeri Yogyakarta.

  • Tanggung jawab perusahaan terhadap pengembangan kebudayaan melalui CSR.

Tren aplikasi CSR di beberapa tahun terakhir ada yang mulai berbentuk dukungan terhadap kegiatan permuseuman atau kebudayaan secara luas. Beberapa perusahaan besar pun membentuk yayasan yang berfungsi membentuk program-program kebudayaan. Beberapa contoh adalah House of Sampoerna milik Sampoerna yang membantu mencetak flyer beberapa museum, Djarum Foundation dengan banyak program budayanya serta “Indonesia Kaya”, suatu pusat informasi budaya Indonesia yang baru dibuka di Jakarta. Selain itu ada juga beberapa perusahaan minyak besar di Papua yang mendukung kegiatan berkaitan dengan kebudayaan papua seperti lembaga kebudayaan Papua Center di Universitas Indonesia.

Threat

  • Belum adanya penetapan prioritas dalam penataan database museum yang seharusnya menjadi sistem mendasar untuk melaksanakan kegiatan dasar museum dan pengembangannya. Database koleksi museum menjadi penting karena perencanaan dan pengembangan museum selalu berfokus pada koleksinya. Begitu juga dalam kegiatan pengawasan dan keamanannya.
  • Ketidakpedulian masyarakat terhadap museum. Seperti yang disebutkan dalam Weakness (kelemahan) dari analisa SWOT museum, museum belum menjadi pilihan masyarakat untuk menghabiskan waktu senggang, masa libur ataupun menyempatkan waktu secara khusus. Ancaman ini belum didukung oleh data statistik yang dapat menjelaskan tingginya ketidakpedulian tersebut yang mungkin bisa menjelaskan mengapa ancaman ini ada.
  • Bencana alam (kebakaran, banjir, gempa, tsunami, gunung meletus, badai, force majeure)

Bencana yang tidak bisa diduga seperti bencana alam, gejolak politik atau kriminalitas menjadi ancaman yang akan selalu ada dan museum kita belum memiliki sistem respon cepat untuk mengatasinya. Untuk menghadapi bencana alam seperti gempa, banjir atau tsunami, museum akan membutuhkan sistem rancangan sipil yang mencegah atau mengatasi saat bencana terjadi. Akan tetapi, sebagian besar museum menempati gedung tua dan gedung-gedung yang tidak dirancang untuk anti gempa misalnya. Juga belum adanya pembahasan mendalam untuk mengevaluasi kesiapan museum-museum dalam menghadapi bencana alam. Gejolak politik dapat menjadi ancaman yang nyata bagi museum seperti yang terjadi baru-baru ini di Irak dan beberapa Negara lain yang didera perang. Dengan pemahaman yang keliru akan nilai penting koleksi museum berpindahnya koleksi secara paksa dalam gejolak menjadi salah satu acanaman yang cukup besar, khususnya bagi museum-museum di kota besar yang dekat dengan lokasi penunjukkan aspirasi public dengan metode unjuk rasa.

  • Pemanfaatan yang berlebihan (frekuensi, intensitas) yang dapat menimbulkan kerusakan

Pemanfaatan ruang dan area museum untuk keperluan dan kegiatan publik menjadi salah satu peluang museum, tapi juga dapat menjadi ancaman jika dilakukan berlebihan. Pemanfaatan area museum berlebihan dapat menimbulkan masalah dalam hal penanganan limbah pengunjung, penanganan arus manusia dan dalam jangka panjang dapat berpengaruh pada kesan suatu museum. Contohnya suatu museum yang lebih dikenal sebagai tempat penyewaan ruang untuk pesta pernikahan saja dan ditambah dengan minimnya program permuseuman yang dimiliki. Hal ini bisa berakibat komersialisasi berlebih dan memberikan efek buruk pada pelestarian, baik gedung atau koleksinya, yang sedang dilakukan oleh museum tersebut.

  • Illicit trafficking (maraknya lalu lintas koleksi museum yang illegal) dan lemahnya koordinasi keamanan perbatasan.
  • Illicit trafficking atau lalu lintas perdagangan koleksi cagar budaya sudah menjadi ancaman yang ada sejak ilmu kepurbakalaan ditemukan hingga kini. Motivasi nilai komersial besar yang dapat dihasilkan dari transaksi illicit trafficking dapat menjerumuskan pekerja museum melakukan kriminalitas. Sudah banyak kasus yang terjadi di banyak museum di luar negeri dan di dalam negeri yang terkadang melibatkan pekerja museum, khususnya museum dengan sistem pengamanan yang cukup ketat. Salah satu cara mengatasi ancaman ini adalah kerjasama internasional untuk melacak keberadaan koleksi, untuk melakukan hal ini, database yang lengkap, menyeluruh dan mutakhir wajib dimiliki. Database ini belum juga kita miliki.
  • Pengembangan program studi di Perguruan Tinggi yang memberikan perhatian pada museum (contoh: S2 Museologi).

Sejak 2006 pendidikan permuseuman secara mendalam sudah tersedia di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Pendidikan paskasarjana Strata 2 Museologi tersedia di Universitas Padjajaran, Bandung sejak 2006, di Universitas Indonesia, Depok sejak 2007 dan tidak lama kemudian disusul oleh Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sebelum keberadaan program paskasarjana, hanya tersedia beberapa mata kuliah permuseuman seperti Tata Pamer, Manajemen Koleksi dan Pengantar Museologi di strata 1 program Sejarah dan Arkeologi. Universitas yang menyediakan mata kuliah museologi di program studi Sarjana mereka adalah Universitas Indonesia, Depok, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Dipenogoro Semarang serta Universitas Negeri Yogyakarta.

  • Tanggung jawab perusahaan terhadap pengembangan kebudayaan melalui CSR.

Tren aplikasi CSR di beberapa tahun terakhir ada yang mulai berbentuk dukungan terhadap kegiatan permuseuman atau kebudayaan secara luas. Beberapa perusahaan besar pun membentuk yayasan yang berfungsi membentuk program-program kebudayaan. Beberapa contoh adalah House of Sampoerna milik Sampoerna yang membantu mencetak flyer beberapa museum, Djarum Foundation dengan banyak program budayanya serta “Indonesia Kaya”, satu pusat informasi budaya Indonesia yang baru dibuka di Jakarta. Selain itu ada juga beberapa perusahaan minyak besar di Papua yang mendukung kegiatan berkaitan dengan kebudayaan papua seperti lembaga kebudayaan Papua Center di Universitas Indonesia.

  • Tingginya ketidakpedulian masyarakat terhadap museum.
  • Bencana alam (kebakaran, banjir, gempa, tsunami, gunung meletus, badai, force majeure)

Bencana yang tidak bisa diduga seperti bencana alam, gejolak politik atau kriminalitas menjadi ancaman yang akan selalu ada dan museum kita belum memiliki sistem respon cepat untuk mengatasinya. Untuk menghadapi bencana alam seperti gempa, banjir atau tsunami, museum akan membutuhkan sistem rancangan sipil yang mencegah atau mengatasi saat bencana terjadi. Akan tetapi, sebagian besar museum menempati gedung tua dan gedung-gedung yang tidak dirancang untuk anti gempa misalnya. Juga belum adanya pembahasan mendalam untuk mengevaluasi kesiapan museum-museum dalam menghadapi bencana alam. Gejolak politik dapat menjadi ancaman yang nyata bagi museum seperti yang terjadi baru-baru ini di Irak dan beberapa Negara lain yang didera perang. Dengan pemahaman yang keliru akan nilai penting koleksi museum berpindahnya koleksi secara paksa dalam gejolak menjadi salah satu acanaman yang cukup besar, khususnya bagi museum-museum di kota besar yang dekat dengan lokasi penunjukkan aspirasi public dengan metode unjuk rasa.

  • Pemanfaatan yang berlebihan (frekuensi, intensitas) yang dapat menimbulkan kerusakan

Pemanfaatan ruang dan area museum untuk keperluan dan kegiatan publik menjadi salah satu peluang museum, tapi juga dapat menjadi ancaman jika dilakukan berlebihan. Pemanfaatan area museum berlebihan dapat menimbulkan masalah dalam hal penanganan limbah pengunjung, penanganan arus manusia dan dalam jangka panjang dapat berpengaruh pada kesan museum. Contohnya museum yang lebih dikenal sebagai tempat penyewaan ruang untuk pesta pernikahan saja dan ditambah dengan minimnya program permuseuman yang dimiliki. Hal ini bisa berakibat komersialisasi berlebih dan memberikan efek buruk pada pelestarian, baik gedung atau koleksinya, yang sedang dilakukan oleh museum tersebut.

  • Illicit trafficking (maraknya lalu lintas koleksi museum yang illegal) dan lemahnya koordinasi keamanan perbatasan.

Illicit trafficking atau lalu lintas perdagangan koleksi cagar budaya sudah menjadi ancaman yang ada sejak ilmu kepurbakalaan ditemukan hingga kini. Motivasi nilai komersial besar yang dapat dihasilkan dari transaksi illicit trafficking dapat menjerumuskan pekerja museum melakukan kriminalitas. Sudah banyak kasus yang terjadi di banyak museum di luar negeri dan di dalam negeri yang terkadang melibatkan pekerja museum, khususnya museum dengan sistem pengamanan yang cukup ketat. Salah satu cara mengatasi ancaman ini adalah kerjasama internasional untuk melacak keberadaan koleksi, untuk melakukan hal ini, database yang lengkap, menyeluruh dan mutakhir wajib dimiliki. Database ini belum juga kita miliki.